Oleh: Harry Puspito
Siapa yang tidak pernah marah? Dari bayi, anak kecil, orang muda, dewasa hingga tua manusia bisa marah. Marah adalah pengalaman emosi yang wajar, namun apa yang kita lakukan ketika marah terjadi mudah membawa kepada perbuatan dosa, karena itu Alkitab memperingatkan kita agar tidak marah yang berlama-lama (Efesus 4:26). Allah dalam Perjanjian Lama sering dikisahkan marah kepada orang Israel yang bersungut-sungut, yang melakukan dosa tertentu, atau menyembah berhala. Yesus beberapa kali diceritakan marah kepada orang lain, seperti kepada orang-orang Israel yang berjual-beli di Bait Allah (Matius 21:12-16). Allah marah karena alasan yang benar. Oleh karena itu kita juga seharusnya marah ketika melihat atau mendengar mengenai hal-hal yang tidak benar atau perbuatan-perbuatan dosa, seperti korupsi, kekerasan, ketidakadilan, pornografi, dsb. Justru ketika kita tidak marah, kita menjadi salah.
Namun marah yang dibiar-biarkan dan bahkan dikembangkan, tidak dipadamkan, akan potensi menjadi jenis marah yang masuk dalam kelompok ‘Tujuh Dosa Maut.’ Situasi demikian membuka kesempatan bagi Iblis untuk membawa kita kepada marah yang dosa itu (Efesus 4:27). Marah yang termasuk dosa maut dalam Bahasa Latin adalah ‘ira,’ diterjemahkah menjadi ‘wrath’ dalam Bahasa Inggris atau ‘amarah’ dalam Bahasa Indonesia. Ini adalah marah yang ekstrim, marah yang berdosa. Ketika seseorang mengalami amarah, emosi demikian kuat menguasai dirinya sehingga ini bisa menimbulkan penyangkalan akan kebenaran, ketidak-sabaran, balas dendam, dan niat berbuat jahat bahkan membunuh orang yang membangkitkan kemarahannya.
Seorang yang pemarah cepat dikuasai emosi marah, untuk alasan-alasan yang kecil sekali pun. Dia melampiarkan kemarahannya dengan perkataan atau/dan perbuatan yang menyakiti hari orang lain tanpa berpikir panjang. Dosa amarah ini termasuk ‘dosa maut’ atau dosa yang keji karena bertentangan dengan karakter utama Allah yang Dia mau bentuk dalam diri manusia, yaitu kasih. Dosa kemarahan manusia membawa kepada kejahatan (Mazmur 37:8).
Ketika dikuasai amarah, maka manusia dikuasai emosi, dan dalam keadaan demikian, manusia tidak menggunakan akal pikirannya. Dosa amarah paling potensi melukahi orang-orang lain, melalui kata-kata yang tajam atau tindakan yang kejam, apalagi kalau jika dikombinasi dengan dosa lain. Misalnya, ketika seseorang berdosa amarah dan iri, maka dia bisa membunuh atau merampok. Seorang percaya yang pemarah merusak kesaksian kasih Allah akan manusia. Dia tidak menampilkan pribadi Allah yang seharusnya, bahkan sangat berlawanan.
Oleh karena amarah adalah dosa, maka langkah pertama dalam mengatasinya adalah menyadari bahwa kita telah hidup dalam dosa amarah dan bertobat dari cara hidup demikian. Menyadari ini adalah dosa, meminta ampun kepada Tuhan atas kemarahan yang telah dilakukan, dan berkomitmen untuk berhenti marah, yaitu marah yang tidak benar.
Jalan untuk menyingkirkan sikap dan kebiasaan marah adalah dengan membangun buah Roh dalam hidup kita, dimana salah manifestasinya adalah, antara lain, kesabaran, kelemah-lembutan dan kasih – beberapa karakter yang bertentangan dengan amarah (Gal 5:22). Kesabaran adalah atribut lawan kemarahan yang menolong kita menyelesaikan konflik dengan damai daripada dengan kekerasan, bahkan memampukan kita untuk tetap berbuat baik kepada orang lain lawan konflik kita. Kesabaran menolong kita menerima karunia mengampuni dan menunjukkan belas kasihan kepada orang lain. Ketika kita diampuni maka dengan iman kita bisa minta agar Roh Kudus menguasai diri kita dan menjadikan pribadi dengan karakter Kristus itu (Efesus 5:18).
Di luar ini, kita perlu hikmat dalam gaya hidup kita, sehingga dalam diri kita tidak berkembang sikap dan kebiasaan marah. Amsal, misalnya, mengajarkan kepada kita agar tidak berteman dengan pemarah, agar kita tidak meniru perilaku pemarahnya (Amsal 22:24-25). Hal lain yang menolong adalah menghafalkan ayat ‘favorit’ yang mengingatkan dan menolong kita ketika kita mengalami marah. Misalnya, Efesus 4:26-27 – “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis.”
Kita bisa mengembangkan sikap yang menolong menangani kemarahan, yaitu sikap mengampuni. Allah yang layak marah karena melihat manusia ciptaan-Nya, bahkan yang sudah Dia selamatkan dengan pengorbanan yang besar – kematian Anak-Nya, Yesus Kristus – tapi mereka terus saja berbuat dosa, bahkan dosa yang seringkali sangat keji. Namun Dia adalah Allah yang pengampun, satu atribut Allah yang sangat utama dalam Alkitab, seperti dituliskan dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Hampir setiap orang melakukan dosa maut amarah itu. Oleh karena itu, kita perlu bertobat dari dosa ini, dan terus menjauhi satu dosa maut ini, bertumbuh dalam buah Roh dan gaya hidup yang membantu menyingkirkan dosa amarah itu. Tuhan memberkati! (Reformata.com)