Diakonia.id – Hampir dua ribu tahun yang lalu, Kebenaran diadili dan dihakimi oleh orang-orang yang justru mengabdikan dirinya kepada dusta. Bahkan, Kebenaran harus menghadapi enam pengadilan dalam waktu kurang dari satu hari penuh. Tiga di antaranya adalah pengadilan agama, sementara tiga lainnya merupakan pengadilan hukum. Mereka yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa tersebut barangkali bisa menjawab pertanyaan ini, “Apakah yang dimaksud dengan kebenaran itu?”
Setelah ditangkap, Kebenaran itu pertama-tama dibawa kepada seorang pria yang bernama Hanas, mantan imam besar Yahudi yang korup. Hanas melanggar banyak hukum Yahudi selama persidangan. Ia melakukan pengadilan tersebut di rumahnya, mencoba untuk menjerat terdakwa dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjebak, dan menyerang terdakwa, yang sama sekali belum terbukti bersalah.
Setelah Hanas, Kebenaran itu dibawa kepada Imam yang sedang menjabat pada saat itu, Kayafas, yang kebetulan merupakan menantu Hanas. Di hadapan Kayafas dan Sanhedrin (Mahkamah Agama) Yahudi, banyak saksi palsu yang maju untuk bersaksi melawan Kebenaran. Namun, tidak ada yang bisa dibuktikan dan tidak ditemukan pula bukti atas kesalahan yang dituduhkan kepada-Nya.
Kayafas melanggar setidaknya tujuh hukum ketika mencoba untuk menghukum Kebenaran: (1) pengadilan digelar secara rahasia; (2) dilakukan pada malam hari; (3) melibatkan suap; (4) terdakwa tidak memiliki seorang pun yang memberikan pembelaan kepada diri-Nya; (5) persyaratan bahwa harus ada 2-3 saksi tidak dapat dipenuhi; (6) mereka menggunakan kesaksian yang memberatkan diri terdakwa; (7) mereka melaksanakan hukuman mati terhadap terdakwa pada hari yang sama.
Semua tindakan ini dilarang oleh hukum Yahudi. Bagaimanapun juga, Kayafas menyatakan Kebenaran bersalah karena Kebenaran berani mengaku sebagai Allah yang menjadi manusia; sesuatu yang Kayafas sebutkan sebagai penghujatan.
Pagi harinya, pengadilan ketiga berlangsung. Mahkamah Agama Yahudi memutuskan bahwa Kebenaran harus mati. Namun, dewan Yahudi tidak memiliki hak resmi secara hukum untuk melaksanakan hukuman mati, sehingga mereka terpaksa membawa Kebenaran kepada gubernur Romawi pada saat itu, kepada seorang pria yang bernama Pontius Pilatus.
Pilatus diangkat oleh Tiberius sebagai gubernur daerah kelima Yudea. Ia berkuasa dari tahun 26-36 Masehi. Seorang procurator seperti Pilatus memiliki kuasa untuk menentukan kehidupan dan kematian seseorang. Ia bisa membalikkan hukuman mati yang diputuskan oleh Mahkamah Agama. Ketika Kebenaran berdiri di hadapan Pilatus, lebih banyak lagi dusta yang diucapkan untuk melawan-Nya.
Musuh-musuh-Nya mengatakan, “Telah kedapatan oleh kami, bahwa orang ini menyesatkan bangsa kami, dan melarang membayar pajak kepada Kaisar, dan tentang diri-Nya Ia mengatakan, bahwa Ia adalah Kristus, yaitu Raja” (Luk 23:2). Ini adalah dusta, karena Kebenaran justru mengajari semua orang untuk membayar pajak mereka (Mat 22:21). Ia tidak pernah berbicara menentang Kaisar.
Selanjutnya, terjadi percakapan yang sangat menarik antara Kebenaran dan Pilatus. “Maka kembalilah Pilatus ke dalam gedung pengadilan, lalu memanggil Yesus dan bertanya kepada-Nya: ‘Engkau inikah raja orang Yahudi?’ Jawab Yesus: ‘Apakah engkau katakan hal itu dari hatimu sendiri, atau adakah orang lain yang mengatakannya kepadamu tentang Aku?’ Kata Pilatus: ‘Apakah aku seorang Yahudi? Bangsa-Mu sendiri dan imam-imam kepala yang telah menyerahkan Engkau kepadaku; apakah yang telah Engkau perbuat?’
Jawab Yesus: ‘Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini.‘ Maka kata Pilatus kepada-Nya: ‘Jadi Engkau adalah raja?’ Jawab Yesus: ‘Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku.‘ Kata Pilatus kepada-Nya: ‘Apakah kebenaran itu?’”(Yoh 18:33-38).
Pertanyaan Pilatus “Apakah kebenaran itu?” telah bergema di sepanjang sejarah. Apakah itu keinginan melankolis Pilatus untuk mengetahui apa yang orang lain tidak ceritakan kepadanya; cemoohan yang sinis; ataupun sekedar respon acuh tak acuh karena jengkel terhadap kata-kata Yesus?
Dalam era postmodernisme, yang menyangkal kalau kebenaran itu ada, pertanyaan ini jauh lebih penting untuk dijawab daripada sebelumnya. Apakah kebenaran itu?
Usulan Mengenai Definisi Kebenaran
Dalam mendefinisikan kebenaran, akan sangat membantu jika kita memahami apa-apa saja yang “bukan kebenaran:”
• Kebenaran bukan hanya mengenai apapun yang berfungsi. Ini adalah filosofi pragmatisme – sebuah tipe pendekatan tujuan-versus-cara. Pada kenyataannya, dusta pun kelihatannya dapat “berfungsi.” Tapi, dusta tetap saja dusta. Itu bukanlah kebenaran.
• Kebenaran bukan hanya mengenai apapun yang masuk akal atau dapat dimengerti. Sekelompok orang bisa berkumpul dan membentuk sebuah konspirasi berdasarkan seperangkat kesesatan, di mana mereka semua sepakat untuk menceritakan kisah sesat yang sama. Tapi, itu tidak membuat kisah mereka menjadi kebenaran.
• Kebenaran bukan hanya mengenai apapun yang membuat orang merasa bahagia. Sayangnya, berita buruk sekalipun bisa saja benar.
• Kebenaran bukan hanya mengenai apapun yang dinyatakan benar oleh mayoritas. Lima puluh satu persen dari sebuah kelompok bisa saja mendapatkan kesimpulan yang salah.
• Kebenaran bukan hanya mengenai apapun yang komprehensif. Sebuah pemaparan yang panjang dan terperinci tetap bisa menghasilkan sebuah kesimpulan yang keliru.
• Kebenaran tidak ditentukan oleh niat. Niat yang baik pun masih bisa salah.
• Kebenaran bukan hanya mengenai bagaimana cara kita mengetahuinya. Kebenaran adalah mengenai apa yang kita ketahui.
• Kebenaran bukan hanya mengenai apapun yang dipercayai. Sebuah dusta yang sudah dijadikan pegangan pun masih tetap dusta.
• Kebenaran bukan hanya mengenai apapun yang bisa dibuktikan di hadapan publik. Sebuah kebenaran dapat diketahui secara pribadi saja (misalnya, lokasi harta karun).
Kata Yunani untuk “kebenaran” adalah alētheia, yang secara harfiah berarti “tidak tersembunyi” atau “tidak menyembunyikan apa-apa.” Kata ini mengindikasikan kalau kebenaran akan selalu ada, selalu terbuka dan tersedia untuk dilihat oleh semua orang, Tidak ada satupun yang tersembunyi atau disamarkan. Kata Ibrani untuk “kebenaran” adalah emeth, yang berarti “keteguhan,” “sesuatu yang tetap” dan “kelestarian.” Definisi seperti ini menyiratkan substansi yang kekal; sesuatu yang dapat diandalkan.
Dari perspektif filosofis, ada tiga cara sederhana untuk menentukan kebenaran:
1. Kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan realitas.
2. Kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan obyeknya.
2. Kebenaran adalah mengatakan sesuatu dengan apa adanya.
Pertama, kebenaran itu sesuai dengan realitas atau “apa yang ada.” Itu benar-benar nyata. Kebenaran juga sesuai dengan yang apa yang ada atau terjadi di alam semesta. Dengan kata lain, kebenaran sesuai dengan obyeknya dan dikenali melalui rujukannya. Misalnya, seorang guru yang berdiri menghadap murid-muridnya di dalam kelas mungkin mengatakan, “Sekarang satu-satunya pintu keluar ruangan ini berada di sebelah kanan.” Dari perspektif para murid yang memandang menghadap ke arah guru mereka, pintu keluar memang berada di sebelah kiri mereka. Tapi, pintu itu memang benar berada di sebelah kanannya si profesor.
Kebenaran juga harus sesuai dengan objeknya. Memang benar bahwa orang tertentu mungkin hanya memerlukan dosis sekian miligram obat tertentu. Tapi, orang lain mungkin membutuhkan dosis berbeda dari obat yang sama, untuk menghasilkan efek yang sama. Ini bukan kebenaran relatif, tapi hanya sebuah contoh bagaimana kebenaran harus sesuai dengan objeknya. Adalah hal yang salah (dan berpotensi berbahaya) bagi pasien untuk meminta dokter memberikan obat tertentu dengan dosis yang tidak tepat. Atau, menyatakan kalau obat apapun dapat menyembuhkan penyakit mereka.
Singkatnya, kebenaran adalah mengatakan sesuatu dengan apa adanya. Itu adalah keadaan yang sebenarnya, sehingga setiap sudut pandang lain yang menjadi salah. Prinsip dasar filsafat adalah mampu membedakan kebenaran dan kesalahan. Seperti yang dikatakan Thomas Aquinas, “Merupakan tugas filsuf untuk membuat perbedaan.”
Tantangan bagi Kebenaran
Kata-kata Aquinas tidak terlalu populer saat ini. Membuat perbedaan tampaknya menjadi aneh di era postmodern relativisme saat ini. Hari ini, sepertinya lebih dapat diterima ketika seseorang mengatakan, “Hal ini benar,” selama tidak diikuti oleh, “karena yang itu adalah salah.” Terutama yang terkait iman dan agama, di mana semua sistem kepercayaan dianggap memiliki bobot kebenaran yang setara.
Ada sejumlah filosofi dan pandangan yang menentang konsep mengenai adanya kebenaran. Namun, ketika masing-masing pandangan ini diperiksa secara kritis, ternyata malah menjadi bumerang bagi diri mereka sendiri.
Filosofi relativisme mengatakan bahwa semua kebenaran itu relatif. Tidak ada yang namanya kebenaran mutlak. Namun, kita harus bertanya balik: apakah pernyataan kalau “semua kebenaran adalah relatif” adalah kebenaran relatif atau kebenaran mutlak? Jika itu adalah kebenaran relatif, maka pernyataan itu sama sekali sia-sia dan tidak berarti. Bagaimana kita bisa tahu mengenai kapan dan di mana itu akan berlaku?
Jika itu adalah kebenaran mutlak, berarti kebenaran mutlak itu ada. Selain itu, pihak relativis mengkhianati pandangannya sendiri ketika ia menyatakan kalau memutlakkan sesuatu itu salah. Bukankah mereka sendiri yang mengindikasikan kebenaran mutlak itu bisa jadi ada benarnya juga? Intinya, ketika pihak relativis mengatakan “tidak ada kebenaran,” sebenarnya ia sedang meminta Saudara untuk tidak percaya kepadanya. Maka, ikutilah nasihatnya itu.
Mereka yang menganut filosofi skeptisisme akan selalu meragukan semua kebenaran. Tapi, apakah orang skeptik juga skeptis terhadap skeptisisme? Apakah ia meragukan pernyataan kebenaran yang dikemukakan oleh dirinya sendiri? Jika demikian, mengapa kita harus memberi perhatian kepada skeptisisme? Jika tidak, maka kita dapat yakin setidaknya terhadap satu hal (bahwa kebenaran mutlak itu memang ada). Skeptisisme, ironisnya, menjadi kebenaran mutlak bagi dirinya sendiri.
Agnostik menyatakan bahwa Saudara tidak mungkin bisa mengetahui kebenaran. Namun pola pikir yang ini menjadi bumerang mereka sendiri karena mereka mengakui bahwa mereka mengetahui setidaknya satu kebenaran: bahwa Saudara tidak bisa mengetahui kebenaran.
Para penganut postmodernisme menegaskan bahwa tidak ada kebenaran yang sejati. Tokoh utama postmodernisme – Frederick Nietzsche – menjelaskan kebenaran seperti ini: “Lalu apakah kebenaran itu? Sepasukan metafora, metonimi, dan anthropomorphisme yang bergerak … kebenaran adalah ilusi … koin yang telah kehilangan gambar mereka dan sekarang hanyalah logam belaka, dan tidak lagi sebagai koin.”
Ironisnya, meskipun para penganut postmodernisme memegang koin di tangannya yang sekarang “hanyalah logam belaka,” dia sebenarnya sedang menegaskan kalau setidaknya ada satu kebenaran mutlak: yaitu kebenaran mengenai “tidak ada kebenaran yang harus ditegaskan.” Seperti pandangan lainnya, postmodernisme menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Ia tidak bisa mempertahankan pernyataannya sendiri.
Sebuah pandangan populer lainnya adalah pluralisme, yang mengatakan bahwa semua pernyataan mengenai kebenaran itu sama-sama benar Tentu saja, hal ini mustahil terjadi. Bisakah dua pernyataan – ketika yang satu menyatakan kalau seorang wanita sedang hamil dan satunya menyatakan kalau dia tidak sedang hamil – keduanya bisa benar pada waktu yang sama?
Pluralisme tak berdaya di hadapan hukum non-kontradiksi, yang mengatakan bahwa sesuatu tidak dapat menjadi “A” dan “Non-A” pada saat bersamaan, dengan merujuk pada makna yang sama. Seperti sindiran dari salah satu filsuf: siapa saja yang percaya bahwa hukum non-kontradiksi itu tidak benar (atau menganggap bahwa pluralisme itu benar) maka ia harus dipukuli dan dibakar, sampai mereka mengakui bahwa “dipukuli dan dibakar” tidak sama artinya dengan “tidak dipukuli dan dibakar.”
Pluralisme menyatakan kalau pandangan mereka benar. Semua yang menentangnya dianggap salah. Dengan begitu, ini merupakan pernyataan yang menolak pandangannya sendiri. Semangat di balik pluralisme merupakan sikap terbuka dari toleransi. Namun, pluralisme mengacaukan gagasan bahwa setiap orang memiliki nilai yang sama. Bahwa setiap pernyataan kebenaran memiliki bobot kebenaran yang sama.
Sederhananya, semua orang bisa saja setara, tetapi tidak semua pernyataan mengenai kebenaran itu setara. Pluralisme gagal untuk memahami perbedaan antara opini dan kebenaran. Mortimer Adler berkata, “Pluralisme diinginkan dan ditoleransi hanya di ranah selera; bukan dalam ranah kebenaran.”
Natur Serangan terhadap Kebenaran
Ketika konsep kebenaran difitnah, biasanya untuk satu atau lebih dari alasan-alasan berikut:
Salah satu tuduhan umum terhadap siapa pun yang mengaku memiliki kebenaran mutlak terkait urusan iman dan agama adalah: sikap semacam itu dianggap “berpikiran sempit.” Namun, para kritikus ini gagal untuk memahami bahwa, secara naturnya, kebenaran memang sempit. Apakah seorang guru matematika berpikiran sempit untuk menyakini kalau 2 + 2 hanya punya satu jawaban, yaitu 4?
Juga, adanya anggapan kalau sikap seseorang menyatakan sesuatu itu benar, sementara yang lainnya salah, sebagai sikap yang arogan. Namun, kembali ke contoh di atas, apakah guru matematika yang bersikeras bahwa hanya ada satu jawaban yang benar untuk masalah aritmatika itu bisa dianggap arogan? Apakah tukang kunci yang menyatakan kalau hanya ada satu kunci yang bisa membuka pintu yang terkunci itu adalah sikap yang arogan?
Serangan ketiga terhadap mereka yang memegang kebenaran mutlak terkait iman dan agama: posisi semacam itu akan menolak orang-orang. Mereka menjadi eksklusif, tidak inklusif. Tapi, keluhan sejenis itu gagal memahami esensi kebenaran, yang memang secara alami akan menolak segala sesuatu yang berlawanan dengannya. Semua jawaban selain 4 akan dikecualikan dari kemungkinan hasil dari 2 + 2.
Protes lain terhadap kebenaran adalah: dengan menyatakan kalau hanya salah satu pihak yang memiliki kebenaran merupakan sebuah penghinaan bagi pihak lainnya. Hal ini dianggap akan mendorong terjadinya perpecahan. Sebaliknya, para kritikus berpendapat, yang terpenting adalah ketulusan. Masalahnya adalah: kebenaran itu seharusnya tidak terkait dengan ketulusan, kepercayaan, maupun keinginan.
Tidak peduli berapa banyak ketulusan yang dimiliki seseorang ketika meyakini bahwa kunci yang salah akan cocok di sebuah pintu, kuncinya tetap tidak akan bisa masuk. Pintu tetap tidak akan terbuka. Kebenaran tidak terpengaruh oleh ketulusan. Seseorang yang meminum sebotol racun, sekalipun dengan tulus mempercayai bahwa itu adalah air limau, tetap akan keracunan.
Kebenaran juga tidak terpengaruh oleh keinginan. Seseorang mungkin sangat menginginkan agar mobilnya tidak kehabisan bensin. Tapi, jika meteran pengukur mobil menunjukkan bensin sudah habis, maka mobil tidak bisa berjalan lebih jauh lagi. Tidak ada keinginan yang secara ajaib yang bisa menyebabkan mobil itu untuk bisa terus berjalan.
Beberapa pihak akan mengakui bahwa kebenaran mutlak itu memang ada.Tapi, kebenaran mutlak dianggap hanya ada di bidang ilmu pengetahuan, bukan dalam bidang iman dan agama. Di dalam filosofi, inilah yang disebut dengan positivisme logis, yang dipopulerkan oleh filsuf seperti David Hume dan A. J. Ayer.
Pada dasarnya, orang-orang seperti mereka menyatakan bahwa pernyataan mengenai kebenaran haruslah (1) tautologis (misalnya, semua perjaka adalah laki-laki yang belum menikah) atau dapat dipastikan secara empiris (dapat diuji melalui sains). Bagi positivis logis, semua pembicaraan mengenai Allah adalah omong kosong.
Mereka yang menyakini kalau hanya ilmu pengetahuan yang dapat menyatakan kebenaran justru tidak bisa memahami kalau banyak aspek di dalam kebenaran di mana sains tidak memiliki pengaruh apapun di dalamnya. Contohnya:
• Sains tidak bisa membuktikan disiplin matematika dan logika, karena justru sains yang memerlukan matematika dan logika.
• Sains tidak dapat membuktikan kebenaran metafisik, seperti halnya: pikiran selain milik saya sendiri itu memang ada.
• Sains tidak mampu menyatakan kebenaran di bidang moral dan etika. Saudara tidak dapat menggunakan sains, misalnya, untuk membuktikan kalau Nazi itu jahat.
• Sains tidak mampu menyatakan kebenaran mengenai estetika, seperti misalnya: keindahan matahari terbit.
• Ketika orang membuat pernyataan bahwa “ilmu pengetahuan adalah satu-satunya sumber kebenaran obyektif,” mereka baru saja membuat pernyataan filosofis – yang tidak dapat diuji oleh sains itu sendiri.
Ada juga yang menyatakan kalau kebenaran mutlak tidak berlaku di wilayah moralitas. Namun, jawaban terhadap pertanyaan “Apakah penyiksaan dan pembunuhan anak yang tidak bersalah itu sesuai dengan moral?” adalah jawaban yang bersifat mutlak dan universal. Dalam level personal, bukankah mereka yang mendukung kebenaran relatif terkait moral juga tetap menginginkan agar pasangan mereka benar-benar setia kepada mereka?
Mengapa Kebenaran itu Penting
Mengapa begitu penting untuk memahami dan memegang konsep kebenaran mutlak dalam semua bidang kehidupan (termasuk iman dan agama)? Karena kehidupan ini memiliki konsekuensi bagi setiap kesalahan. Memberikan obat-obatan dengan dosis yang salah kepada seseorang: dapat membunuh mereka. Memiliki manajer investasi yang membuat keputusan keuangan yang salah: dapat memiskinkan sebuah keluarga. Naik pesawat yang salah: akan membawa Saudara ke tempat yang tidak seharusnya. Berurusan dengan pasangan hidup yang tidak setia: bisa mengakibatkan kehancuran keluarga. Bahkan, mungkin sekali, menyebabkan seseorang tertular penyakit.
Seperti yang dikatakan oleh apologis Kristen, Ravi Zacharias, “Faktanya adalah, kebenaran menjadi penting – terutama ketika Saudara menjadi pihak yang dibohongi.” Tidak ada ranah yang lebih penting daripada ranah iman dan agama. Kekekalan akan menjadi waktu yang sangat lama bagi seseorang karena melakukan atau meyakini sesuatu yang salah.
Allah dan Kebenaran
Melalui enam pengadilan yang dihadapi Yesus, perbandingan antara kebenaran dan kebohongan (ketidakbenaran) begitu jelas. Di sana berdiri Yesus, Sang Kebenaran, yang dihakimi oleh mereka yang setiap tindakannya justru dibungkus oleh kebohongan. Para pemimpin Yahudi melanggar hampir setiap hukum, yang justru dirancang untuk melindungi terdakwa dari fitnah.
Mereka bekerja dengan sungguh-sungguh justru untuk menemukan kesaksian yang bisa memberatkan Yesus. Dalam kefrustasian, mereka malah berpaling kepada bukti palsu yang diajukan oleh para pembohong. Tetapi, semua usaha itu bahkan tidak bisa membantu mereka untuk mencapai tujuan. Jadi, mereka kembali melanggar hukum lain dan menjebak Yesus supaya bisa dijatuhi hukuman mati.
Ketika berada di hadapan Pilatus pun, para pemimpin Yahudi ini tetap berbohong. Mereka menghukum Yesus dengan tuduhan penghujatan. Karena mereka tahu tuduhan ini tidak akan cukup kuat untuk membujuk Pilatus untuk menghukum mati Yesus, mereka kemudian berbohong. Mereka menyatakan kalau Yesus menentang Kaisar dan melanggar hukum Romawi dengan menyerukan rakyat untuk tidak membayar pajak. Pilatus dengan cepat mendeteksi kebohongan mereka yang begitu terang-terangan ini. Ia bahkan sama sekali tidak pernah membahas tuduhan yang mereka lontarkan terhadap Yesus ini.
Yesus, Sang Kebenaran, sedang dihakimi oleh mereka yang tidak benar. Kenyataan yang menyedihkan: “yang tidak benar” selalu menganiaya “yang benar.” Ini sebabnya Kain membunuh Habel. Beberapa contoh dalam Perjanjian Baru:
• “Dan itulah sebabnya Allah mendatangkan kesesatan atas mereka, yang menyebabkan mereka percaya akan dusta, supaya dihukum semua orang yang tidak percaya akan kebenaran dan yang suka kejahatan” (2 Tes 2:11-12, penekanan ditambahkan oleh redaksi).
• “Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman” (Rm 1:18, penekanan ditambahkan oleh redaksi).
• “Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya, yaitu hidup kekal kepada mereka yang dengan tekun berbuat baik, mencari kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan, tetapi murka dan geram kepada mereka yang mencari kepentingan sendiri, yang tidak taat kepada kebenaran, melainkan taat kepada kelaliman” (Rm 2:6-8, penekanan ditambahkan oleh redaksi).
• “Ia (kasih) tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran” (1 Kor 13:5-6, penekanan ditambahkan oleh redaksi).
Kesimpulan
Pertanyaan yang ditanyakan oleh Pontius Pilatus berabad-abad yang lalu perlu diulang agar benar-benar akurat. Pertanyaan “Apakah kebenaran itu?” mengabaikan kenyataan bahwa banyak hal yang bisa memiliki kebenaran. Tapi, hanya ada satu hal yang benar-benar bisa menjadi Kebenaran. Kebenaran harus berasal dari suatu tempat.
Kenyataan sebenarnya: Pilatus pada pagi hari itu berkesempatan melihat langsung Sumber dari semua Kebenaran. Tidak lama sebelum ditangkap dan dibawa kepada gubernur, Yesus telah membuat pernyataan sederhana yang luar biasa artinya, “Akulah kebenaran” (Yoh 14:6). Bagaimana mungkin seorang manusia biasa bisa menjadi kebenaran? Dia tidak akan bisa. Kecuali, kalau Dia memang bukan orang biasa, seperti yang telah Dia nyatakan. Pernyataan Yesus ini kelak dibuktikan, ketika Ia bangkit dari antara orang mati (Rom 1:4).
Ada sebuah cerita mengenai seorang pria yang tinggal di Paris. Ia dikunjungi oleh orang asing dari negara lain. Berkeinginan untuk menunjukkan kemegahan Paris kepada orang asing tersebut, ia membawanya ke Museum Louvre untuk melihat karya seni yang luar biasa. Kemudian ke sebuah konser di aula yang megah untuk menikmati simfoni luar biasa yang dimainkan oleh orkestra. Pada penghujung hari, orang asing tersebut malahan berkomentar bahwa dia tidak terlalu suka dunia seni ataupun musik. Tuan rumahnya menjawab, “Bukan mereka yang sedang dihakimi, namun justru Anda sendiri.”
Pilatus dan para pemimpin Yahudi mengira kalau mereka sedang menghakimi Kristus. Padahal, pada kenyataannya, mereka adalah orang-orang yang dihakimi. Pribadi yang mereka hukum ini yang akan menjadi Hakim atas mereka pada satu hari nanti, sebagaimana Dia akan menjadi hakim bagi semua orang yang menindas kebenaran dengan kelaliman.
Pilatus jelas tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengetahui tentang kebenaran. Eusebius, sejarawan dan Uskup Caesarea, mencatat fakta bahwa Pilatus akhirnya bunuh diri di suatu waktu pada masa pemerintahan kaisar Caligula. Akhir yang menyedihkan dan menjadi pengingat bagi semua orang. Mengabaikan kebenaran selalu mengakibatkan konsekuensi yang tidak diinginkan. (gotquestions)