Empat tahun pascakonflik agama yang terjadi di Aceh Singkil, rekonsiliasi masih belum mencapai titik temu. Konflik Aceh Singkil disebut sebagai potret buruk intoleransi di Indonesia, di tengah menjamurnya ‘konservatisme yang terobsesi melakukan politik penyeragaman atas nama mayoritas’.
Pembakaran Gereja HKI Suka Makmur di Aceh Singil pada 2015, menjadi awal apa yang disebut sebagai Konfik Aceh Singkil. Saat itu sejumlah gereja dibakar dan dibongkar lantaran dianggap tak memiliki izin.
Empat tahun berselang, Martina Berutu, warga Desa Suka Makmur di Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil, yang juga menjadi salah satu pengurus gereja, mengaku kewalahan dengan banyaknya persyaratan untuk mengurus izin mendirikan bangunan (IMB) gereja di provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Islam itu.
“Rasa resah, nggak bisa lagi aku ngomong. Apalagi pengurusan IMB sejak 2016 disuruh diurus, sampai sekarang nggak ada muncul-muncul. Padahal berkas kami bolak-balik, udah semua. Sementara kami sudah dapat tujuh rekomendasi,” jelas Masarani.
Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil sebelumnya memberlakukan persyaratan yang ketat untuk IMB gereja, yakni harus memiliki setidaknya 150 pengguna dan mendapat dukungan masyarakat setempat paling sedikit 120 orang, sesuai Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.
Pemerintah daerah Aceh yang menganut hukum syariah kemudian mengeluarkan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 tentang pedoman pemeliharaan umat beragama dan pendirian tempat ibadah.
Qanun itu menyebut bahwa pendirian tempat ibadah harus memenuhi syarat memiliki setidaknya 140 jemaat dan dukungan masyarakat setempat paling sedikit 110 orang yang bukan pengguna tempat ibadah tersebut.
Persyaratan ini lebih ketat dari yang ditetapkan pemerintah pusat lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri No. 8 dan 9 tahun 2006.
Salah satu klausul SKB yang ditetapkan Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri tersebut menyebutkan bahwa pendirian tempat ibadah harus memiliki jemaat sebanyak 90 orang dan mendapat sedikitnya dukungan 60 orang masyarakat setempat.
Selain mengatur jumlah minimum jemaat dan dukungan masyarakat agar izin pembangunan gereja bisa diajukan, Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 mengharuskan pendirian tempat ibadah mendapat rekomendasi tertulis dari beberapa badan, mulai dari Keuchik (kepala desa), Imuem Mukim (kepala pemerintahan adat), Camat, Kepala Kantor Kementeran Agama, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB); serta surat keterangan status tanah dan rencana gambar bangunan.
“Dalam hati kecilku, itu terik juga, kenapa harus diturunkan ke kepala Mukim kembali, kenapa tidak diajukan sama bupati. Itu terik juga dalam hatiku. Hancur kami memang, hancur sehancur-hancurnya.”
Penerapan qanun itu membuat umat Kristen di Aceh Singkil semakin pesimistis mereka akan dapat membangun gereja lagi.
Boas Tumangger, Ketua Forum Cinta Damai Aceh Singil (Forcidas) yang mengadvokasi warga Kristen di Aceh Singkil, mengungkapkan, qanun tentang pendirian tempat ibadah dianggap ‘menjerat umat’ dan sebagai ‘bom waktu’ karena acap kali digunakan untuk kepentingan politik.
‘Api dalam sekam’
Empat tahun berselang rekonsiliasi untuk mendamaikan konflik belum mencapai titik temu. Sementara itu, kehidupan warga Kristen telah berubah drastis.
Lantaran tak lagi memiliki tempat ibadah, warga Kristen di Aceh Singkil kemudian mendirikan tenda-tenda yang disulap menjadi naungan mereka ketika menjalankan kebaktian.
Banyak di antaranya dibangun di tengah kebun sawit, demi menghindari kecaman umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas di daerah itu.
Boas Tumangger mengungkapkan dalam konflik empat tahun lalu, terdapat sembilan gereja yang dibongkar Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan satu gereja dibakar massa karena dianggap tak berizin.
Dia menuturkan umat Kristen di Aceh Singkil yang merupakan minoritas di Aceh berharap adanya jaminan beribadah dan kebebasan beragama di provinsi yang menerapkan syariat Islam itu.
“Yang jelas kita meminta kepastian hukum bagaimana nasib kita ke depan. Karena pada saat ini, khususnya kita umat Kristen di sini merasa terombang-ambing. Kepastian hukumnya nggak jelas,” ujar Boas.
Tokoh Umat Islam Aceh Singkil, Roesman Hasymi, yang juga menjabat Ketua Umum Tanfidziyah Nahdlatul Ulama (NU) Aceh Singkil pun mendesak pemerintah untuk segera memberi kepastian hukum terhadap tempat ibadah umat Kristen di Aceh Singkil.
“Kalau ini tidak terselesaikan, sama dengan pembiaran. Makanya banyak diistilahkan ini api dalam sekam,” kata Roesman.
“Suatu saat kita takut meledak lagi. Apalagi dengan Aceh Singkil yang multietnis, mudah sekali terpicu,” imbuhnya.
Roesman Hasymi yang juga sempat menjabat sebagai Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh Singkil menegaskan Pemerintah Daerah Aceh Singkil “tidak berani” melaksanakan peraturan yang berlaku.
Dia merujuk pada penerapan pendirian ibadah yang pada Qanun Tahun 2016.
“Masak melakukan aturan tidak bisa? Kalau seorang pemimpin tidak mampu melaksanakan aturan yang sudah jelas, apa namanya itu?,” ujarnya.
“Persoalan kami di daerah ini menjadi dilematis,” imbuh Roesman.
Semestinya pemerintah bisa ‘lebih tegas’
Ketua FKUB Aceh Singkil, Ramlan, mengatakan banyaknya aliran gereja Kristen di Aceh Singkil, semakin memperumit penyelesaian konflik Aceh Singkil. Untuk menuntaskan persoalan, semestinya pemerintah Aceh Singkil bisa “lebih tegas”.
“Dengan sikap tegas, arif, putuskan. Permintaan umat Kristen yang bisa kita penuhi, kita penuhi. Jangan tidak tersentuh sama sekali, itu juga bahaya,” ujar Ramlan.
” Walaupun orang itu di sini minoritas, tetap diperhatikan. Karena kalau tidak jadi riak juga, bahaya itu,” lanjutnya.
Namun, Bupati Aceh Singkil, Dul Musrid, justru mengungkapkan rekonsiliasi belum mendapatkan titik terang karena kedua belah pihak belum bersepakat.
“Kita sebagai pemerintah didesak untuk mengambil langkah. Kalau diminta tegas, saya ingin mereka berproses [rekonsiliasi]. Saya kerja pakai aturan kok. Proses apapun dia, ikuti aturannya,” tegas Dul.
“Mereka tinggal pilih, mau ikut aturan Menteri, atau ikut aturan Gubernur Aceh. Sedangkan aturan ini harus dilampirkan lagi Qanun Aceh tahun 2014,” imbuhnya.
‘Politik penyeragaman atas nama mayoritas’
Bagaimanapun, apa yang terjadi di Aceh Singkil, menurut Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani, menjadi potret buruknya intoleransi di Indonesia di tengah menjamurnya “konservatisme yang terobsesi melakukan politik penyeragaman atas nama mayoritas”.
“Mereka kemudian menegasikan atau tidak mentolerir kelompok-kelompok yang lain,” tuturnya.
Aksi ini, menurut Ismail, semakin ekspresif karena kemudian identitas yang dipersoalkan adalah agama yang berbeda dengan agama arus utama di Aceh, khususnya Aceh Singkil.
Itu yang kemudian mendorong pihak-pihak di Aceh tidak bersepakat dengan pendirian atau keberadaan sejumlah gereja di Aceh Singkil.
Padahal, menurut Ismail, tempat ibadah merupakan bagian inheren dari kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Rekonsiliasi konflik yang dibiarkan “tanpa upaya”, baginya, “hanya akan menjadi api dalam sekam yang kapan pun akan berpotensi mengemuka.”
“Apalagi sejalan dengan orientasi politik ide ntitas yang melekat dalam even elektoral di berbagai daerah, maka kasus-kasus semacam ini akan mengalami eskalasi,” ujar Ismail.
SETARA Institute mencatat, setidaknya aktivitas 200 gereja di seluruh Indonesia disegel dan ditolak oleh masyarakat dalam kurun waktu sekitar satu dekade terakhir.
Namun, dengan kegamangan sikap pemerintah, Boas Tumangger sangsi rekonsiliasi konflik Aceh segera selesai.
“Kalau ini tidak selesai dalam batas periode 2020, ini akan jadi gorengan politik lagi,” ujarnya.
“Jadi suatu saat ini pasti akan meledak.”
sumber: https://www.bbc.co.uk/indonesia/indonesia-50471436