Diakonia.id – Situasi keamanan di Papua kembali menunjukkan eskalasi yang cenderung memanas pada September 2020. Gelombang penolakan terhadap penerapan Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II kembali ‘nyaring’ disuarakan.
Di kawasan Universitas Cendrawasih, Jayapura, demonstrasi dibubarkan paksa oleh aparat keamanan Indonesia. Tiga orang terluka dipukul benda tumpul dan tiga orang sempat ditangkap.
Mahasiswa mendesak agar kajian terhadap kebijakan Otsus melibatkan rakyat setempat sebelum nantinya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Papua.
Pihak kepolisian membantah telah terjadi bentrok. Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Musthofa Kamal mengatakan pembubaran aksi dilakukan setelah ada negosiasi antara kedua belah pihak.
Gelombang penolakan terhadap Otsus Jilid II sebelumnya juga terjadi di Kabupaten Nabire, Papua. Massa aksi yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) melakukan demonstrasi di Kabupaten Nabire, Papua, Kamis (24/9).
Penerapan Otsus yang tidak memberikan dampak positif bagi masyarakat Papua menjadi alasan mereka menolak Otsus Jilid II. Satu hal yang disorot adalah dana Otsus yang digelontorkan pemerintah, namun tak memberi dampak positif bagi masyarakat.
Juru Bicara PRP yang menjadi wadah bagi 45 organisasi sipil masyarakat Papua, Victor Yeimo, menuturkan praktik di lapangan tidak menunjukkan hal yang baik selama 19 tahun implementasi Otsus.
Ia menilai Otsus tidak menyelesaikan konflik politik antara Papua dengan Jakarta.
“Kita bisa lihat data statistik Papua masih menjadi urutan pertama di kemiskinan di Indonesia. Angka Indeks pembangunan manusia terendah di Indonesia,” kata dia saat dihubungi, Jumat (25/9).
Demo mahasiswa menuntut referendum Papua di Gedung Sate, Bandung. (CNN Indonesia/Hyg)
|
Demonstrasi menolak Otsus Jilid II juga terjadi di beberapa wilayah lainnya di luar Papua, seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Makassar, dan Ternate.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berujar Otsus akan diperpanjang selama 20 tahun ke depan. Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebut tak ada perpanjangan Otsus. Kata Mahfud, yang diperpanjang adalah pemberian Dana Otsus.
Otsus disahkan di Jakarta pada 21 November 2001 oleh Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri.
Pelaksanaan Otsus sudah berjalan sejak berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. UU itu kemudian diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2008 yang sekaligus menjadi payung hukum bagi Otsus wilayah Papua Barat.
Penembakan Pendeta
Ketua Klasis (Daerah) Hitadipa Kabupaten Intan Jaya, Yeremia Zanambani, tewas usai ditembak pada Sabtu (19/9) petang. Peristiwa ini menambah daftar kasus dugaan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) di tanah Papua.
Ada perbedaan keterangan mengenai penyebab kematian Yeremia yang merupakan Pendeta Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII).
Tentara Nasional Indonesia menyebut Pendeta Yeremia merupakan korban keganasan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Namun, pihak GKII justru menduga Pendeta Yeremia tewas ditembak aparat TNI.
Tiga tim investigasi dibentuk. Masing-masing oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan di bawah Menko Mahfud MD; kemudian tim Komnas HAM; dan Tim Kemanusiaan yang digawangi oleh pegiat HAM Haris Azhar.
Ketiga tim itu menyimpulkan bahwa ada dugaan keterlibatan aparat dalam kematian Yeremia. Bahkan, Komnas HAM dan Tim Kemanusiaan lebih tegas mendapati hasil investigasi terduga pelaku penembakan adalah Wakil Danramil Hitadipa, Alpius.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayor Jenderal TNI Achmad Riad memastikan pihaknya berpedoman pada temuan TGPF Intan Jaya yang telah disampaikan Mahfud sebagai tim resmi yang dibentuk negara dalam pengungkapan perkara ini.
Lebih lanjut, berdasarkan catatan Amnesty International Indonesia (AII), penembakan Yeremia telah menambah daftar kasus penembakan sebanyak 15 kali dengan total 22 korban di Papua selama 2020.
Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid, menuturkan bahwa penembakan kepada warga sipil ini telah menunjukkan kegagalan negara menghadirkan perdamaian di Papua.
Pengungsi Nduga
Sabtu, 18 Juli 2020, Elias Karunggu dan putranya, Selu Karunggu, tewas ditembak Tim Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Yonif Para Raider 330/Tri Dharma TNI di Keneyam, Nduga, Papua.
Ayah-anak itu beserta sejumlah warga Nduga lain awalnya sedang menunggu perahu di pinggir Sungai Keneyam di kampung Masanggorak dan hendak menuju ibu kota Keneyam yang berjarak sekitar 500 meter.
Namun, Elias dan Selu tidak pernah sampai di lokasi tujuan lantaran tewas ditembak. Ini kali kesekian warga Nduga menjadi korban konflik bersenjata antara pasukan TNI/Polri dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
Prajurit TNI bersiap menaiki helikopter menuju Nduga di Wamena, Papua, Rabu (5/12/2018). (ANTARA FOTO/Iwan Adisaputra)
|
Beberapa pihak saling mengklaim keterangan mengenai penyebab kematian kedua orang tersebut.
Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III Kolonel Czi Gusti Nyoman memastikan kedua orang itu bukanlah warga sipil, melainkan anggota Kelompok Separatis Bersenjata (KSB) pimpinan Egianus Kogoya.
Sementara, TPNPB-OPM Nduga membantah pernyataan yang disampaikan TNI. Mereka berujar dua orang yang tewas setelah tertembak TNI itu adalah warga sipil dan tak ada hubungan komunikasi atau beraktivitas dengan pasukan TPNPB-OPM.
Pemerintah Daerah Nduga menyebut keduanya merupakan pengungsi Nduga yang menyelamatkan diri dari konflik berkepanjangan yang sudah terjadi sejak 2018. Warga menuntut pemerintah pusat menarik pasukan TNI/Polri dari Nduga.
Klaim Pemerintahan Sementara
Ketua Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat atau The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda mendeklarasikan kemerdekaan Papua pada 1 Desember. Dia menyatakan diri sebagai presiden dalam pemerintahan sementara Papua.
“Hari ini, kami mengumumkan pembentukan Pemerintah Sementara Papua Barat. Kami siap mengambil alih wilayah kami, dan kami tidak akan lagi tunduk pada aturan militer ilegal Jakarta,” kata Benny dalam siaran pers yang diunggah di situs resmi ULMWP, Rabu (2/12).
Merespons hal itu, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) menyampaikan mosi tidak percaya kepada Benny Wenda. OPM menganggap klaim kemerdekaan itu justru bisa merusak persatuan rakyat Papua yang tengah berjuang secara langsung.
Pihak OPM bahkan menuding Benny tengah bekerja untuk kepentingan kapitalis asing Uni Eropa, Amerika dan Australia.
“Mulai hari Rabu tanggal 2 Desember 2020, kami dari Manajemen Markas Pusat Komnas TPNPB-OPM mengumumkan mosi tidak percaya kepada Benny Wenda,” kata Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom dalam keterangan tertulis, Rabu (2/12).
(ryn/pmg/cnn)