Diakonia.id – Sebagian besar masyarakat pada zaman ini ingin menganggap dirinya “toleran.” Toleransi itu pada umumnya diartikan “menerima sesama tanpa menghakimi tindakan atau gaya hidup mereka.” Akan tetapi umat Kristen yang telah membaca Alkitab tidak dapat menyetujui semua tindakan atau gaya hidup semua orang; dengan jelas Alkitab menggolongkan gaya hidup tertentu sebagai gaya hidup berdosa dan tidak menyenangkan Allah. Ketika keyakinan seorang Kristen bertentangan dengan standar toleransi yang dianut masyarakat, maka umat Kristen yang sering dicap sebagai “tidak toleran,” “fanatik,” atau “terbalik.” Ironisnya, mereka yang mengklaim diri paling toleran pada umumnya paling tidak toleran terhadap sudut pandang Kristen.
Seringkali konflik antara keyakinan Kristen dan standar toleransi sekuler terjadi ketika sebuah bisnis yang dimiliki oleh umat Kristen dipaksa melanggar keyakinannya dengan meminta mereka menjadi fotografer, membuatkan kue atau merangkai karangan bunga, atau menyewakan kamar untuk acara pernikahan sesama jenis. Paksaan ini bersifat hukum undang-undang yang telah dirancang oleh masyarakat menurut paham sekuler mereka. Adapula konflik yang jauh dari sorotan orang banyak, namun tetap terjadi, seperti keyakinan orang Kristen yang menghindari konsumsi alkohol yang berlebihan di acara pesta, atau kohabitasi sebelum nikah.
Sebuah prinsip yang menyelimuti banyak isu diajukan oleh Petrus ketika dihakimi oleh Sanhedrin: “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia” (Kisah 5:29). Tekanan apapun yang dicurahkan oleh masyarakat, pengikut Kristus mengenal Tuhannya dan memilih untuk menaati-Nya. Di dalam dunia berdosa yang jelas membenci Kristus, tentunya konflik tak terhindarkan. “Toleransi” yang diusung dunia tidak memberi tempat bagi keyakinan Kristen, namun, bagi mereka yang berjalan dalam Roh, keyakinan Kristen adalah mutlak. Alkitab mengajarkan adanya kebenaran dan kesalahan, dan pelatihan sensitifitas apapun atau sesi dialog apapun tak dapat merubah kenyataan itu.
Jika kita mendefinisikan toleransi sebagai “membetahkan diri dengan sesuatu yang tidak disenangi,” maka seharusnya toleransi tidak membutuhkan dukungan atau pengakuan. Dalam pengertian ini, umat Kristen perlu mengusahakan diri sebagai kaum yang toleran, supaya kasih kita dapat diamati oleh semua orang (Matius 5:16). Kita seharusnya “membetahkan diri” dengan banyak hal. Dalam sebagian besar kasus, seharusnya kita dapat menahan diri supaya tidak membenci sesuatu yang kita anggap jorok. Masalah biasanya timbul ketika toleransi didefinisikan sebagai penerimaan atau dukungan terhadap hal yang tidak kita setujui. Seorang Kristen dengan keyakinan yang alkitabiah dapat menerima bahwa manusia berdosa, namun ia tetap menyebut tindakan tersebut sebagai “dosa.” Keyakinan seorang Kristen tidak menyempatkan dukungan terhadap dosa sama sekali.
Bagaimanapun juga toleransi didefinisikan, semua itu ada batasnya: pesan apakah yang diberikan jika sebuah gereja mengadakan kebaktian “interaktif” dengan kelompok sihir? Bagaimana jika seorang hakim “mentoleransi” kebohongan yang disengaja – ia memperbolehkannya di dalam ruang sidang, meskipun ia tak menyukainya? Seberapa besar pelecehan yang perlu “ditoleransi” seorang guru di dalam ruang kelasnya? Bagaimana jika seorang ahli bedah mulai “mentoleransi” kondisi infeksius di dalam ruang operasinya?
Ketika seorang percaya mengamati bahwa keyakinan Kristianinya berseberangan dengan definisi toleransi orang lain, ia perlu: 1) Berdoa supaya diberi hikmat dan ketabahan. 2) Meneliti apakah keyakinannya benar-benar alkitabiah, atau hanya berupa prarasanya. Menolak sebuah kebaktian gereja bersama dengan umat Hindu adalah keyakinan yang alkitabiah; menolak masakan dari kebudayaan lain di perjamuan kasih di gereja tidaklah alkitabiah. 3) Berkomitmen untuk mengasihi musuhnya dan berbuat baik kepada mereka (Matius 5:38-48). 4) Menyikapi konflik dengan “belas kasih, kebaikan, kerendah-hatian, kelemah-lembutan, dan kesabaran” (Kolose 3:12). 5) Jika ada dampak secara hukum, perlu diteliti hak asasi yang ia miliki (baca Kisah 16:37-38; 21:39).
Meskipun di tengah konflik antara keyakinan ilahi dan toleransi sekuler, seorang Kristen perlu menunjukkan kasih dan kebenaran Kristus, dengan meneladani bagaimana kasih dan kebenaran dapat hadir secara bersamaan. Dalam setiap situasi, kita perlu menunjukkan “cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan” (Yakobus 3:13). Perilaku kita harus sedemikian rupa sehingga “mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu” (1 Petrus 3:16). (gotquestions)