Diakonia.id –
Diakonia.id – Christian Conference of Asia (CCA) bersama Myanmar Interfaith Network on AIDS (MINA) kembali mengundang PGI, sebagai perwakilan gereja Indonesia, bersama pejabat agama, dan kepercayaan lainnya, untuk melakukan diskusi terkait isu kesehatan, dan HIV pada umumnya, dengan tema Action Together in Combating HIV and AIDS in Asia (ATCHAA), di Yangon, Myanmar, 19-22 Agustus 2019.
Diskusi ini, dilatarbelakangi oleh masih tingginya angka infeksi baru HIV, meskipun beberapa negara menunjukkan penurunan, tetapi beberapa negara lain justru menunjukkan lonjakan yang sangat tinggi termasuk Philipina, yang naik hingga 174% (data 2010-2017), dan dengan kasus penularan baru di India mencapai 31% (UNAIDS 2018). Juga HIV bukan hanya masalah isu kesehatan saja, tetapi menyangkut isu sosial, ekonomi, dan spiritual. Oleh sebab itu, organisasi lintas agama sangat diperlukan jangkauan perpanjangan tangannya dalam memupus stigma, dan diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV (ODHIV).
Dalam berbagai paparan yang disampaikan oleh berbagai perwakilan tokoh agama setempat, dapat disimpulkan bahwa memang dibutuhkan perbaruan edukasi terkait isu HIV, yang lebih positif, dan tidak lagi menghakimi, memojokkan, ataupun bentuk diskriminasi lainnya terhadap orang dengan HIV (ODHIV). Terutama kesalahpahaman bahwa isu HIV dicampur adukkan dengan Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk anggapan bahwa seks bebas (free sex), merupakan jalur penularan HIV. Padahal justru seks tidak amanlah yang berisiko menularkan HIV, juga IMS lainnya. Termasuk dengan pembatasan akses informasi Undetectable=Untransmitable (U=U), yang apabila disadari sepenuhnya justru menjadi kunci utama penghapusan stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV.
Selain itu, permasalahan ini tidak akan pernah terurai apabila belum bisa membedakan, dan memisahkan antara free sex dan unprotected sex. Orang ditakuti dengan stigma bahwa HIV adalah suatu hukuman/kutukan karena melanggar larangan melakukan hubungan seks sebelum waktunya, padahal seks merupakan hak asasi manusia, yang tidak seharusnya juga dibatasi apalagi dilarang dengan alasan apapun. Akan lebih baik bila mulai berbicara mengenai seks yang bertanggungjawab, dan bukan melakukan penghakiman atas apa yang sudah terjadi, tetapi menutup mata akan apa yang harusnya dapat diantisipasi.
Di sisi lain, paramedik juga masih melakukan berbagai diskriminasi yang tanpa disadari justru semakin kuat, karena posisi jabatan yang harusnya layak dipercaya sebagai sumber informasi terpercaya dan terupdate. Paramedik, dan juga semua orang yang mengaku peduli untuk penghapusan stigma terhadap ODHIV, harusnya mampu berbicara, dan memberikan fakta bahwa ODHIV, yang sudah Undetectable, dan tetap dalam ART, sudah tidak lagi menularkan HIV-nya ke orang lain. Hal ini akan serta merta menjadikan posisi ODHIV yang selama ini harus dikucilkan, akan menjadi kelas sosial yang sama dengan orang tanpa HIV, baik secara fisik ataupun mental.
Paparan kondisi kesehatan dan penanganan HIV di Myanmar disampaikan oleh Country Director of Marie Stopes Internasional Dr. Sid Naing, dan Country Director of UNAIDS-Myanmar Mr. Oussama Tawil. Sementara paparan cara kerja dan jejaring disampaikan oleh Sekretaris Jenderal MINA Khawn Taung.
Pada kesempatan itu, juga dilakukan kunjungan lapangan ke sejumlah tempat. Seperti Good Sheperd Sisters Convent, yang juga menjadi drop in center, membantu pasien-pasien rumah sakit pemerintah yang harus menjalani perawatan. Shelter ini rata-rata membantu 500 orangtua yang mayoritas mengalami kondisi kritis cancer, diabetes, gangguan fungsi jantung, juga hipertensi, yang pada perencanaan kedepannya akan juga melayani konseling dan penanganan korban kekerasan domistik lainnya.
Juga perkunjungan ke Ratana Metta Organization, yang kegiatan utamanya berfokus pada isu kesehatan, perlindungan anak, dan pemberdayaan kualitas hidup. Serta Monastery Ashoka Rama Shwehinthar Yaylel, yang juga berfungsi sebagai shelter sementara pasien HIV, yang harus akses ARV di rumah sakit pemerintah dan bertempat tinggal jauh.
Setelah melewati rangkaian kegiatan tersebut, peserta harus menuliskan rencana tindak lanjut yang berisi: (1) Menghidupkan kembali Interns yang sempat tidak aktif dalam mengkoordinir pemuka lintas agama terkait kepedulian terhadap HIV dan Orang Dengan HIV. (2) Menyatukan kembali para pemuka agama, dan menyarankan pemberian informasi yang lebih bersifat positif, dan tidak lagi menakut nakuti. (3) Advokasi ke Kemenkes terkait kampanye U=U yang dianggap sebagai satu satunya pemahaman, yang mampu meruntuhkan stigma terhadap orang dengan HIV. (4) Merencanakan secara rutin kegiatan yang dapat meningkatkan kepedulian terhadap isu HIV. (5) Berbagi informasi terbaru yang bersifat positif dalam komunitas kecil sebelum Kemenkes memutuskan untuk mulai mengkampanyekan U=U. (pgi.or.id)
Pewarta: Aan
Editor: Markus Saragih