Diakonia.id – Pada 2015 lalu, Brad Tuttle pernah menurunkan artikel untuk Time tentang Hari Valentine cenderung didorong sebagai peristiwa perayaan komersial. Tradisi perayaan Valentine yang telah berlangsung selama berabad-abad, belakangan mendongkrak produksi usaha cokelat, kartu ucapan, perhiasan hingga bunga mawar.
Ada-tak ada Hari Valentine, ada-tak ada Santo Valentinus, cinta adalah hal yang universal.
Menurut data National Retail Federation, pada momen Valentine di Amerika Serikat tahun lalu ada 54,8 persen konsumen menghabiskan rata-rata $146,84 dollar untuk pembelian bunga, perhiasan, permen, pakaian, dan banyak lainnya. Jika ditotal secara nasional, pengeluaran itu mencapai $19,7 miliar.
Ke mana para konsumen ini melangkah untuk memenuhi kebutuhan tersebut? Pusat perbelanjaan menjadi tempat berburu untuk Valentine sebesar 34,5 persen. Sebesar 31 persen akan berbelanja di toko favorit mereka yang menawarkan diskon. Belanja online juga menempati posisi berikutnya dengan porsi 27,9 persen, dan 19,1 persen memilih pergi ke toko bunga. Hanya 15,4 persen yang akan berbelanja di toko dan usaha kecil.
Hari Valentine kini, terutama adalah soal strategi pemasaran yang menghasilkan perputaran uang. Bagaimana dengan sejarahnya?
Menarik jika melihat status Hari Valentine di Gereja Katolik Roma. Menurut History, Gereja Katolik mengakui setidaknya tiga orang kudus yang berbeda bernama Valentine atau Valentinus, yang kesemuanya menjadi martir, atau mati syahid.
The Catholic Encyclopedia juga membicarakan tiga Valentinus yang muncul sehubungan terkait tanggal 14 Februari: seorang imam Romawi, seorang uskup Interamna yang kini merujuk pada wilayah Terni, Italia, dan Santo Valentin yang menderita di Afrika Utara—saat itu di bawah kekuasaan Romawi—dan kemudian tak diketahui nasibnya.
Nama Valentine sendiri berasal dari Valens yang dapat diartikan sebagai layak, kuat, bertenaga. Kata ini populer digunakan pada abad kuno akhir. Selain nama Valentine yang merujuk ke tanggal 14 Februari, ada sekitar sebelas orang kudus yang tersemat nama Valentine dan diperingati dalam Gereja Katolik Roma.
Meskipun begitu, narasi utama Valentin merujuk pada seorang uskup dari Terni Italia. Dalam Roman Martyrology, sebuah daftar resmi Gereja Katolik dari orang-orang kudus yang diakui, Santo Valentine dari Terni itu adalah seorang martir yang kemudian meninggal di Via Flaminia.
Ada banyak versi soal kematian dan kemartiran Santo Valentine dari Terni ini.
Jika melihat hari Valentine yang terfokus pada kisah percintaan, yang paling relevan adalah kisah Uskup Valentine yang mengupayakan pernikahan bagi muda-mudi di masa rezim Kaisar Claudius II, hingga berujung hukuman mati.
Kala itu, Romawi dipimpin oleh Kaisar Claudius II. Masa penguatan kerajaan Romawi juga sedang dilakukan dengan gencar. Hal ini mendorong Claudius II untuk mengeluarkan dekrit yang berisi putusan bahwa tentara lajang jauh lebih baik dibanding yang telah menikah dan memiliki keluarga. Memiliki keluarga dianggap akan membebani pikiran dan tenaga tentara sehingga tidak fokus dalam berperang.
Ia kemudian melarang pernikahan bagi para tentara. Uskup Valentine yang hidup pada abad ketiga ini menentang keputusan Claudius II. Ia melihat perintah ini sebagai ketidakadilan. Lalu, Valentine menikahkan para muda-mudi (tentara), tentunya secara diam-diam.
Namun, ada versi lain dari hagiografi populer yang muncul di Nuremberg Chronicle pada 1493 bersama potret sosok Valentine dengan ukiran kayu. Dalam teks itu, Valentine dikisahkan telah menikahkan pasangan Kristen dan juga membantu orang-orang Kristen yang dianiaya oleh Claudius di Roma sehingga ditangkap dan dipenjara.
Ketika Valentine mencoba memperkenalkan Kristus kepada Claudius, ia dihukum mati. Gagal membunuh dengan memukuli memakai pentungan dan batu, ia kemudian dipenggal di Flaminian Gate yang sekarang merujuk pada Piazza del Popolo, sebuah lapangan historis di Italia. Ada banyak versi juga ihwal tahun kematiannya: tahun 269, 270, dan 273.
Pada tahun 496, Paus Gelasius I menyatakan tanggal 14 Februari sebagai hari Santo Valentine bersamaan dengan pengalihan hari raya Lupercalia yang dirayakan muda-mudi Romawi pada 15 Februari.
Gereja Katolik menghapus hari Santo Valentine ini dari Kalender Umum Romawi pada tahun 1969 menurut Calendarium Romanum Libreria Editrice Vaticana, sehingga hanya meninggalkan perayaan liturgi untuk kalender lokal. Penyebabnya adalah terlalu sedikitnya informasi sejarah tentang sosok Valentine atau Valentinus.
Meski begitu, Gereja Katolik sendiri kemudian masih terus mengakui Santo Valentinus sebagai orang suci dan ia masih ada dalam daftar Martirologi Romawi, sehingga otoritas masih memberikan penghormatan liturgi.
Dalam catatan History, ucapan Hari Valentine tidak begitu saja muncul sejak peristiwa Santo Valentine itu terjadi. Baru sekitar tahun 1400an ia mulai muncul, tepatnya pada tahun 1415, dalam sebuah puisi yang ditulis oleh Charles untuk istrinya berjudul “Duke of Orleans.” Kala itu, istrinya dpenjarakan di Menara London menyusul penangkapannya pada Pertempuran Agincourt.
Beberapa tahun kemudian, Raja Henry V diyakini pernah memperkerjakan seorang penulis bernama John Lydgate untuk menulis catatan Valentine dengan Catherine dari Valois. Baru sekitar abad ke-17 hari Valentine mulai banyak dirayakan. Memasuki pertengahan abad ke-18, bertukar catatan tulisan tangan dan cinderamata bertema kasih sayang menjadi hal biasa di seluruh lapisan kelas sosial.
Berkembangnya kartu cetak pada tahun 1900 juga turut membawa perubahan. Orang tidak lagi menuliskan pesan lewat tangan. Jasa pengiriman juga bertumbuh seiring tren peningkatan saling berkirim kartu ini. Hingga saat ini, medium penyampaian pesan cinta terus berkembang dan Hari Valentine makin tampak menjual untuk dikomersialisasikan.
Artikel CNN pada Valentine 2016 lalu juga tidak lupa untuk memberikan pesan dan laku cinta bukan hanya kepada kekasih atau teman hidup saja, tapi juga untuk alam, orang di seluruh dunia yang harus kehilangan rumahnya karena perang dan penganiayaan. Juga cinta untuk coklat, sebab ternyata anak-anak dilibatkan dalam perbudakan industri coklat, cinta untuk anak-anak, cinta untuk diri sendiri, cinta untuk sesama, dan tentunya cinta untuk orangtua kita. Semuanya masih relevan hingga sekarang.
Cinta adalah hal yang universal, melampaui asal-usul Hari Valentine. Anda tetap punya cinta, ada atau tidak ada Santo Valentinus. (tirto)