Diakonia.id – Salib Kristus lebih dari sekedar metode sadis untuk menyiksa seseorang. Salib itu menyingkapkan hati umat manusia, bukan hati Bapa. Setiap tahun salib memberi kita gambaran kedalaman kebejatan, kebobrokan dan kekerasan manusia.
Bagi saya pribadi, teori penebusan yang mengatakan Bapa menghukum Yesus, menumpahkan murka dan amarah-Nya sampai habis atas Yesus, menggunakan Yesus sebagai perantara yang menyelamatkan manusia dari kemarahan dan murka penguasa penjara bawah ilahi, dan segala variasinya, sama sekali tak bisa diterima akal sehat. Ini sebenarnya hal yang sangat mendasar. Bapa-bapa gereja tidak pernah mengemukakan PSA* sebagai pandangan mengenai penebusan karena pandangan ini menciderai keTritunggalan Allah.
Dengan mengatakan Bapa memalingkan wajah dan balik badan dari Anak, menumpahkan semua murka-Nya atas Anak, menghukum Anak atas segala dosa yang kita lakukan (kecuali dosa orang beragama lain dan dosa homoseksual, Yesus tidak memasukkan dosa itu dalam kematian-Nya); itu sama saja dengan mengatakan bahwa ada suatu momen dimana Bapa dan Anak “terpisah”, tidak dalam kesatuan. Mereka menjadi polisi baik-polisi jahat, dimana Yesus jadi polisi baiknya melawan Allah sang polisi tua jahat dan pemarah di sorga sana. Tak peduli Paulus mengatakan “Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya DALAM Kristus.”
Sahabat, masalah dengan setiap teori penebusan yang memberi kita gambaran mengenai Allah yang butuh pembayaran, atau Allah yang harus membuat seseorang harus membayar dosa kita bukanlah (hanya) karena Allah digambarkan sebagai monster. Masalahnya adalah dalam Kerajaan tidak berlaku sistem penggantian seperti itu. Allah tidak dilayani oleh tangan manusia seolah Ia butuh sesuatu.
Jadi, ada apa dengan salib?
Brad Jersak mengatakan bahwa penyaliban adalah apa yang kita lakukan kepada Yesus, tapi salib adalah jawaban Bapa.
Kita membunuh Dia. Bapa menggunakan kemarahan dan kebencian itu -bagian terburuk kita- untuk menempatkan kita di dalam Anak, “Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka kepada mereka.” Ingat bahwa pada saat kematian-Nya Yesus adalah bagian dari dunia, sama seperti kita. Dengan mengatakan bahwa Yesus “menyerap murka Allah” sebagai penghukuman atas dosa kita sama saja dengan mengatakan Allah sebenarnya memperhitungkan kesalahan kita.
Yesus adalah manusia. Yesaya mengatakan, “Dia tertikam OLEH [by] pemberontakan kita, dia diremukkan OLEH karena kejahatan kita.” Dia tertikam oleh dosa pemberontakan kita. Kondisi kita yang berdosa yang menikam Dia, memukuli Dia, membunuh Dia. Dan jawaban Bapa yang bergaung di sepanjang lorong sejarah adalah “Sudah selesai,” atau dengan kata lain, “Kalian semua sudah disempurnakan (diperdamaikan).”
Salib menyingkapkan hati umat manusia, suatu hal yang saya yakini sangat ingin disingkirkan oleh Bapa. Kekerasan dan kebencian berhadapan dengan damai sejahtera dan kasih. Suatu kondisi kolektif umat manusia yang Bapa ingin berikan solusinya. Saat memandang Tuhan yang disalib kita tidak menemukan pembalasan: tiada kemarahan, tiada dendam, tiada maksud jahat, tiada ganti rugi. Keadilan yang Allah tawarkan selalu bersifat distributif, bukan retributif (pembalasan).
Di saat orang Yahudi mengharapkan mesias yang keras dan penuh pembalasan untuk menghapuskan Romawi dari muka bumi, Yesus datang dalam cara paling subversif, menyuruh murid-Nya menyarungkan pedang, dan menyuruh mereka untuk “mengasihi sesama” (yaitu orang Romawi). Seandainya mereka tak paham, Yesus katakan, “Kasihi musuhmu” (juga orang Romawi). Yesus pasti pengecut besar, bukan begitu? Apalagi jika kita ada di Amerika abad 21. Bisakah Anda bayangkan Yesus mengatakan ke wajah ISIS, bank sentral atau para imigran ilegal, “Hey guys, kasihi sesamamu, kasihi musuhmu ya”?
Lalu salib menunjukkan apa kepada kita? Saat orang ramai meneriakkan, “Barabas, lepaskanlah Barabas bagi kami,” itu tidak sepenuhnya menggambarkan apa yang terjadi saat itu. Ucapan yang lebih tepat adalah, “Yesus Barabas, lepaskanlah Yesus Barabas bagi kami.” Nama Barabas berarti “anak bapa” (the son of abba). Apa??
Yesus Barabas adalah penyamun yang dipenjara karena pemberontakan dan pembunuhan. Yesus yang satu lagi mengatakan Bapa-Nya adalah Abba. Bagi saya, sepertinya ada ‘dua mesias’ dalam cerita, yang satu penuh damai sedang yang satu penuh kekerasan. Yang satu menyingkapkan “hati Abba Bapa” sedang yang satu menyingkapkan hati umat manusia. Yang satu mengatakan Ia datang untuk membawa damai sejahtera, sedang yang satu lagi memberi orang Yahudi sesuatu yang mereka inginkan: kekerasan dan pembalasan. Sebagai catatan, Romawi nyaris menghapus Israel dari peta dunia 40 tahun kemudian. Meminta Barabas dilepaskan tidak membuat perubahan apapun dalam sejarah.
Salib adalah gambaran nyata betapa gigihnya manusia menginginkan pembalasan dengan kekerasan, sekaligus adalah jawaban Bapa atas kegigihan mereka. Manusia menuntut kekerasan dan pembalasan, Bapa menjawab tuntutan itu dengan menyerahkan diri kepada kekerasan kita. Kita menuntut Romawi (ISIS, pemerintahan negara besar) dihancurkan, dan Ia menjawab dengan, “Dan apabila Aku ditinggikan, Aku akan menarik SEMUA ORANG datang kepada-Ku” (Yohanes 12:32). Masalah kita bukanlah -dan tak akan pernah- Romawi, Iran, Islam atau gerakan politik ekstrim kanan atau ekstrim kiri. Masalah kita yang sesungguhnya adalah -dan selalu adalah- keinginan kita untuk melihat Yesus Barabas dilepaskan dengan harapan ia akan menghajar semua yang kita benci.
Salib menyingkapkan kegagalan total kita memahami daya rusak kekerasan. Kita memberi perlakukan istimewa kepada ‘mesias’ pembawa bom, sementara ‘Seorang yang penuh penderitaan’ –man of sorrow– berbisik diam-diam, “Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
Kematian Yesus yang adalah penebusan-Nya tidak ada hubungan sama sekali dengan murka Allah, keadilan-Nya, penghukuman-Nya atau pembalasan dendam-Nya. Sebaliknya, kematian Yesus sepenuhnya berhubungan dengan murka manusia, rasa keadilan kita, penghukuman kita dan pembalasan dendam kita. Dan Yesus menunjukkan kepada kita sekali untuk selamanya apa yang kita dapatkan sebagai ganti kecenderungan kita akan kekerasan: kematian kita sendiri yang digantikan. Di dalam Dia, kita mati.
Syukur kepada Allah, Paskah mengajarkan kita bahwa kematian dan liang kubur tidak menjadi kata akhir. Tapi kita hanya dapat memahami hal tersebut saat kita mengijinkan kekerasan dalam diri kita dipakukan ke salib. Hanya dalam matinya kekerasan kita akan dapat melihat sepenuhnya Tuhan kita yang bangkit dalam kemuliaan. Hanya dalam matinya maut kita bisa memahami kebenaran penebusan Yesus. Dengan menerima murka beringas kita, Ia menyingkapkan kepada kita apa yang akan terjadi jika kita terus bersikukuh atas pembalasan dendam. “Penghancuran Romawi” akan terjadi lagi atas hidup kita.
Kita bisa memilih, Yesus Kristus, atau Yesus Barabas. Memuja kekuasaan, nasionalisme, kekerasan dan perang; atau memuja damai sejahtera, kasih, anugerah dan harapan. Memuja ketakutan dan kegentaran; atau memuja kasih karunia dan kebenaran. Tak bisa keduanya. Dan setiap Paskah kita sekali lagi dihadapkan pada pilihan: “Akankah aku menuntut pembalasan, atau menyatakan Raja Damai?”
[Caleb Miller: And What About The Cross, 1 April 2015]
http://theimperfectpastor.com/and-what-about-the-cross/
* PSA (Penal Substitutionary Atonement), suatu pandangan yang percaya Allah membunuh Yesus, sebagai pengganti kita.
(Mona Yayaschka/dailygracia)