Diakonia.id – Kata toleransi by definition menyangkut saling menghargai dan menghormati, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Bila dicermati, kata toleransi sendiri berasal dari bahasa Inggris, tolerance, mengacu pada kata Latin tolerare, yang berarti sabar, menahan diri, yakni suatu tindakan menghargai dan menerima keberagaman yang melekat pada setiap entitas lainnya.
Jadi, by nature toleransi berkaitan erat dengan ketulusan untuk mengakui keberadaan yang lain sebagai fakta empiris yang tak terelakkan. Itulah mengapa, kehidupan kita di tengah fakta multikulturalisme seharusnya mengajarkan kita untuk menghargai dan menghormati hak-hak dasar orang lain. Sebab, upaya menyeragamkan dan mengabaikan fakta keragaman, artinya melawan kodrat keberadaan kita sebagai manusia an sich.
Adanya ketegangan antara idealisme dan fakta perbedaan bukan dilihat sebagai tantangan di dalam ruang sosial kita melainkan sebagai anugerah yang mesti dirawat dan dicintai. Adanya perbedaan itu justru makin memperkaya kita, dan membuat kita bersikap wajar atau fair terhadap eksistensi yang lain itu. Kita memperlakukan keberadaan yang lain bukan sebagai fakta yang seharusnya (das solen), melainkan sebagai fakta yang ada pada dirinya (das sein). Standar inilah yang diharapkan dipergunakan oleh setiap orang, baik berlaku bagi dirinya, maupun bagi orang lain.
Dengan mengakui keberadaan yang lain, orang menunjukkan bahwa eksistensinya relasional. Kesosialannya sebagai manusia membuat dirinya seharusnya sudah selalu bersikap toleran. Artinya, bersikap toleran bukan lagi sebagai tanggung jawab moral-sosial melainkan sebagai identitas kita sebagai manusia. Maka, naif jika kita melihat keragaman sebagai fakta yang menjijikkan dan karenanya disingkirkan atau bila perlu dilenyapkan saja.
Sikap hilangnya toleransi ini menunjukkan bahwa kita sulit mentransendensi diri. Sikap ini mengandaikan keterbukaan dan ketulusan untuk menerima keterbatasan dan kelemahan kita dan kehadiran yang lain sebagai pelengkap. Dengan perkataan lain, toleransi mengandaikan sikap membuka diri secara total terhadap lingkungan di luar diri kita bahwa kita terbatas dan mengakuinya sebagai kodrat manusiawi kita.
Acapkali sikap idealistik itu ingin mengabaikan fakta keberagaman sebagaimana kasus intoleransi yang sedang ramai diperbincangkan di berbagai media massa belakangan ini. Inilah kerumitan wacana toleransi bahwa kita tidak hanya mengalami krisis moral tetapi terutama mengalami krisis kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap keberagaman. Sentimen dan nafsu untuk melenyapkan yang lain sulit diminimalisasi malahan semakin menggerogoti ruang sosial kita.
Kerumitan bertoleransi terhadap yang lain ini bisa ditunjuk beberapa faktor penyebabnya. Pertama, krisis kesadaran sebagai makhluk sosial. Sampai sejauh ini kita harus mengakui bahwa krisis yang paling serius menggerogoti hati kita bukanlah persoalan agama, perbedaan pilihan politik atau perkara pelanggaran hukum. Persoalannya adalah bagaimana mentransformasi diri kita sebagai individu yang otonom menjadi individu yang relasional dan sosial.
Kesadaran akan kesosialan kita sebagai manusia inilah yang menjadikan kita terbuka secara total kepada yang lain dan karena itu membuka pintu bagi prinsip toleransi. Dengan demikian, wacana mengenai toleransi bukan lagi menjadi ritual yang rumit melainkan sebagai tahap dimulainya kesadaran akan martabat kita sebagai makhluk sosial.
Kedua, sentimen dan hasrat untuk berkuasa. Pudarnya tanggung jawab sebagai makhluk sosial selalu dibarengi dengan hilangnya nurani manusia untuk mengakui keberadaan yang lain. Sikap ini sangat fatal karena akan melahirkan individu-individu yang kaku, ingin selalu membenarkan diri, merasa hebat dan kuat, memiliki hati beringas untuk selalu melenyapkan yang lain. Karenanya, kerumitan perkara toleransi bukan terletak pada hilangnya wacana tentangnya melainkan pada kerasnya hati manusia untuk menerima perbedaan.
Ketiga, hilangnya paradigma humanisme. Humanisme adalah wacana klasik. Namun, bila ditempatkan sebagai asas saling hormat-menghormati, ia menempati posisi pertama yang memberi nilai dan makna pada tindakan etis seseorang. Humanisme sebagai paradigma pemikiran memperjuangkan dihomatinya manusia dengan seluruh martabatnya.
Sedemikian sentral harkat dan martabat manusia itu, prinsip ini memperlakukan manusia sejauh manusia adalah manusia tanpa memperhitungkan latar belakang budaya, agama, dan pilihan politiknya. Intoleransi, dan ekses burukya, adalah fakta memudarya kesadaran akan kodrat sosial kita sebagai manusia relasional di satu sisi dan hilangnya sosialisasi tentang humanisme di sisi lain.
Kemelut di tiga hal tersebut perlu dibenahi untuk melahirkan empati di hati manusia. Sentralitas prinsip empati ini terletak pada ritus melahirkan sikap toleransi terhadap sesama. Sejauh prinsip empati dilihat sebagai barang aneh, sejauh itu pula toleransi akan menjadi wacana usang yang senantiasa mencari rute baru. Oleh karenanya, prinsip empati mesti melampaui sekadar wacana toleransi.
Melampaui Toleransi
Empati berasal dari bahasa Yunani, Empatheia, (em-in+pathos: feeling) dalam bahasa Jerman einfuhlung, yang berarti perasaan (feeling). Dalam bahasa Inggris empathy, yakni kemampuan untuk memahami (to understand) dan berbagi (share) perasaan dengan orang lain. Jadi, empati berarti situasi dimana seseorang merasa sepikiran dan seperasaan dengan kelompok atau orang lainnya. Ia ikut merasakan bahkan terlibat secara langsung di dalam situasi sosial yang dialami seseorang atau kelompok tertentu.
Dalam arti tersebut, empati melampaui sekadar toleransi. Bila toleransi menunjuk sikap saling menghargai dan menghormati hak-hak dasar orang lain tanpa mengganggu keberadaannya, empati menunjuk fakta dimana seseorang ikut mengalami dan berbagi pengalaman penderitaan dan kebahagiaan secara langsung bersama orang lain. Empati melampaui asas menghargai, ia terlibat dalam sebuah dunia yang dibagi bersama dengan orang lain.
Kosmolog serta filsuf Karlina Supelli berpendapat bahwa keterlibatan langsung untuk mengalami dunia orang lain mesti berlandaskan pada nilai kemanusiaan itu sendiri, yakni bahwa setiap manusia adalah persona. Maka, betapa pun pentingnya toleransi, kalau tidak disertai prinsip empati, wacana itu akan senantiasa tercebur dalam paradigma pengobjekan orang lain secara tidak manusiawi.
Kesanggupan untuk berempati dan ikut merasakan pengalaman orang lain mesti melampaui prinsip toleransi. Sebab, berempati tidak memerlukan toleransi, ia tumbuh di hati manusia, bukan karena kesamaan latar belakang budaya atau pun ras, melainkan karena satu kodrat kemanusiaan yang sama.
Membenahi Pendidikan
Dalam rangka mewujudkan sikap empatik seseorang, dunia pendidikan kita sangat berperan penting. Oleh karenanya, sistem pendidikan kita perlu membenahi diri. Sebab, proses penetrasi pengetahuan tidak hanya mencakup aspek motorik maupun psikomotorik. Pendidikan yang menyeluruh dan integral mesti mencakup aspek emosional dan spiritual. Di dalamnya mental seseorang dilatih untuk menumbuhkan sikap saling menghargai sebagai manusia.
Pendidikan empati tidak hanya ditujukan kepada peserta didik melainkan juga untuk para pengajar. Bercermin pada beberapa kasus intoleransi, perkara tersebut bukan disebabkan oleh peserta didik, melainkan justru oleh para pengajar sendiri. Hal ini membuat kita bingung, benci, sedih karena orang tidak mengira bahwa seorang guru bisa melakukan suatu tindakan fatal bagi para peserta didik.
Di sinilah peran pemerintah dibutuhkan untuk mencegah terjadinya banyak kasus. Pertama, pemerintah perlu mewadahi adanya proses pendidikan lanjut berkaitan dengan pembinaan mental dan afeksi guru. Artinya, prinsip on going formation sangat diperlukan untuk menghasilkan guru yang berkualitas dan profesional sesuai dengan standar dan format yang didambakan masyarakat.
Kedua, perlu suatu revolusi dan transformasi di bidang kesehatan mental. Yakni, upaya preventif dan ekstensif menolong peserta didik untuk meningkatkan kemampuan menjalankan tugas-tugas kehidupan pada level yang semakin tinggi, khususnya lewat penguasaan berbagai keterampilan hidup (life skills) dan pertumbuhan pribadi. Keterampilan-keterampilan psikologis yang dimaksud adalah life skills, yaitu mendengarkan dan memahami secara empatik (emphatic understanding).
Ketiga, memperkuat pendidikan karakter dan agama. Pendidikan pada dasarnya adalah proses memanusiakan manusia menjadi manusia yang semakin manusiawi. Untuk mencapai tujuan luhur ini, peserta didik dan pendidik perlu mendapatkan suntikan nilai-nilai dasar seperti hormat-menghormati, sopan santun, budaya malu, tolong menolong, dan aneka nilai agama seperti takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Nilai-nilai ini diharapkan mengaktifkan sikap empati seseorang untuk semakin toleran terhadap perbedaan dan kehadiran yang lain. Dengan demikian, konsep toleransi bukan lagi menjadi wacana kosong, melainkan mempunyai kekuatan memberadabkan insan yang rapuh.