Diakonia.id – Umat gereja ortodoks di Indonesia harus menjalankan keyakinan iman di tengah bermacam persepsi dan stigma publik. Pakaian dan sebagian ajaran mereka dianggap mirip tradisi Islam.
Dan walau teologi mereka berpusat pada Yesus Kristus, umat gereja ortodoks memperingati Natal pada tanggal 7 Januari.
Namun keimanan mereka tetap utuh di tengah rupa-rupa penilaian masyarakat. Para penganut ajaran kekristenan ortodoks menganggapnya sebagai bagian dari kewajiban ‘memikul salib’.
Tidak terdengar lantunan lagu Natal saat sekitar 40 orang beribadah di Gereja Santo Thomas, Jakarta Selatan, 15 Desember lalu.
Sebuah pohon Natal berdiri di sudut altar. Hanya itu simbol yang terlihat di gereja ortodoks Rusia tersebut jelang peringatan kelahiran Yesus Kristus.
Selama hampir dua jam, umat gereja itu mendaraskan mazmur. Tak ada kursi, mereka semua berdiri. Laki-laki di sisi kanan, sementara para umat perempuan yang mengenakan kerudung berada di sebelah kiri.
Diikuti sekitar seribu orang di Indonesia, gereja ortodoks Rusia memiliki cara tersendiri untuk mengingat kelahiran Yesus Kristus. Bukan dengan ingar-bingar lagu atau perjamuan makan besar, tapi dengan sikap yang mereka sebut penyangkalan diri, selama 40 hari sebelum Natal.
Daniel Limpayas mengatakan itu kepada saya. Laki-laki keturunan Ambon itu menjalankan baptis selam khas ortodoks tahun 2012.
Setelah ibadah Minggu, akhir Desember lalu, Daniel menyantap sepiring nasi berlauk tempe. Keyakinannya mengharuskannya berpantang daging sebelum Natal.
“Ketika Desember datang, orang-orang merayakan Natal dengan riang gembira, di ortodoks kami harus berpuasa untuk mempersiapkan diri menyambut Yesus,” kata Daniel.
Daniel berkata, banyak kalangan, terutama di kelompok kristiani, menganggap ajaran mereka kuno. Peringatan Natal tanggal 6 Januari misalnya, didasarkan pada perhitungan kalender Julius.
Sistem penanggalan itu ditinggalkan sebagian besar komunitas Eropa, termasuk Katolik Roma, sejak penerapan sistem penanggalan Gregorius tahun 1582.
Namun ajaran dan ekspresi iman klasik itulah yang membuat Daniel benar-benar merasakan kehadiran Tuhan.
“Di gereja ini ada kekuatan spiritual kristen yang nyata. Saya tidak perlu berpura-pura gembira. Saya datang apa adanya dan Tuhan menerima saya juga dengan cara itu. Itu luar biasa,” ujar Daniel.
“Di ortodoks, memikul salib dan penyangkalan diri tidak hanya lewat omongan. Bagaimana orang lain tidak perlu tahu saya sedang berpuasa, itu bentuk penyangkalan diri dan menyatu dengan Yesus,” tuturnya.
Di gereja ortodoks pula, Elisabeth Kusumo mengaku merasakan kuasa Ilahi yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.
Resmi memeluk ajaran ortodoks tahun 2005, Elisabeth kini mengabdikan diri di salah satu biara tertua di Serbia. Ia tengah menunggu jadwal mengucap sumpah kaul kekal sebagai biarawati.
“Saya merasa lebih hidup walau dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali persoalan, dari kehilangan pekerjaan dan teman. Sebagian keluarga juga meninggalkan saya.”
“Saya merasa Tuhan baik, selalu mengabulkan yang saya mohonkan. Saya sekarang lebih sering berdoa, berpuasa dan menerima apapun apa adanya,” kata Elisabeth.
Mengimani ajaran ortodoks bukan hal yang mudah, kata Elisabeth. Suaminya yang wafat tahun 2016 merupakan keturunan bangsawan Bali yang besar dalam tradisi Hindu. Sementara itu, ayah Elisabeth menjalankan kepercayaan kejawen. Ibunya penganut Katolik.
Elisabeth berkata, keimanannya dalam ajaran ortodoks menebal saat suaminya yang terus-menerus dirundung penyakit jantung bebas dari koma tahun 2009. Padahal saat itu ia sudah menyiapkan urusan pemakaman suaminya.
“Saya tidak lagi berdoa agar Tuhan sembuhkan dia, tapi tiga bulan setelah baptis ortodoks, dia bangun, sehat, pulang dari rumah sakit dan hidup tujuh tahun lagi,” ujarnya.
Dan pada momen itu, kata Elisabeth, ia dan suaminya bersepakat, satu dari mereka yang hidup lebih lama harus mengabdi pada ajaran ortodoks. Itulah yang membawanya hijrah ke biara di Serbia.
“Saya hanya ingin tinggal dan melayani di biara,” tuturnya. Saat berkata-kata kepada saya, Elisabeth terlihat begitu emosional. Ia beberapa kali tersedu-sedu.
“Hidup di biara tidak mudah tapi saya tidak boleh mengeluh. Di biara saya ditempa untuk bertahan dalam kerendahan hati, dalam jadwal doa dan liturgi yang padat,” katanya.
Di seluruh dunia, setidaknya hingga 2018, penganut ajaran gereja ortodoks Rusia diperkirakan mencapai 150 juta orang.
Di Indonesia, gereja ortodoks pertama kali berdiri tahun 1988 di Solo. Penggagasnya adalah Romo Daniel Byantoro. Sejak itu, paroki di sejumlah daerah juga dibentuk.
Di Jakarta, Gereja Ortodoks Rusia Santo Thomas dipimpin Romo Boris Setiawan. Ia berkata, Romo Daniel membaptisnya pada tahun 1993.
Boris berkata, gereja ortodoks secara resmi berada di bawah naungan Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Aturan pemerintah mewajibkan gereja mereka terdaftar secara hukum.
Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia bergabung ke PGI, walau memiliki cara ibadah dan beberapa perbedaan ajaran dengan lembaga induk gereja Kristen Protestan itu.
“Gereja di bawah PGI bisa mengatur administrasi sendiri-sendiri. Kami juga masih bisa tunduk dengan hierarki tertinggi kami di Rusia,” kata Boris.
Secara umum, Boris menyebut umat gereja ortodoks di Indonesia tidak mengalami represi atau intimidasi. Namun sebagian kelompok beragama disebutnya berpersepsi negatif tanpa memahami ajaran ortodoks secara utuh.
“Kami adalah kristen tapi minoritas, kami masih merasa belum menjadi bagian dari mereka. Kami hanya merasa bagian dari Indonesia dan penganut Pancasila.”
“Kami berhubungan baik dengan beberapa gereja. Ajaran Kristus adalah kasih, saya yakin setiap gereja mengajarkan itu. Walaupun mayoritas atau besar, mereka akan tetap melindungi dan merangkul gereja kecil,” kata Boris.
Boris juga menyebut potensi persinggungan dengan agama lain soal menara dan kubah dalam arsitektur tradisonal gereja ortodoks. Menara, kata dia, menyimbolkan lilin, sedangkan kubah merupakan api.
“Kami putuskan gereja ortodoks di Jawa tidak akan menggunakan kubah. Di daerah kantong Kristen mungkin bisa. Kami bisa lebih mudah menjelaskan kepada mereka,” ujarnya.
“Kami menghormati opini setiap agama, makanya kami hormati persepsi bahwa kubah adalah milik agama tertentu.
“Kami menjunjung tinggi toleransi, mungkin Ortodoks yang datang terakhir ke Indonesia, jadi kami harus menghormati yang datang lebih dulu,” ucap Boris.
Pengetahuan sejarah kekristenan yang minim merupakan pangkal persepsi terhadap ajaran gereja ortodoks, kata Suarbudaya Rahardian, pendeta di Gereja Komunitas Anugerah-Reformed Baptist, Jakarta.
Ketidaktahuan itu, kata dia, termasuk yang melanda sebagian besar penganut Kristen Protestan dan Katolik Roma — kekristenan yang berkembang di belahan dunia barat dan muncul setelah ortodoks.
“Studi sejarah kekristenan penting agar orang tidak cepat memberi prasangka kepada yang berbeda.”
“Orang Kristen di Indonesia asing dengan sejarah gereja. Mereka hanya melihat kekristenan yang diturunkan orang tua, tanpa mengetahui ada berbagai ekspresi iman dalam kekristenan,” kata Suarbudaya.
Bagaimanapun, Suarbudaya menyebut umat gereja ortodoks tetap berhak mengekspresikan iman dengan cara mereka, dari bentuk rumah ibadah hingga liturgi ibadah.
Menurutnya, kompromi terhadap lingkungan sekitar di internal gereja ortodoks tentang ekspresi keyakinan adalah anomali.
“Kalau mandat konstitusi tentang kebebasan beragama dijalankan, tidak perlu ada kelompok umat yang takut, apalagi mereka agama yang sah,” kata Suarbudaya. (BBC)