Diakonia.id – Menggereja tanpa mengindonesia adalah sebuah ketidakmungkinan eklesial. Artinya, kita tidak bisa disebut gereja apabila kita mengabaikan konteks hidup bergereja kita, tanah air Indonesia.
Pikiran ini sejalan dengan wawasan teologi inkarnasi, Allah yang menjadi manusia dan menyejarah dalam konteks hidup konkret. Alhasil, tanah air Indonesia bukan hanya menjadi konteks historis-sosiologis, tetapi juga konteks teologis gereja-gereja. Karena itu, panggilan kebangsaan gereja-gereja di Indonesia menjadi panggilan teologis yang menentukan hidup-matinya kita sebagai gereja Tuhan dalam ziarah teologis-sosiologisnya di masa kini.
Panggilan teologis kebangsaan itu menyediakan ruang bagi kita untuk menjadi gereja dengan jalan menggulati dan menikmati proses sejarah sosial kita sebagai negara-bangsa dengan aneka kultur dan ragam persoalan sosial-politik yang dihadapi bersama. Dalam konteks itu, gereja-gereja tidak terpanggil sendiri, tetapi gereja selalu terpanggil bersama yang lain.
Realitas ini menantang gereja-gereja untuk membangun relasi dan kerjasama bukan hanya dengan gereja dari denominasi lain, tetapi juga dengan kelompok agama, aliran kepercayaan, bahkan kelompok orang yang tak beragama. Relasi dan kerjasama ini adalah manifestasi dari wawasan oikumene semesta.
Semesta dengan beragam manusia dan budaya adalah medan cinta dan karya Allah. Karena itu, oikumene yang diperjuangkan bukan hanya keesaan antar gereja, itu hal penting yang didoakan Yesus. Akan tetapi, gereja juga perlu memperjuangkan persatuan antar-manusia di dalam dunia ciptaan Allah, ini misi yang Allah mandatkan bagi gereja.
Dengan wawasan oikumene yang luas dan dalam itu, gereja-gereja diajak berkarya secara nyata bersama yang lain (oikumene in action with the others) untuk menghadirkan syalom Allah di dalam dunia yang sarat dengan ketidakadilan, diskriminasi, kekerasan, pelanggaran HAM, korupsi, perampokan dan pengrusakkan alam. Pertanyaannya, bagaimana wawasan oikumenis yang manis itu diwujudkan?
Kembali ke Gereja Lokal
Pertanyaan di atas perlu dilihat secara serius. Sependek amatan saya, Spirit oikumene in action di atas lebih terpusat pada titik-titik tertentu, seperti PGI Salemba 10, Kantor-kantor PGIW atau PGIS.
Spirit itu melembaga dan mati tertawan secara kelembagaan. Padahal, spirit oikumene in action itu harus menjadi kesadaran warga jemaat (warga gereja lokal) dan menjadi gerakan di akar rumput. Karena itu, tidak heran kalau wujud aktivitas gerakan oikumenis mandeg hanya dalam aktivitas ritual-seremonial dan rapat-rapat.
Menurut saya, momentum Sidang Raya di Sumba menjadi momentum untuk kita melihat kembali gereja lokal sebagai basis penting dalam arak-arakan oikumenis. Gereja lokal atau jemaat adalah wujud konkret gereja yang esa, kudus, am dan rasuli. Karena itu, karya-karya ministerial sebagai manifestasi dari gerakan oikumene in action harus pula dimulai dari gereja-gereja lokal.
Karena itu, Sidang Raya di Waingapu harus mengapungkan kembali kesadaran dasar ini, dan PGI serta Sinode-Sinode Gereja harus terus melakukan pendidikan transformatif di jemaat-jemaat untuk menumbuh-kembangkan kesadaran dan praksis oikumene in action bersama yang lain. Tanpa ini, oikumene in action hanya menjadi retorika elit, dan terus berada dalam stagnasi. Hidup berokumene harus dimulai dari gereja lokal.
Kedua, sebagai langkah praktis membangun gerakan oikumene-kebangsaan, gereja-gereja dan PGI perlu mempersiapkan warga gereja yang hidup dengan kesadaran ganda (warga kerajaan Allah dan warga negara) dan cakap mengaplikasikan panggilannya secara etis dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Sudah saatnya bagi gereja-gereja mempersiapkan warganya untuk berkarya dalam segala bidang dengan spirit membagi kasih Tuhan dengan jalan membangun kehidupan publik yang lebih baik.
Gereja tidak boleh alergi, takut, atau pun ragu-ragu untuk berbicara mengenai isu-isu sosial-politik. Gereja bertanggung-jawab untuk mempersiapkan warganya agar mampu berkiprah signifikan untuk kemajuan bangsa.
Akhirnya, dengan semangat menjemaatkan gerakan oikumene in action secara kontekstual dalam hidup berbangsa-bernegara, sudah saatnya gereja memperkaya dirinya dengan pelayanan-pelayanan diakonal yang reformatif dan transformatif. Acara ritual-seremonial yang menghabiskan ratusan juta dalam dua-tiga jam, harus diarahkan untuk pembangunan sumber daya manusia dengan dampak jangka panjang yang lebih melegakan.
Cara terbaik gereja berkontribusi bagi perbaikan kondisi sosial nasional adalah dengan mempersembahkan putra-putri terbaik untuk membangun bangsa. Bukankah Alkitab sendiri meminta hal ini? “Persembahkanlah tubuhmu sebagai persembahan yang kudus dan yang berkenan kepada Allah.” Dengan jalan itu, gereja sudah melayani dan menyenangkan hati Tuhan, Sang Pemilik dan Kepala Gereja. (pgi)
Penulis: Pdt. Hariman A. Pattianakotta