Diakonia.id – Siapa yang telah membunuh Yesus? Apakah Allah Bapa? Apakah Allah mengirim diri-Nya ke salib untuk membunuh diri-Nya sendiri dalam rangka menenangkan diri-Nya sendiri?
Seperti telah kita bahas sebelumnya, teori penebusan dengan terhukum atau terpidana pengganti (Penal Substitutionary theory of Atonement, PSA) dibangun di atas sistem keadilan yang sifatnya membalas/retributif. Ide ini menempatkan Allah sebagai seorang pendendam yang hendak membalaskan dendam-Nya dan menunjukkan pola pikir pagan (pemujaan kepada dewa-dewa berhala) dan bagaimana mereka perlu diberi sesajen/korban.
Kunci untuk memahami penebusan adalah dengan memahami Allah yang disingkapkan dalam Yesus. Dalam pelayanan dan pengajaran Yesus -dalam solidaritas-Nya dan sikap tak menghakimi-Nya terhadap umat manusia, kemampuan-Nya untuk mengampuni secara cuma-cuma, dan pandangan-Nya tentang dosa sebagai penyakit yang perlu disembuhkan- kita tidak akan menemukan model Allah yang menuntut pembalasan dan darah supaya bersedia mengampuni. Jika Anda renungkan, pengampunan yang bersyarat bukanlah pengampunan sama sekali. Pemahaman tentang terhukum/terpidana yang harus dihukum atas nama keadilan adalah konstruksi yang dibangun pikiran manusia dan adalah bentuk keadilan yang paling primitif. Keadilan versi sorga adalah keadilan restorasi: pemulihan, perbaikan, pengembalian. Keadilan yang memulihkan yang terluka dan hancur, bukan yang menuntut mata-ganti-mata, bentuk keadilan yang Yesus tolak.
Saya sangat takjub saat Paulus mengatakan darah Kristus telah menjadikan segala sesuatu dalam perdamaian (shalom) dengan Allah. Darah itu memperdamaikan segala ciptaan dengan Bapa. Kehidupan dan kematian Yesus adalah korban pendamaian bagi umat manusia, yang dipersembahkan dengan darah-Nya sendiri, yang meruntuhkan tembok-tembok permusuhan dalam pikiran kita, menyingkapkan sifat Abba, menyucikan dan membersihkan nurani kita dari rasa bersalah dan rasa malu, menunjukkan solidaritas-Nya atas penderitaan kita, memperlihatkan jalan kasih dan pengampunan yang baiknya kita ikuti, menelanjangi kekejaman dan ketidakadilan kita kepada sesama, mengalahkan dan mempecundangi penguasa dan kuasa kegelapan, mengalahkan dosa dan kematian, dan menciptakan perdamaian dan kerukunan dalam segala sesuatu.
Inilah sebabnya Yesus harus mati! Saat Dia bangkit kata-kata pertama yang keluar dari mulut-Nya adalah, “Damai sejahtera bagimu!” Inilah kalimat ciptaan baru. “Shalom.” Damai dan perdamaian. Kabar baik.
Yesus adalah Anak Domba Allah. Domba yang dikorbankan di perjanjian yang lama (old covenant) tidak pernah dianggap sebagai pemuas-murka. Korban domba adalah lambang kebebasan, ganti rugi, pelurusan hal-hal yang bengkok dan pendamaian. Saat domba dikorbankan, orang yang berdosa mengucapkan dosa-dosanya dan memindahkannya kepada domba supaya dosanya diampuni dan dia dibebaskan dari rasa malu dan rasa bersalah akibat dosanya itu.
Dalam Perjanjian Lama (Old Testament) Allah tidak mencari celah dimana Ia bisa melampiaskan murka atas Anak Domba dalam sebuah tuntutan hukum, demikian pula kematian Anak Domba bukanlah lambang keadilan Allah yang menuntut balas. Sebaliknya, Anak Domba merupakan simbol bahwa dosa dan rasa bersalah ontologis manusia sudah diampuni lewat tubuh jasmani Anak Domba. Kematian Anak Domba menyediakan pemurnian, penyucian, pembersihan hati nurani dan pemulihan damai dengan Allah dalam hati manusia.
Korban domba bukan diperuntukkan bagi Allah. Korban domba diperuntukkan bagi kita.
Allah tidak membutuhkan darah domba untuk mengampuni Israel, tapi Dia memberikan sistem pengorbanan kepada mereka sebagai cara untuk mengaku dosa, untuk mengkoreksi yang salah, bagi hati yang penuh penyesalan, agar mengalami kemerdekaan dari rasa malu dan pemulihan hubungan. Sistem ini adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban atau akuntabilitas kepada Allah, yang mengetahui betapa seriusnya dosa dan pekerjaan maut, dan pada saat yang sama menyingkapkan hadirat Allah dalam hati yang menyesal dan hubungan yang dipulihkan.
Tapi sistem ini hanya sebuah bayangan dari sesuatu yang luar biasa besar. Suatu bayangan dari pewahyuan salib yang menakjubkan.
APAKAH DARAH DIBUTUHKAN BAGI PENGAMPUNAN?
“Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.”
~Matius 26:28
“Dan hampir segala sesuatu disucikan menurut hukum Taurat dengan darah, dan tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan.”
~Ibrani 9:22
Inilah ayat-ayat yang sepertinya menunjukkan pengampunan Allah dibeli dengan darah. Tapi kita juga memiliki ayat lainnya yang berkata:
“Kepada korban sembelihan dan korban sajian Engkau tidak berkenan – tetapi Engkau telah membuka telingaku – korban bakaran dan korban penghapus dosa tidak Engkau tuntut.”
~Mazmur 40:7
“Sebab Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan; sekiranya kupersembahkan korban bakaran, Engkau tidak menyukainya. Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah.”
~Mazmur 51:18-19
Penulis Ibrani mengutip Mazmur 40:7-8:
“Karena itu ketika Kristus masuk ke dunia, Ia berkata: “Korban dan persembahan tidak Engkau kehendaki — tetapi Engkau telah menyediakan tubuh bagiku –. Kepada korban bakaran dan korban penghapus dosa Engkau tidak berkenan. Lalu Aku berkata: Sungguh, Aku datang; dalam gulungan kitab ada tertulis tentang Aku untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku.”
~Ibrani 10:5-7
Yesus kembali memberi penekanan tentang hal ini, mengutip Hosea 6:6 dua kali, “Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan” (Matius 9:13, 12:7).
Dalam hidup-Nya Yesus memperlihatkan belas kasihan ini. Contohnya di Matius 9:2: “Maka dibawa oranglah kepada-Nya seorang lumpuh yang terbaring di tempat tidurnya. Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu: “Percayalah, hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni.” Lalu di ayat 6, “Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa” — lalu berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu –: “Bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu!”
Yesus menyuruh si lumpuh itu bangkit dan pulang tanpa menyuruh dia mempersembahkan korban lebih dulu; yang dikatakan-Nya hanyalah dosa orang itu sudah diampuni.
Saat seorang perempuan berdosa datang kepada Yesus dan menangis di kaki-Nya, menyeka kaki-Nya dengan rambutnya, mencium dan menuangkan parfum mahal di kaki-Nya, Yesus berkata kepada perempuan itu, “Dosamu telah diampuni.” Lalu kemudian Yesus berkata lagi, “Imanmu telah menyelamatkan engkau [menyembuhkan dan memulihkan engkau, membuat engkau utuh], pergilah dalam damai sejahtera!” (Lukas 7:48, 50). Tak ada darah. Tak ada korban yang dipersembahkan. Hanya hati yang hancur.
Secara gamblang Yesus menjelaskan bagaimana pengampunan terjadi, tanpa menyebut-nyebut darah. “Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga” (Matius 6:14).
Lebih jauh lagi, sepanjang Perjanjian Lama, kita melihat Allah mengatakan lewat para nabi bahwa orang fasik hanya perlu berbalik dari dosa mereka dan melakukan keadilan dan kebenaran, maka Allah akan mengampuni dia. Tak ada darah yang harus ditumpahkan. Seperti kata Daud, persembahan yang sejati yang atasnya Allah berkenan adalah hati yang hancur. Bukan darah.
Poin-poin ini nampaknya sederhana, tapi menimbulkan pertanyaan. Mengapa Kitab Suci mengatakan, “Dan hampir segala sesuatu disucikan menurut hukum Taurat dengan darah, dan tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan”?
Apa kegunaan darah?
Pertama, saya ingin Anda merenungkan bahwa darah Yesus tidak pernah secara harfiah menyentuh siapapun dari kita. Darah Yesus secara harfiah menetes ke tanah dan terurai. Tapi, darah itu “membersihkan” kita. Bagaimana bisa?
Jawabannya, seperti banyak hal lain dalam Kitab Suci, kita berurusan dengan metafora/pengibaratan. Saat kita membicarakan realita spiritual, kita menjelaskannya dengan realita fisik, karena itulah yang kita pahami. Dalam realita fisik, kita mencuci dan atau membersihkan sesuatu untuk mengenyahkan noda atau kotoran darinya. Hal ini digunakan sebagai metafora untuk mengenyahkan rasa malu dan rasa bersalah dari jiwa.
Lalu, bagaimana darah Yesus “membersihkan” kita?
Dalam praktek persembahan korban di Israel, darah melambangkan hidup/nyawa binatang yang dikorbankan. Dosa manusia, berikut rasa malu dan kuasa maut ditransfer atau dipindahkan kepada korban hewan. Saat hewan itu mati, dosa diampuni. Ritual ini bukanlah ritual menenangkan murka Allah, tapi merupakan gambaran Allah menyingkirkan dosa dan rasa malu dan rasa bersalah yang menyertainya. Secara harfiah, itu adalah tindakan terapeutik/pengobatan bagi manusia yang terikat oleh rasa bersalah dan merupakan bayangan akan Kristus yang akan datang. Ritual ini diperuntukkan bagi kita, BUKAN bagi Allah. Itu adalah pengalaman inderawi bagi hati nurani kita yang merupakan simbol penghapusan dosa dan pembaharuan damai dengan Allah.
Tampaknya tidak terlalu penting, tapi Jacob McMillen katakan:
“Kata-kata ‘ketenangan pikiran’ mungkin terdengar basi dan tak ada artinya bagi kita yang hidup di zaman dunia modern dan saintifik sekarang ini. Tapi bayangkan apa yang terjadi pada masa Musa, seluruh peradaban memandang ‘allah’ atau dewa-dewa mereka sebagai makhluk yang penuh murka, pendendam yang harus ditenangkan dan dipuaskan dengan darah. Setiap bencana alam, setiap kali terjadi kelaparan, setiap ada wabah penyakit, dll -hal-hal yang kita pahami sebab terjadinya secara keilmuan hari ini- pada masa itu selalu dikaitkan dengan hukuman allah atau dewa. Di wilayah yang bertetangga dengan Israel, bukan hanya hewan yang dikorbankan. Bayi dan anak-anak pun dikorbankan sebagai usaha untuk menenangkan kemarahan dan murka ‘ilahi’. Jadi isu ‘Bagaimana aku mencegah agar aku dan orang-orang yang kukasihi tidak dimusnahkan oleh dewa-dewa’ bukanlah suatu catatan kaki dalam buku teks teologi, tapi merupakan suatu ketakutan kasat mata yang telah menulisi halaman sejarah selama berabad-abad.”
Hal yang sama dengan kata-kata “darah Yesus” dalam Perjanjian Baru (New Testament). Kata-kata ini secara prinsip sama dengan sistem pengorbanan hewan, namun menggantikannya sepenuhnya pada saat yang sama. Tindakan Kristus di salib bukanlah persembahan korban manusia kepada Allah. APA YANG KRISTUS LAKUKAN DI SALIB ADALAH KORBAN ALLAH BAGI MANUSIA. Apa yang Kristus lakukan di salib adalah pewahyuan tertinggi kasih, dimana Allah menanggung semua rasa malu dan kuasa maut yang merusak ke dalam diri-Nya dan menghapuskannya. Dengan penuh kasih Dia mempersembahkan tubuh-Nya dan darah-Nya untuk kita sebagai jaminan kemerdekaan, kesembuhan, pemulihan dan pembersihan dari segala rasa malu dan rasa bersalah.
Ini bukanlah transaksi hukum dimana Allah berkata, “Aku harusnya membunuhmu dan menyaksikan darahmu mengalir dari tubuhmu karena Aku sangat murka, tapi daripada melakukan ini kepadamu, Aku akan melakukannya kepada Anak-Ku.” Allah tidak membantai Anak-Nya lalu berkata, “Nah, sudah. Sekarang Aku sudah menumpahkan kemarahan-Ku yang haus darah kepada Anak-Ku. Sekarang Aku bisa mengampunimu.”
Tidak! Itu bukan Allah. Itu berhala. Jika Anda menuntut pembayaran dengan satu atau lain cara, itu bukan pengampunan namanya. Allah mengampuni dengan limpahnya dan cuma-cuma, dan memberikan diri-Nya sebagai kesembuhan dan pembersihan hati nurani kita, mengundang kita untuk ambil bagian dalam sifat ilahi-Nya melalui tubuh dan darah-Nya sendiri, memberikan kita warisan dalam kemenangan-Nya atas dosa, maut dan si jahat. Dalam realita fisik, inilah yang namanya perjamuan atau ekaristi.
Ayat-ayat yang mengatakan darah diperlukan bagi pengampunan dosa BUKAN menggambarkan tindakan pengampunan Allah. Allah selalu bertindak mengampuni. Darah dikaitkan dengan pengampunan adalah tentang kesembuhan, pemulihan dan keutuhan. “Pengampunan” adalah tentang perbuatan aktif Allah melepaskan kita secara internal dari rasa malu dan rasa bersalah. Pengampunan adalah tentang menyucikan dan membersihkan hati nurani.
Kata yang diterjemahkan sebagai pengampunan (forgiveness) adalah “aphiémi” yang berarti “melepaskan” (to release, to set free, to deliver). Aphesis (bentuk nomina) tidak berarti Allah menyimpan dendam kepada kita sampai Ia melihat tenggorokan hewan korban itu disembelih, atau murka-Nya surut saat Ia menyaksikan darah itu mengucur dan kemudian Ia mengampuni kita. Tidak. Aphesis berarti membebaskan (to deliver, to set free). Korban itu tidak ada kaitannya dengan sifat Allah, karena Dia selalu dan selamanya penuh kebajikan, kebaikan dan pengampunan. Yesus berkata, “Dosamu sudah aphiémi (bentuk verba dari aphesis),” tanpa menuntut darah.
Pengampunan adalah sifat Allah yang kekal abadi. Yesus mengatakan Bapa adalah penuh kasih bahkan kepada musuh dan baik “terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat” (Lukas 6:35). Dan Yesus katakan Bapa inilah yang harus kita tiru.
Jadi, darah Yesus memerdekakan, membebaskan dan melepaskan kita dari apa? Dari murka Allah? TIDAK. Kita dibebaskan dari dosa kita sendiri, dari rasa bersalah kita, dari kehancuran dan kebobrokan kita dan dari kematian. “Upah dosa adalah maut” … bukan maut di tangan Allah. Maut semata-mata adalah hasil alami dari dosa. Allah memberikan kehidupan (Roma 6:23).
Ibrani 2:14-15 sangat jelas menunjukkan bahwa bukan Allah yang menanggungkan kuasa maut atas kita:
“Karena anak-anak itu adalah anak-anak dari darah dan daging, maka Ia juga menjadi sama dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka, sehingga oleh kematian-Nya Ia memusnahkan kuasa iblis yang memiliki kuasa atas maut; dan dengan jalan demikian Ia membebaskan mereka yang seumur hidupnya berada dalam perhambaan oleh karena ketakutan kepada maut.”
Tujuan darah bukan untuk membebaskan Allah dari kemarahan-Nya, tapi membebaskan kita dari kekacauan ontologis akibat dosa dan maut dan perhambaan karena ketakutan yang ditimbulkannya.
LEBIH BESAR DARI TIPOLOGI DAN BAYANGAN
Teori Penal Substitutionary Atonement (PSA) yang kita bahas dalam artikel sebelumnya tidak membahas tipologi dan bayangan, seperti contohnya Paskah/Passover.
PASKAH
Darah domba Paskah bukanlah untuk menenangkan Allah yang murka dan haus darah, tapi supaya malaikat maut (dalam tradisi Yahudi dipahami sebagai setan) lewat dari (pass over) rumah orang yang menyapukan darah itu. Darah domba kemudian dianggap menjadi bagian dari kisah perjanjian dengan Allah dan pembebasan orang Israel dari perbudakan Mesir oleh-Nya. Tak ada hubungannya dengan menenangkan murka.
Yesus menekankan kematian-Nya dalam konteks Paskah, yakni saat Ia mengadakan perjamuan. Paskah bukan tentang murka yang dijinakkan. Paskah adalah tentang hubungan perjanjian (covenantal relationship) – suatu hubungan yang membebaskan kita dari perbudakan dan kematian. Jadi Yesus memandang kematian-Nya dalam konteks pembebasan Israel dari perbudakan dan kematian. Kematian (dan kebangkitan) Yesus mengalahkan dosa dan kematian dan menebus manusia dari kuasanya. Kematian itu juga menyingkapkan Allah adalah kasih. Jaminan kasih Allah ini ditunjukkan dalam darah Yesus yang menyucikan nurani kita dan membebaskan kita dari rasa bersalah dan rasa malu.
Inilah arti dari Hari Raya Pendamaian.
HARI RAYA PENDAMAIAN
Korban kambing dan domba yang disembelih tidak pernah dimaksudkan sebagai terhukum atau terpidana pengganti. Mereka mati bukan sebagai pengganti seluruh orang Israel yang harusnya Allah bunuh. Maksud hari raya ini adalah dosa diampuni dalam tubuh hewan itu sehingga orang Israel mengalami penyucian dan pendamaian dengan Allah.
Inilah arti korban dalam hubungan perjanjian. Korban melambangkan penghapusan dosa dan pemulihan hubungan. Saat orang Israel mempersembahkan hewan, konsepnya bukanlah, “Allah sedang mengamuk dan akan membunuh kita, tapi hewan ini akan menenangkan Dia.” Bukan itu tujuan pengorbanan hewan. Sebaliknya, hewan dikorbankan untuk memungkinkan orang Israel mengalami pengampunan dan pemulihan hubungan dalam masyarakat.
Dosa orang Israel bukan main banyaknya. Anehnya, Allah tetap mengampuni mereka. Lagi dan lagi. Tahun demi tahun.
Mengapa?
Karena kambing dan domba itu bisa memuaskan Dia?
Tidak. Pengampunan dan belas kasihan Allah tak ada habisnya; kambing dan domba itu adalah untuk menunjukkan Allah rindu memulihkan dan berhubungan dengan mereka. Dalam Kristus, Allah sendiri menyediakan pemulihan dan pendamaian. Allah memberikan diri-Nya sendiri.
Israel mempersembahkan korban dan memercikkan darah hewan ke Tabut Perjanjian tahun demi tahun, percaya bahwa rekan perjanjian mereka mengampuni mereka. Dan Allah terus mengampuni mereka, tahun demi tahun. Semua ini menunjuk kepada satu pewahyuan tertinggi: Allah mempersembahkan diri-Nya sendiri dengan sukarela bagi pengampunan dan pemulihan kita, dimana kita mengambil bagian dalam hal itu melalui perjamuan dan mengalami pengampunan dan pendamaian.
Domba Allah “terakhir/final” yang menghapus dosa dunia jauh melampaui segala tipologi dan bayangan.
Allah disingkapkan secara permanen sebagai Allah yang pengampun di kayu salib. Lebih dari itu, pengorbanan-diri ini menyelesaikan beberapa hal lain:
• Mengalahkan dosa dan kematian sepenuhnya
• Menyingkapkan sifat Allah yang sebenarnya
• Merayakan ciptaan yang baru
Salib bukan sekedar imitasi atau tiruan dari tipologi dan bayangan, tetapi adalah penggenapan dan langkah terakhir pewahyuan ilahi. Segala tipologi dan bayangan yang ada dalam Kitab Suci mengarahkan kita kepada pewahyuan dan realita yang jauh lebih besar.
Darah dan tubuh Yesus yang kita makan dan minum saat perjamuan kudus menyingkapkan penyerahan diri Allah kepada kita -kesatuan-Nya dengan kita- bahwa kini tak ada lagi pemisahan, bahwa kita memiliki hidup-Nya, dan kita ikut serta/ambil bagian dalam sifat/kodrat ilahi-Nya. Kesatuan itu meruntuhkan tembok keterpisahan dalam pikiran kita dan menyingkapkan bahwa Allah itu dekat. Kenyataannya, keterpisahan itu adalah sebuah dusta, yang dikembangbiakkan oleh rasa malu dan sadar-dosa kita sendiri. Allah tak pernah menarik diri dari kita. Sebaliknya, Adam yang bersembunyi dari Allah di Eden.
Allah adalah pengampunan. Dia adalah jalan kepada pendamaian. Yesus berkata, “Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Dia tidak mengatakan, “Bapa, ampunilah mereka, tapi tidak sebelum mereka menyadari apa yang mereka lakukan dan bertobat.” Yesus menyatakan kita tidak tahu apa yang kita perbuat, dan menyatakan Allah tidak memperhitungkan dosa kita kepada kita.
Akankah kita mengijinkan pengampunan tanpa syarat ini membawa kita berdamai dengan Bapa? Atau akan teruskah kita menempuh jalan terasing penghancuran-diri?
SALIB ADALAH DEKONSTRUKSI PARADIGMA PENYEMBAHAN BERHALA UNTUK MENYINGKAPKAN BAPA
Pemahaman orang Ibrani mengenai persembahan korban berasal dari sistem pengorbanan bangsa-bangsa penyembah berhala di sekitarnya.
Bangsa-bangsa sekitar Israel mempersembahkan korban dalam upaya menenangkan dewa atau ilah mereka yang murka. Tapi sistem persembahan korban Israel adalah tentang hubungan perjanjian, hati yang hancur, penyucian hati nurani dan pengampunan. Yesus merangkum semuanya dalam kemurahan dan belas kasihan seutuhnya, dan menggenapinya dalam tindakan penyerahan-diri di salib, dimana bukan manusia yang memberi persembahan kepada Allah, tapi Allah memberikan diri-Nya sendiri bagi kita. Sebaliknya, PSA membelokkan segala sesuatu kembali kepada penyembahan berhala dan persembahan korban untuk menenangkan Allah yang murka.
Persembahan darah adalah bagian dari agama berbasis ketakutan dalam semua kebudayaan di dunia. Ritual menenangkan dewa yang murka adalah aspek mendasar kebudayaan manusia sepanjang sejarah dan bagian dari usaha berdamai dengan para dewa. Allah “memperalat” hal ini dan itulah yang terjadi di salib.
Bahkan dalam budaya pengorbanan dalam Perjanjian Lama, demikian banyak ayat yang menunjukkan bagaimana hati Allah menanggapi persembahan korban, bahwa Ia tidak menghendaki persembahan, tapi kemurahan dan belas kasihan.
Sistem persembahan korban mengarah kepada pewahyuan tentang salib, yang menjungkirbalikkan kerangka berpikir persembahan korban dalam penyembahan berhala. Allah tidak menghendaki darah. Dia adalah Allah yang menumpahkan diri-Nya sendiri. Kita berdamai dengan Dia bukan dengan menumpahkan darah. DIA MENDAMAIKAN KITA DENGAN DIRI-NYA DENGAN DARAH-NYA SENDIRI. Dia mendamaikan pikiran kita yang memusuhi Dia dengan kasih-Nya yang penuh penyerahan-diri. BUKAN UNTUK MENYURUTKAN MURKA-NYA, tapi UNTUK MENYUCIKAN HATI NURANI KITA dan MENYINGKAPKAN PENGAMPUNAN-NYA YANG TAK BERSYARAT.
Korban yang dipersembahkan dalam Perjanjian Lama bukanlah bagi Allah, tapi bagi kita. Saat mereka menyembelih hewan, meletakkannya di atas mezbah dan membakarnya, menyaksikan asapnya naik ke langit, hati nurani mereka-lah yang sedang ditenangkan, bukan murka Allah!
Seperti dikatakan Paulus, kita hidup jauh/terasing dari Allah dan memusuhi-Nya DALAM HATI DAN PIKIRAN KITA yang tampak dari perbuatan kita yang jahat (Kolose 1:21). Allah tak pernah menarik diri dari kita, karena di dalam Dia kita hidup, kita bergerak dan kita ada. Segala keterasingan itu hanya ada dalam pikiran kita. Semua keterpisahan itu hanya ada dalam hati nurani kita yang dipenuhi rasa bersalah (hati nurani yang jahat).
Dengan ritual mempersembahkan korban ini, ada pertobatan dan pendamaian. Pemindahan dosa kepada hewan tak bersalah ini adalah sebagai pengingat apa yang diakibatkan dosa. Menjaga supaya ketidakadilan tetap dalam keseimbangan, sehingga orang Israel hidup menerapkan keadilan dan belas kasihan di hadapan Allah. Korban itu adalah mengenai perbaikan – memperbaiki hubungan antara Allah dengan manusia, dan manusia dengan manusia lain.
Tapi darah Yesus berdampak jauh lebih besar daripada darah hewan karena itu adalah persembahan Allah bagi kita, bukan sebaliknya. KITA yang meminum darah dan makan tubuh persembahan itu karena dengan demikian hati nurani kita disucikan, dibersihkan. Dia mempersembahkan diri-Nya dengan sepenuh pengampunan dan kasih, mempersatukan kita dengan hati-Nya. Kita merespon dengan perubahan hati seiring dengan limpahan kasih-Nya melanda hati kita.
Inilah darah perjanjian yang baru, the blood of the new covenant. Darah Allah sendiri. Inilah yang dirancang-Nya dalam demonstrasi kasih yang mengagumkan atas umat manusia, mencurahkan darah-Nya sendiri, melimpahkan kasih dan ampunan-Nya yang tak pernah gagal, sehingga kita menjadi bagian dari kehidupan-Nya.
Alkitab menelanjangi mitologi penyembah berhala mengenai ilah yang kejam, berpuncak pada salib Anak yang menyingkapkan siapa Bapa. Perjanjian yang lama memahami bahwa sistem pengorbanan adalah “pemanfaatan” pemahaman penyembahan berhala, perjanjian yang baru mengembangkannya hingga pada penggenapannya dalam Kristus. Korban Kristus adalah korban-anti-pagan. Bapa kita tidak seperti itu.
Allah tidak mengorbankan diri-Nya sendiri bagi diri-Nya sendiri untuk menyenangkan diri-Nya sendiri.
Jika memang demikian, Yesus tak perlu mengalami apa yang Dia alami. Dia hanya perlu menyuruh murid-murid-Nya menaruh-Nya di mezbah dan membunuh Dia supaya memuaskan murka Allah dan membuat Allah bersedia mengampuni kita. Hal demikian mungkin akan mendapatkan dua jempol bagi ide berhala monster yang ada di pikiran banyak orang. Tapi tidak. Itu bukan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus.
SEBAGAI RANGKUMAN …
Teologi modern telah terlampau jauh keliru memahami inti dari peristiwa salib. Di salib kita melihat Allah yang berdarah-darah, digantung di hadapan kita, setelah kita pukuli dan (akhirnya) bunuh. Allah yang dengan rela tunduk kepada kekejaman kita yang penuh permusuhan kepada Dia dan berseru memohon pengampunan atas kita, bukan pembalasan. Namun karena ketakutan atau mungkin ketidakmampuan kita untuk memercayai gambaran Allah yang demikian, kita justru memakai salib untuk mengesahkan kembali paham penyembahan berhala mengenai Allah dan memutarbalikkan salib menjadi sesuatu yang sama sekali berlawanan dengan arti salib sesungguhnya – kita menggambarkannya sebagai tempat Allah membantai Anak-Nya sebagai ganti kita para pendosa yang sudah membuat-Nya sangat murka.
Gambaran Allah membunuh diri-Nya sendiri untuk memuaskan diri-Nya sama sekali bukan Injil. Itu membuat Allah terlihat seperti Molokh, dewa yang menghendaki dan menginginkan darah, menyukai darah, membutuhkan darah untuk memuaskannya, untuk menenangkannya dan untuk membuatnya senang. Gambaran ini juga mengadu domba Allah dengan Anak. Dengan gambaran demikian, salib dipandang sebagai ungkapan kasih Yesus sekaligus sebagai ungkapan murka dan kekejaman dan kesadisan Bapa.
Tetapi Kitab Suci memberitahu kita bahwa Yesus adalah kepenuhan ke-Allahan dalam tubuh jasmani (Kolose 2:9) dan cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah (Ibrani 1:3). Saat Anda memandang Yesus di salib, Anda sedang memandang Allah. Bapa dan Anak tidak pernah terpisah. Saat Anda memandang Anak, Anda memandang Bapa.
Salib bukanlah ide Bapa. Itu ide manusia. Penyiksaan dan pembunuhan dengan memakukan manusia ke potongan kayu bukan berasal dari pikiran Allah. Itu berasal dari imajinasi manusia yang sudah rusak akhlaknya. Manusia yang menemukan penyaliban. Tapi Allah bersedia menundukkan diri-Nya kepada kekejaman manusia sehingga Ia bisa menyingkapkan kasih-Nya yang adalah antitesis bagi segala kekejaman, angkara murka, dan hikmat dunia yang suka mengkambinghitamkan.
Sistem pengorbanan di Perjanjian Lama adalah kelonggaran yang Allah berikan. Allah tidak butuh melihat darah mengalir dari hewan yang disembelih supaya murka-Nya surut. Itu penyembahan berhala. Korban adalah bagi manusia, bukan Pencipta alam semesta. Korban Yesus mengakhiri semua sistem pengorbanan. Bukan kita yang mempersembahkan darah dan daging sebagai minuman dan makanan untuk menenangkan murka Allah. Allah-lah yang mempersembahkan darah-Nya dan tubuh-Nya untuk kita minum dan kita makan, untuk menyucikan hati nurani kita. Allah-lah yang mendamaikan kita kepada diri-Nya, bukan kita yang mendamaikan diri kita kepada Dia.
“Sungguh, pada waktu Aku membawa nenek moyangmu keluar dari tanah Mesir Aku tidak mengatakan atau memerintahkan kepada mereka sesuatu tentang korban bakaran dan korban sembelihan; hanya yang berikut inilah yang telah Kuperintahkan kepada mereka: Dengarkanlah suara-Ku, maka Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku, dan ikutilah seluruh jalan yang Kuperintahkan kepadamu, supaya kamu berbahagia!”
~Yeremia 7:22-23
Dia yang kekal itu tak pernah menuntut darah.
Namun Dia mempersembahkan darah-Nya sendiri. Mengapa? Untuk menenangkan Allah? Tidak! Dia tidak menginginkan korban. Dia menyerahkan diri-Nya untuk menyelamatkan kita dari konsekuensi dosa dan kematian -untuk menyucikan hati nurani kita, menghapuskan dosa kita sekali untuk selamanya dan memerdekakan kita.
Tapi ini barulah awal dari tujuan-Nya, dengan membebaskan kita sekali untuk selamanya dari hati nurani yang jahat, kita berjalan dalam kesatuan dengan Dia, maka kita akan menjadi penggenapan kerinduan-Nya yang Dia sampaikan kepada Abraham, suatu umat yang membawa pengetahuan akan Allah dan berkat ke ujung bumi!
Beban rasa bersalah akibat dosa dalam hati nurani kita-lah yang membuat kita jauh dari Allah dalam pikiran kita dan membuat kita diperbudak dosa. Allah yang hadir dalam daging berkata, “Yang Kukehendaki adalah belas kasihan, bukan persembahan,” menumpahkan darah-Nya sendiri dan berkata, “Ini darah-Ku, minumlah. Makanlah. Semua ini untukmu. Inilah pernyataan-Ku kepadamu bahwa engkau sudah merdeka. Engkau diampuni. Aku tidak memperhitungkan dosamu kepadamu. Lakukanlah ini sebagai pengingat akan Aku. Hiduplah dalam kesatuan dengan-Ku dengan hati nurani yang sudah disucikan, dalam damai sejahtera, dalam sukacita, pergilah dan lakukan belas kasihan dan keadilan. Jadilah Tubuh-Ku bagi dunia.”
Inilah sebabnya Yesus mati. Inilah Injil.
[Jacob Wright: Who Killed Jesus? (Does God Require Blood to Forgive Us?); 16 January 2016]
https://brazenchurch.com/who-killed-jesus/
(Mona Yayaschka/dailygracia)