Diakonia.id – Ada perdebatan yang sangat panas terkait topik apakah sepantasnya orang Kristen terlibat dalam dunia politik. Meskipun tidak ada ayat rujukan khusus mengenai umat Kristen dalam jabatan politik, ada beberapa prinsip Kristiani yang dapat kita pertimbangkan. Siapapun yang hendak mencalonkan diri sebagai politikus perlu mempertimbangkan prinsip ini dan mencari kehendak Allah dalam doa.
Sudah jelas bahwa negara dimana pejabat dan politikusnya dipilih oleh penduduknya merupakan negara yang mengusung tinggi nilai-nilai kebebasan. Di banyak negara di sekeliling dunia umat Kristen seringkali ditindas dan dianiaya, dengan menderita di bawah pemerintahan yang mustahil mereka ubah dan yang membenci agama mereka dan berupaya membungkam mereka. Orang percaya disana mengabarkan injil Yesus Kristus dengan resiko nyawa. Di negara lain, umat Kristen telah diberi kebebasan untuk membahas dan memilih pemimpin mereka tanpa ancaman terhadap keamanan mereka.
Para pemimpin yang kita pilih sangat mempengaruhi kebebasan yang kita miliki. Mereka dapat memilih untuk melindungi hak penduduknya untuk beribadah dan mengabarkan injil, atau mereka dapat membatasi kebebasan tersebut. Mereka dapat mengarahkan bangsanya menuju kebenaran atau menuju keasusilaan. Cukup jelas bahwa semakin banyak umat Kristen sejati yang terlibat dalam pemerintahan – baik di eselon atas maupun di bawah – semakin kebebasan beragama dijaga. Orang Kristen di dalam arena politik dapat memprakarsai perubahan yang sangat dibutuhkan dalam sebuah kebudayaan. Suatu contoh yang tepat adalah William Wilberforce, seorang politikus Inggris pada abad ke-19 yang berkampanye selama puluhan tahun demi mengakhiri perdagangan budak yang sedang merajalela. Upayanya pada akhirnya berhasil, dan ia dipuji pada zaman ini atas keberanian dan komitmennya terhadap prinsip Kristiani.
Namun di balik semua itu, ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa politikus adalah usaha yang kotor. Politikus, meskipun dengan motivasi yang baik, sangat rentan disimpangkan oleh sistem kekuasaan. Mereka yang menjabat, terutama di tingkat atas, dikelilingi oleh orang-orang yang mencari muka demi memajukan agenda pribadi mereka. Dimana uang dan kekuasaan berpusat, keserakahan dan nafsu mengingini tidak pernah jauh. Orang Kristen yang terlibat dalam sistem politik duniawi harus sangat waspada akan hal ini. Ajaran “pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik” sangat berlaku dalam dunia politik.
Yesus telah mengajar bahwa kerajaan-Nya bukan dari dunia ini (Yohanes 18:36). Kerajaan Kristus tidak berhubungan dengan sistem politik di dunia ini atau pemerintahan negara-negara duniawi. Dunia yang seharusnya menjadi pusat perhatian umat Kristen adalah dunia rohani, bukan yang fana. Tidak masalah jika seorang Kristen ingin terlibat dalam politik, selama mereka ingat bahwa kita harus menjadi perwakilan Kristus di dunia ini. Itulah deskripsi tugas kita, dan tujuan kita ialah memohon supaya orang lain berdamai dengan Allah melalui Yesus (2 Korintus 5:20).
Jadi apakah sebaiknya orang Kristen mencalonkan diri sebagai politikus? Bagi orang Kristen tertentu, jawabannya tidak; bagi orang lain, ya. Keputusan ini bersifat pribadi dan memerlukan doa dan hikmat yang hanya dapat diberikan oleh Allah (dan yang dijanjikan bagi mereka yang benar-benar mencarinya – Yakobus 1:5). Politikus Kristen harus mengingat bahwa kewajiban mereka kepada Tuhan harus mendahului kewajiban mereka kepada negara. Paulus memberitahu kita bahwa apapun yang kita lakukan, harus kita lakukan bagi kemuliaan Tuhan, bukan untuk memuliakan diri-sendiri (1 Korintus 10:31; Kolose 3:17). Jika seorang Kristen mencalonkan diri, ia harus memastikan dirinya dapat memenuhi tanggung-jawab jabatan tersebut sehingga memuliakan Allah dan tanpa menawar prinsip-prinsip Kristiani. (gotquestions)