Diakonia.id – Pada tahun 321, Kaisar Romawi, Konstantin, akhirnya mengizinkan kaum Yahudi bekerja untuk pemerintah kota dan administrasi Vatikan, Kuria Roma, di Köln. Dekrit tersebut merupakan jejak sejarah paling kuno yang membuktikan keberadaan Yahudi di utara Alpen.
“Kehidupan Yahudi di wilayah yang sekarang kita sebut sebagai Jerman, sudah ada jauh lebih lama ketimbang negara Jerman sendiri,” kata Maram Stern, Direktur Kongres Yahudi Internasional, Kamis (30/12). “Sebab itu kita harus semakin melindungi kehidupan Yahudi dari kebencian kuno maupun yang baru.”
Hingga abad ke10, tercatat hanya 5.000 orang Yahudi hidup di wilayah kekuasaan dinasti Karolinga. Selama tiga setengah abad kemudian kehidupan Yahudi berkembang pesat di bawah perlindungan kerajaan atau gereja. Mereka merupakan pedagang dan bankir yang berpengaruh.
Namun Perang Salib akhirnya membawa petaka bagi bangsa minoritas tersebut. Pembantaian dan genosida, antara lain demi menguasai kekayaan warga Yahudi, berlangsung di bawah pengawasan gereja. Hingga abad ke-19, kehidupan Yahudi tidak pernah lagi semarak seperti pada masa keemasan tersebut.
Konfrontasi antisemitisme di tahun perayaan
Sepanjang tahun 2021 Jerman akan menggelar lebih dari 1.000 acara untuk merayakan sejarah kehidupan Yahudi. Salah satunya adalah Festival Tabernakel pada musim gugur. Festival ini merupakan salah satu tradisi umat Yahudi untuk merayakan hasil panen.
Rangkaian acara diniatkan “untuk mengenal kebudayaan Yahudi dengan lebih dalam,” kata Jürgen Rüttgers dari yayasan penyelenggara. “Karena kita di Jerman banyak berutang budi kepada saudara kita yang Yahudi,” imbuhnya.
Dia mengakui tahun perayaan digelar ketika sentimen antisemitisme kembali meruak di Eropa. Menurutnya marjinalisasi dan diskriminasi terhadap warga Yahudi semakin meningkat, “dan sekarang kesannya kita memulai dari nol lagi,” ujarnya merujuk pada upaya Jerman mengusir antisemitisme pasca Perang Dunia II.
“Kita di Jerman butuh waktu lama untuk membangun budaya mengingat, yang diharapkan mencegah terulangnya kejahatan kemanusiaan dan genosida,” serupa Holocaust, kata Rüttgers. Dia menuntut campur tangan negara, dan “komunitas-komunitas agama untuk melindungi warga Yahudi,” dari serangan antisemitisme.
Karena menurut Rüttgers, “lahan subur bagi kaum antisemit ada di setiap negara di Eropa.”
“Kebencian Yahudi tidak pernah benar-benar bisa dikalahkan,” kata Anna Staroselski, Presiden Perhimpunan Mahasiswa Yahudi di Jerman. “Pandangan anti Yahudi ini sudah terbukti dianut oleh 20 persen warga Jerman,” imbuhnya.
Dialog antaragama sebagai kunci koeksistensi
Kembalinya antisemitisme di Jerman dinilai berkaitan dengan kebangkitan kaum ekstrim kanan dan arus masuknya pengungsi dari Timur Tengah. Khususnya untuk yang terakhir, Jerman diajak menggunakan pendekatan lunak.
Solusinya, menurut tokoh Yahudi Jerman, Michel Friedman, terletak pada dialog antara Yahudi dan Muslim. Pertukaran itu “penting untuk mengisyaratkan kepada masyarakat agar berhenti mengadudomba kami,” katanya kepada majalah Protestan, Chrismon.
Bekas wakil direktur Komite Sentral Yahudi Jerman itu menegaskan; “Dialog hanya akan terjalin jika semua pihak menghindari menyamakan antara Islamisme dan Islam.” Karena menurutnya, ideologi kekerasan itu “merupakan bahaya laten” tidak hanya bagi warga Yahudi, tetapi juga muslim.
Kesamaan tersebut dinilai bisa membuka ruang pertukaran yang positif antara umat kedua agama Samawi. Sebaliknya permusuhan berdasarkan agama tidak memiliki tempat di dalam demokrasi, di mana “ideologi politik atau agama tidak berada di atas konstitusi dan selamanya tidak bisa dijadikan sebagai alasan,” untuk tindak kekerasan.
Hal serupa diutarakan sastrawan Yahudi-Jerman, Max Czollek. Kepada majalah Chrismon dia mengatakan, serangan teror kanan terhadap warga Turki dan Hanau dan sinagoga di Halle tahun ini adalah sebuah peringatan keras.
Pilihannya terletak antara “masa depan bagi warga Muslim dan Yahudi bersama-sama, atau tidak sama sekali,” tuturnya.
Sabine Oelze (rzn/as/detik)