Diakonia.id – Dalam masa pra-Paskah dua tahun lalu saya mengkhotbahkan seri yang berkutat pada kengerian salib. Mengapa Yesus dibunuh? Mengapa Ia disiksa? Mengapa Ia disalibkan? Dan yang terutama, siapa yang telah membunuh Yesus? Pada masa pra-Paskah kali ini saya tegaskan bahwa Allah tidak membunuh Yesus. Yesus dibunuh oleh pemerintah dan penguasa dan kekuasaan – istilah yang digunakan oleh Rasul Paulus untuk menggambarkan institusi yang sangat berkuasa, sangat kaya, sangat religius dan roh yang bergerak di dalam institusi ini. Yesus dibunuh oleh struktur kekuasaan politik, ekonomi dan religius yang diwakili oleh Pontius Pilatus, Herodes Antipas dan Yosep Kayafas. Dalam narasi Injil kita melihat gubernur Romawi, raja Yudea dan Imam Besar berakting dalam sandiwara jahat untuk mengeksekusi Yesus. Allah tidak membunuh Yesus, budaya dan peradaban manusia-lah yang membunuh Dia. Allah tidak menginginkan kematian Yesus – kita yang demikian.
Seri khotbah pra-Paskah itu secara mengejutkan ternyata populer. Saya menemukan bahwa banyak orang Kristen yang sangat lega saat mengetahui bahwa pengampunan dosa kita tidak didasari oleh pembunuhan Yesus oleh Allah. Banyak orang yang menerima hal ini sebagai kabar baik: bahwa pengorbanan anak tidak termasuk dalam rencana Allah untuk menyelamatkan dunia. Karena kepopuleran seri khotbah ini sebuah sekolah Alkitab mengundang saya untuk berpartisipasi dalam sebuah debat terbuka mengenai apakah Allah membunuh Yesus atau tidak. Lawan debat saya berpegangan pada teori John Calvin bahwa Allah harus mencurahkan amarah-Nya pada korban tak berdosa sebelum Ia bisa mengampuni dosa.
Di antara banyak permasalahan dalam teori Calvin mengenai salib, salah satunya adalah teori ini membuat Allah tampak seperti seorang tiran picik dan mirip monster. Menghukum pihak yang tak bersalah supaya bisa mengampuni yang bersalah adalah logika yang kacau, teologi yang mengerikan dan penyimpangan luar biasa dari gagasan keadilan. Debat yang diberi tajuk ‘The Monster God Debate’ saat itu direkam dan kemudian disaksikan ribuan kali secara daring. Sepanjang tahun berikutnya saya menerima ratusan surat dari orang-orang di seluruh dunia yang merasa lega setelah tahu bahwa Jumat Agung bukanlah hari dimana Allah membunuh Anak-Nya.
Apa yang Yesus lakukan di salib jauh lebih misterius dan indah ketimbang sekedar mengorbankan diri-Nya dalam sebuah ritual pengorbanan primitif. Ritual pengorbanan seperti itu mungkin menyenangkan hati Quetzalcoatl sang dewa Aztec, tapi itu tak ada hubungannya sama sekali dengan Bapa Yesus. Salib adalah benturan dahsyat antara kekejaman, kekerasan, kesadisan dengan pengampunan. Bagian penuh kekerasan adalah sepenuhnya dari manusia. Bagian pengampunan sepenuhnya ilahi. Sifat Allah dinyatakan dalam kasih, bukan dalam kekerasan. Salib Romawi adalah alat kekejaman kekaisaran yang Yesus ubah menjadi simbol kasih ilahi.
Dalam Kitab Suci dan pengakuan iman/kredo kita, kita mengaku bahwa Kristus mati bagi dosa kita, tapi ini tak berarti kita harus menafsirkan salib menurut model ekonomi dimana Allah harus mendapat modal yang memadai untuk mengampuni dosa melalui pembunuhan keji Anak-Nya. Bagaimana teori ‘Allah yang dibayar’ ini bekerja? Apakah Allah memiliki skala penyiksaan tertentu yang harus dicapai baru murka-Nya reda? Jika Allah mensyaratkan kematian Yesus baru kemudian Ia bersedia mengampuni, apakah harus dengan kematian yang sadis? Haruskah lewat penyaliban? Haruskah dengan melibatkan cambuk Romawi? Apakah Allah punya batas cambukan minimum yang harus ditanggung oleh Yesus? Apakah mahkota duri benar-benar dibutuhkan? Apakah Allah butuh jumlah duri tertentu untuk meredakan murka-Nya? Dan jika Anda menjawab, “Tidak, itu absurd! Sebagian penyiksaan yang Yesus alami adalah penyiksaan tak beralasan dari orang-orang kejam.” Kalau begitu, tolong jelaskan, bagaimana pembagiannya? Berapa banyak dari siksan itu yang diperlukan untuk meredakan murka Allah dan berapa banyak yang ‘hanya untuk olahraga’? Teori salib yang mengatakan Allah-lah yang menginginkan penyiksaan dan pembunuhan atas Yesus telah mengubah Bapa Yesus menjadi monster kejam dan sadis. Itu namanya keselamatan oleh sadisme ilahi.
Atau mungkin kita berkata bahwa bukan Allah yang menginginkan kematian Yesus, tapi keadilan. Keadilan mengharuskan penyaliban Yesus. Tapi ini menimbulkan pertanyaan, sesungguhnya siapa yang berdaulat? Apakah Allah hanya sekedar dewa bawahan yang tunduk kepada Dewi Keadilan? Dapatkah Anda membayangkan Allah berkata, “Begini, sebenarnya Aku ingin mengampuni kalian, tapi Aku harus lebih dulu membayar kepada Dewi Keadilan, dan dia adalah dewi kejam yang menuntut darah korban tak dosa lewat penyiksaan kejam”? Tidak! Allah tidak terikat kepada keadilan retributif.
KITAlah yang menuntut korban, bukan Allah. Kitalah yang bersikeras atas logika brutal yang mengatakan Allah tak bisa mengampuni. Kitalah yang tanpa berpikir mengatakan, “Allah tak bisa mengampuni, Ia harus memenuhi keadilan.” Tapi ini konyol dan edan. Ini adalah proyeksi kepicikan kita sendiri terhadap keluhuran dan keagungan Allah. Tentu saja Allah bisa mengampuni! Itulah artinya pengampunan! Pengampunan itu bukan menerima pembayaran atas suatu hutang. Pengampunan adalah pembatalan yang murah hati atas hutang. Tak ada pembayaran dalam pengampunan. Pengampunan adalah kasih karunia. Keadilan Allah bukan merupakan tindakan balasan. Keadilan Allah bukanlah konsep abstrak dimana dosa hanya bisa diampuni jika seorang korban tak berdosa menderita hukuman yang sangat berat dalam kadar yang memadai. Pada akhirnya, keadilan yang menghukum bukanlah keadilan sama sekali. Itu semata-mata pembalasan. Satu-satunya keadilan yang diterima oleh Allah adalah keadilan yang menjadikan segala sesuatu benar pada tempatnya. Keadilan bukan menghukum pengganti. Itu ketidakadilan!
Dalam perumpamaan anak yang hilang, sang ayah tidak menyuruh pasukan hambanya untuk menghajar seseorang dan menumpahkan amarahnya sebelum ia mengampuni anaknya. Tapi teori Calvin mengatakan penyisipan tak masuk akal ini dibutuhkan dalam perumpamaan Yesus yang paling indah itu. Tidak. Dalam perumpamaan anak yang hilang, sang ayah menanggung semua kerugian dan mengampuni anaknya dari persediaan kasihnya yang tak ada habisnya. Dia mengampuni, saja. Tanpa ada pembayaran. Keadilan dengan penghukuman, itulah yang disebut dengan keadilan oleh sang abang. Satu-satunya murka yang dapat kita temukan dalam cerita adalah murka sang abang yang seperti orang Farisi. Pemulihan hubungan adalah keadilan menurut sang ayah. Ritual mempersembahkan korban sebagai korban tidak ada hubungannya dengan keadilan Allah. Ritual itu berasal dari mekanisme pengkambinghitaman dimana suatu kaum/suku meredam bahaya mereka semua terkena murka dengan membunuh satu korban. Ritual pengorbanan tidak berasal dari hati Allah, tapi dari hati umat manusia yang dipenuhi kekerasan.
Dalam sejarah awal Israel, Taurat Musa mensyaratkan persembahan darah bagi pengampunan dosa. Tapi gagasan ini kemudian ditentang oleh para nabi. Enam ratus rahun setelah Musa memberikan Taurat mengenai persembahan korban, Daud berkata,
” Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan dan korban sajian, … korban bakaran dan korban penghapus dosa tidak Engkau tuntut.”
(Mazmur 40:7)
Hosea berkata bahwa Allah menginginkan “kasih setia, dan bukan korban sembelihan” (Hosea 6:6).
Itulah sebabnya penulis Ibrani mengatakan,
“Dan hampir segala sesuatu disucikan menurut hukum Taurat dengan darah, dan tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan,” (Ibrani 9:22) tapi lantas melanjutkan,
“Karena itu ketika Kristus masuk ke dunia, Ia berkata:
“Korban dan persembahan tidak Engkau kehendaki — tetapi Engkau telah menyediakan tubuh bagiku –. Kepada korban bakaran dan korban penghapus dosa Engkau tidak berkenan.
Lalu Aku berkata:
“Sungguh, Aku datang untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku.”
(dalam gulungan kitab ada tertulis tentang Aku).
Di atas Ia berkata:
“Korban dan persembahan, korban bakaran dan korban penghapus dosa tidak Engkau kehendaki dan Engkau tidak berkenan kepadanya”
(meskipun dipersembahkan menurut hukum Taurat). Dan kemudian kata-Nya:
“Sungguh, Aku datang untuk melakukan kehendak-Mu.” Yang pertama Ia hapuskan, supaya menegakkan yang kedua.
~Ibrani 10:5-9
Dengan kata lain, pemazmur, para nabi dan penulis nabi dapat memahami bahwa Allah menghapuskan ritual primitif mempersembahkan korban dan memberlakukan kehendak-Nya yang sesungguhnya sebagai keadilan. Inilah yang kita lihat dalam kehidupan Yesus.
Yesus dengan taat dan setia mewujudkan kehendak Allah bahkan sampai pada titik menumpahkan darah saat Ia mengampuni para pendosa. Yesus menumpahkan darah-Nya untuk membayar Allah dalam bentuk ritual pengorbanan. Bukan itu yang dikehendaki Allah. Yesus menumpahkan darah-Nya dalam ketaatan dan kesetiaan pada kehendak Bapa-Nya, menyatakan pengampunan ilahi … bahkan pada saat Ia disalibkan! Seperti yang Dia katakan kepada orang Farisi-yang-terobsesi-pada-persembahan, “Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan” (Matius 9:13).
Allah menghendaki hidup yang ditandai oleh kemurahan, bukan oleh timbulnya korban. Kematian Yesus bukanlah sebuah ritual pengorbanan untuk menenangkan atau meredakan murka, tapi demonstrasi tertinggi kemurahan Allah. Yesus menumpahkan darah-Nya bukan untuk membeli pengampunan Allah, Yesus menumpahkan darah-Nya untuk menyatakan pengampunan Allah!
[Brian Zahnd: Who Killed Jesus?; March 16, 2016]
http://www.brianzhand.com/2016/03/who-killed-jesus/
(Mona Yayaschka/dailygracia)