Diakonia.id – Beberapa pekan lalu, warganet diramaikan polemik yang dipicu pernyataan pidato ketua umum Partai Solidaritas Indonesia, Grace Natalie. Grace mengatakan bahwa partainya “tidak akan pernah mendukung perda-perda Injil atau perda-perda syariah”.
Tidak bisa dipungkiri, komunikasi politik di media hari-hari ini makin riuh. Kubu-kubu yang berlaga dalam kontestasi politik pemilu 2019 secara sengit saling menyerang dan menjatuhkan. Pernyataan Grace Natalie itu pun salah satu yang tak luput dari serangan.
Karena dianggap merendahkan marwah agama Islam, Grace dilaporkan ke Bareskrim Polri, medio november. Kuasa hukum Zulkhair sang penggugat, Eggi Sudjana menilai pernyataan Grace Natalie itu mengandung unsur kebohongan dan bertentangan dengan beberapa ayat di Al-Quran.
Saya belum tahu apakah ketua umum partai berlogo mawar itu akan juga menuai protes dari kelompok politisi kristen yang mengusung ide Perda Injil di Manokwari.
Kelindan agama di ruang kebijakan publik memang bukan hal baru di negeri ini. Terlepas dari berbagai masalah sosial yang akan ditimbulkannya, Dr. Michael Buehler, dosen perbandingan politik di School of Oriental and Asian Studies, London, dalam bukunya The politics of Sharia Law memaparkan bahwa sejak 1998 sampai 2017 silam, 443 Peraturan Daerah berbasis agama telah diterbitkan di seluruh Indonesia.
Perda Injil sebenarnya bukanlah wacana yang unik. Jika pada umumnya perda bernuansa agama di dominasi oleh nilai-nilai Islam, perda Injil adalah bakal produk hukum serupa yang diklaim bernafaskan agama Kristiani.
Perda ini direncanakan berlaku di wilayah Manokwari Papua barat. Meskipun sampai hari ini tak kunjung ditetapkan dan mengalami berbagai hambatan sejak diusulkan tahun 2006 silam, para pengusung Perda Injil optimis dapat menetapkannya sebelum 2018 berakhir.
Isi dari Perda Injil ini, seperti pada umumnya Perda bernafaskan agama, hendak mengatur berbagai aktifitas kerja, libur, makanan, minuman dengan referensi norma agama Kristen. Sebuah upaya yang saya duga akan pelik, karena kekristenan tidak punya satu refererensi tunggal tunggal untuk menata hal-hal tersebut.
Selain itu, Perda Injil akan mengatur soal kewajiban umat Kristiani untuk mengkhususkan hari minggu untuk beribadah di Gereja, pengaturan distribusi minuman beralkohol, dan penyertaan simbol-simbol agama kristiani di ruang publik dan pemerintahan.
Bara dalam Sekam Sejarah?
Tapi, apakah motif utama terbitnya Perda Injil di Manokwari?
Secara umum para pengusung Perda Injil berpendapat bahwa perda ini dibuat untuk melestarikan ingatan publik tentang Manokwari sebagai tempat pertama masuknya Injil ke wilayah Papua barat.
Sejarah mencatat pada tanggal 5 Februari 1855, dua misionaris Jerman, Carl Ottow dan Johan Gottlieb Geissler (dikenal sebagai Rasul di Papua), tiba di pulau Mansinam, di pesisir Manokwari. Sejak itu, Manokwari dikenal secara tak resmi sebagai “Kota Injil”, dan dalam tahun-tahun belakangan diadakan perayaan untuk memperingati peristiwa itu setiap tanggal 5 Februari.
Namun peneliti Reformed Center For Religious and Society, Binsar Anthony Hutabarat dalam risetnya berjudul “Perda Injil di Manokwari dalam pandangan Kristiani”, menguak konteks yang lebih rumit.
Binsar mengemukakan bahwa ide penerbitan Perda Injil tidak dapat dilepaskan dari sebuah konflik pada tahun 2005 silam. Kala itu sang Gubernur hasil Pilkada 2004, Rahimin Kacong berencana membangun Masjid raya dan Islamic Centre di Manokwari. Konon luas area Islam Centre tersebut mencapai empat hektare dan digadang-gadang sebagai Islamic Centre terbesar di Asia Tenggara.
Lokasinya juga turut jadi bahan penolakan umat Kristen di Manokwari. Masjid Raya ini diproyeksikan akan dibangun dekat bandara. Setiap orang yang akan mendarat di Manokwari akan melihat kubah masjid dari atas pesawat, bukan bangunan gereja. Beberapa tokoh adat khawatir jika citra Manokwari sebagai “Kota Injil” akan berubah menjadi “Kota Muslim”. Rencana itu kemudian direspons dengan aksi protes dan demonstrasi dari kelompok adat dan sebagian umat Kristen setempat pada 2006 silam.
Di tengah sekam konflik antar identitas inilah roh Perda Injil mendapatkan suntikan ideologisnya.
Imajinasi sosial politik dalam Injil
Secara etimologi Injil berasal dari kata Injil (bahasa Yunani: ευαγγέλιον/euangelion/Kabar Baik, bahasa Inggris: Gospel) adalah istilah yang umumnya digunakan untuk menyebut keempat kitab pertama dalam Alkitab Perjanjian Baru menurut kepercayaan Kristen. Meski dalam perkembangan agama kristen sendiri terdapat sekurang-kurangnya 30 versi Injil yang menarasikan kehidupan dan ajaran Yesus Kristus, hanya 4 Injil yang akhirnya diakui sebagai bagian dari kanon Alkitab.
Terlepas dari kerumitan penyusunan kanon Injil dalam Alkitab, apa yang dibayangkan para pendiri agama Kristen soal Injil ternyata tidaklah mengacu kepada kitab suci. Alih-alih mengacu pada Alkitab, Injil dideskripsikan sebagai imajinasi sosial politik alternatif bagi orang-orang Kristen perdana.
Dalam konteks abad pertama Palestina, istilah kabar baik Injil (ευαγγέλιον/euangelion) sebenarnya adalah jargon propaganda politik Tiberius, sang Kaisar Romawi penguasa dunia di masa itu.
Jargon kabar baik itu kurang lebih hendak mengatakan bahwa di bawah kepemimpinan kolonial kaisar, seluruh dunia akan hidup dalam keadilan, damai, dan stabilitas ekonomi asalkan semua orang tunduk di bawah kepemimpinan sang Imperialis. Jargon “Injil Kaisar” ini tentu menjadi alat propaganda imperium Romawi untuk menaklukkan para pembangkang pajak, milisi separatis, dan pemalas yang enggan bekerja untuk pembangunan imperium Romawi di seluruh dunia. Maka, setiap kali mendengar kata Injil, kebanyakan orang saat itu membayangkan kerja, kerja, kerja.
Namun, tentunya tidak ada kesejahteraan dan keadilan yang sejati di bawah kolonialisme.
Di bawah bayang-bayang narasi besar perlawanan terhadap penjajahan inilah Injil Yesus Kristus lahir. Mengacu kepada semangat pembebasan nasional para nabi Israel di Perjanjian Lama yang memberi visi kemerdekaan, keadilan dan kesetaraan, Yesus Kristus, menurut kesaksian para pengikutnya, meramu, dan mempropagandakan versi alternatif dari “Injil Kaisar”, yaitu Injil Kerajaan Allah.
Jika di dalam “Injil Kaisar” rakyat diperlakukan secara rasialis, diskriminatif, dan ditindas, maka Injil Kerajaan Allah berpihak pada pembebasan kelompok-kelompok marjinal, sakit, miskin dan tertindas di berbagai daerah pinggiran di Palestina.
Menariknya, kerja-kerja perlawanan ini dilakukan melampaui identitas keagamaan. Tercatat dalam berbagai bagian Injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, gerakan Injil Kerajaan Allah yang dikerjakan Yesus dan pengikutnya melibatkan pembebasan kepada etnis dan agama yang berbeda. Ada sifat multikultural dan inklusif di dalam pembebasan bercorak Injil Kerajaan Allah.
Kehilangan Daya Pembebasnya
Sejarah kekristenan sejak abad ke-4 sampai abad ke-20 menunjukan bahwa tiap kali Injil dieksplisitkan menjadi sebuah aturan hukum positif (baca: dikutip secara vulgar), ia justru kehilangan daya pembebasannya.
Sejak abad ke-4 masehi kala kekristenan menjadi agama resmi imperium Roma (Corpus Christianum) hingga di era Protestanisme modern ketika kekristenan menjadi sedemikian Vulgar dieksplisitkan di ruang publik oleh ormas Deutsche Christen di Jerman pada masa Hitler, upaya vulgarisasi ayat-ayat kitab suci justru menjadi kekuatan pembelenggu dan pembunuh kehidupan.
Pesan injil, demikian menurut Jurgen Moltmann, menjadi dangkal karena diterapkan secara harafiah ketimbang dipahami lebih luas dari konteks sosial politiknya.
Bagi begawan teologi Protestan abad ke-21 ini, Injil menembus ruang politik dengan semangat pembebasan semata karena sifat universalnya yang pertama-tama mengharuskannya menegasi simbol-simbol agama dan mewujudkannya dalam kasih, keadilan, dan kesejahteraan bagi semua orang (Galatia 3:28).
Ketimbang memperjuangkan terbitnya perda sektarian, kabar baik Injil akan bercahaya dengan gemilang jika pemerintah daerah beserta segenap gereja di Manokwari membuat upaya-upaya strategis bagi pengentasan kemiskinan akut di wilayahnya. Kita tentu mahfum bahwa Provinsi Papua Barat menurut laporan Biro Pusat Statistik tahun 2017 menduduki peringkat kedua termiskin di Indonesia.
Bukankah dalam manifestonya Yesus Kristus sendiri mengatakan bahwa Injil pertama-tama adalah kabar baik tentang pemebasan bagi orang miskin dan tertindas (Lukas 4:18)?[tirto]