Diakonia.id – Sebuah artikel ilmiah baru melaporkan bahwa pengikut Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, memiliki tingkat intoleransi yang sama dengan umat Muslim Indonesia pada umumnya, dan dalam beberapa hal bahkan lebih intoleran.
Artikel tersebut ditulis oleh Marcus Mietzner, pengajar ilmu politik di Australian National University, dan Burhanuddin Muhtadi, dosen ilmu sosial dan politik di UIN Syarif Hidayatullah.
Laporan itu menuai kritik keras, khususnya dari sebagian cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU). NU telah lama mengklaim organisasi ini menopang pluralisme dan toleransi di Indonesia.
Artikel Mietzner dan Muhtadi layak diapresiasi. Artikel ini menunjukkan data kuantitatif tentang sikap keberagamaan pengikut NU yang selama ini belum tersedia.
Meski demikian, analisis keduanya yang menghubungkan data intoleransi pengikut NU dengan perilaku elite tidak sepenuhnya benar. Data survei intoleransi yang disajikan juga belum kuat untuk kepentingan advokasi toleransi di Indonesia
Temuan dan klaim mitos pluralisme NU
Mietzner dan Muhtadi ringkasnya mengatakan bahwa klaim NU sebagai penopang pluralisme dan toleransi tidak sejalan dengan temuan data survei.
Sepanjang pemilihan umum 2019, NU digambarkan dan mendeklarasikan diri sebagai pembela pluralisme dan toleransi.
Sebaliknya, data Mietzner dan Muhtadi memperlihatkan bahwa sebagian besar pengikut NU intoleran.
Keduanya menggunakan data survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada September 2019. Survei ini mewawancarai 1.520 responden dengan pemilihan responden secara acak bertingkat.
Selain survei tersebut, mereka juga membandingkan dengan data survei dari lembaga yang sama tahun 2010, 2016, dan 2018.
Menurut data LSI, baik pada aspek kultur maupun politik, intoleransi beragama di Indonesia meningkat sejak 2017.
Pada 2017, keberatan terhadap pendirian rumah ibadah non-Islam tercatat 48%, lalu pada 2018 dan 2019 naik menjadi 52% dan 53%.
Data LSI dari responden yang mengaku pengikut NU menunjukkan tren serupa. Tingkat intoleransi di tubuh NU juga menguat setelah 2017.
Tahun 2017 menjadi catatan penting dalam dinamika intoleransi di Indonesia. Pada tahun itu, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, seorang Kristen keturunan Cina, dihukum penjara dengan tuduhan penistaan agama dan gagal untuk duduk kembali sebagai gubernur Jakarta.
Analisis perilaku elite NU
Kedua peneliti ini menjelaskan temuan peningkatan intoleransi di NU berkaitan dengan perilaku elite NU sejak organisasi berdiri.
Sejak awal, elite NU terbuka terhadap pengaruh tradisi lokal, seperti menghormati leluhur, selain pengaruh Timur Tengah.
Keterbukaan NU ini, menurut Mietzner dan Muhtadi, terkait erat dengan kepentingan ekonomi politik.
Sejumlah kiai mendirikan NU pada 1926 sebagai respons terhadap gerakan Islam modernis Muhammadiyah yang berdiri 1912.
Muhammadiyah, yang mengikuti pandangan-pandangan Timur Tengah, gencar mengkampanyekan praktik keagamaan yang mencampuradukan dengan tradisi lokal sebagai praktik sesat.
Para kiai menilai kehadiran gerakan Islam modernis itu mengancam eksistensi dan legitimasi mereka di mata para pengikutnya.
Pada masa awal kemerdekaan, NU cenderung berkoalisi dengan kelompok nasionalis ketimbang partai Islam. Berkat koalisinya dengan partai nasionalis, NU mendapat jatah posisi menteri agama.
Mietzner dan Muhtadi menilai retorika serupa dilakukan ketika NU dipimpin Abdurrahman “Gus Dur” Wahid – pemimpin yang dianggap paling berjasa dalam melakukan transformasi di tubuh NU.
Gus Dur memang mengubah pandangan ideologi politik NU dari negara Islam ke model negara yang menghormati ragam agama.
Namun, menurut kedua peneliti, hal itu bukan hanya komitmen terhadap pluralisme, tetapi juga buah kesepakatan Gus Dur dengan pemerintahan otoriter Soeharto.
Di satu sisi, Soeharto mewajibkan Pancasila sebagai dasar organisasi agar dapat mengontrol kekuatan Islam. Di sisi lainnya, NU menerima kewajiban itu agar NU tetap memiliki posisi di dalam pemerintahan Soeharto.
Saat Gus Dur kemudian naik menjadi presiden, walaupun melahirkan kebijakan progresif terhadap warga keturunan Cina, Gus Dur dianggap sebagai presiden yang cenderung otoriter dengan membekukan parlemen.
Setelah jatuh dari kekuasaan, menurut Mietzner dan Muhtadi, reputasi Gus Dur sebagai ikon pluralisme dan toleransi kembali pulih.
Setelah kepergian Gus Dur hingga saat ini, NU mengampanyekan “Islam Nusantara” sebagai payung bagi advokasi toleransi dan pluralisme.
Mietzner dan Muhtadi menilai wacana ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ekonomi-politik.
Untuk masa jabatan presiden kedua, Joko “Jokowi” Widodo mengadopsi wacana Islam Nusantara untuk menjelaskan konsep Islam moderat semasa kampanye.
Ma’ruf Amin – yang saat itu memiliki posisi tinggi di Pengurus Besar NU (PBNU) sebagai rois aam Syuriah – kemudian dipilih Jokowi sebagai wakil presiden.
Singkatnya, menurut Mietzner dan Muhtadi, wacana toleransi di tubuh NU tidak bisa dilepaskan dari upaya NU melawan pesaing politik dan mengamankan kepentingan politik, ketimbang gerakan organik.
Sejauh mana klaim mereka itu benar?
Analisa bermasalah
Mietzner dan Muhtadi barangkali benar ketika memaparkan perilaku elite politik NU.
Tetapi, menghubungkan perilaku sebagian elite dengan data intoleransi sebagai sebab-akibat tidak sepenuhnya tepat; karena itu, klaim mereka menjadi bermasalah.
Dari segi analisis, keduanya terjebak pada apa yang dalam ilmu sosial disebut sebagai bias seleksi. Keduanya memilah informasi yang hanya mendukung variabel penjelas yang mereka inginkan.
Mietzner dan Muhtadi membagi warga NU menjadi dua: elite dan akar rumput. Tapi keduanya tidak melihat lapisan “tengah” NU, yaitu intelektual dan aktivis yang bekerja mengadvokasi toleransi di Indonesia.
Jika analisis kedua peneliti benar, para aktivis NU yang bergabung di Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM (Lakpesdam) – badan otonom di bawah PBNU, misalnya, tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan politik elite PBNU.
Faktanya, Lakpesdam turut membantu advokasi ketika penghayat kepercayaan menguji undang-undang kependudukan terkait kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Mahkamah Konstitusi. PBNU mengatakan bahwa penghayat kepercayaan bukan agama.
Contoh lain adalah advokasi sekelompok elite intelektual NU untuk kesetaraan gender di pesantren dan jemaah akar rumput NU.
Meski Gus Dur pernah mengatakan – sebagaimana dikutip Mietzner dan Muhtadi – bahwa Indonesia belum siap dengan pemimpin perempuan saat bersaing dengan Megawati Soekarnoputri, para aktivis kesetaraan gender NU tidak surut.
Sulit mengatakan bila dua advokasi itu dilakukan sebagai kepanjangan tangan elite politik NU untuk mengamankan kepentingan material.
Mereka bekerja untuk kepentingan lebih dalam dari kepentingan material, yakni nilai-nilai kemanusiaan universal.
Dinamika pengikut NU
Lalu bagaimana menjelaskan kecenderungan intoleransi pengikut NU?
Sikap politik keagamaan elite NU tidak selalu sejalan dengan pengikutnya. Ketua umum PBNU Said Aqil Sirodj misalnya mendukung Prabowo pada pemilu 2014. Pemilih NU tidak lantas mendukung Prabowo.
Relasi pengikut dan elite NU bersifat dinamis dan berlapis.
Dinamis berarti pengikut NU mendengarkan suara elite pada kondisi dan isu tertentu. Berlapis artinya pengikut NU menghadapi opini kiai NU dari lapisan paling bawah, kiai kampung hingga elit di pusat, yang beragam.
Mengutip Jeremy Menchik – profesor ilmu politik di Boston University, Amerika Serikat – umat Islam Indonesia menganut toleransi komunal, bukan individual. Mereka toleran untuk hal-hal yang dibenarkan secara kolektif.
Penodaan atau penistaan agama adalah termasuk hal yang tidak ditoleransi sebagian besar umat Islam, termasuk elite lokal NU, di Indonesia.
Kiai lokal di berbagai daerah, sebagiannya NU, meyakini Ahok bersalah. Setelah kasus Ahok, wajar bila sentimen intoleransi pengikut NU terhadap pemimpin non-Muslim meningkat.
Selain sentimen politik, sepanjang demonstrasi, gerakan 212 mewacanakan bahaya “kristenisasi”. Mereka meyakini Ahok merupakan jalan bagi kristenisasi di Indonesia.
Dalam sejarahnya, umat Islam dan Kristen di Indonesia berhubungan dengan perasaan saling terancam.
Sejarah saling keterancaman ini menjelaskan dinamika sikap intoleransi umat Islam, khususnya pengikut NU, terhadap pendirian rumah ibadah non-Muslim.
Keterbatasan data survei untuk advokasi
Apakah data survei ini memperlihatkan advokasi toleransi di Indonesia, khususnya di tubuh NU, selama ini gagal?
Jawabannya tidak. Meski menggunakan data sejak 2010, Mietzner dan Muhtadi tidak memperlihatkan data pembanding antarwaktu intoleransi pengikut NU.
Kita tidak tahu apakah angka 50% itu lebih baik atau buruk dibanding data 2010.
Lagi pula, kelemahan survei adalah tidak mampu menangkap kedalaman objek yang diteliti. Survei ini hanya memotret sikap, bukan tindakan intoleran.
Survei tidak dapat menangkap bagaimana dan kapan sikap intoleran menjadi tindakan intoleran.
Untuk memahami apakah sikap intoleran berpotensi berubah menjadi tindakan intoleran, survei dapat bertanya pada responden, misalnya: bersedia atau tidak mengikuti aksi menolak rumah ibadah non-Muslim, gubernur non-Muslim, dan walikota/bupati non-Muslim?
Data Mietzner dan Muhtadi baru menyumbang sebagian pada advokasi, yaitu perlunya kampanye normatif sikap toleransi di masyarakat.
Untuk kebutuhan advokasi toleransi yang lebih luas, studi-studi etnografi dapat melengkapi data survei.
Studi PUSAD Paramadina pada 2012 dan 2014, misalnya, memperlihatkan ada faktor tokoh agama, pemerintah, dan penegak hukum di balik dinamika antara sikap dan tindakan intoleran.
Pada akhirnya, capaian-capaian advokasi, khususnya yang dilakukan organisasi yang terafiliasi NU, perlu dikumpulkan pada pangkalan data terintegrasi.
Pangkalan data demikian dapat membantu peneliti seperti Mietzner dan Muhtadi melihat dinamika terkait pluralisme di tubuh NU lebih bernuansa dan terhindar dari klaim keliru. (theconversation)