Diakonia.id – Alkitab seringkali dipandang sekadar mengurus hal-hal sorgawi dan persoalan moral pribadi yang tidak ada kaitannya dengan persoalan ekonomi-politik. Sehingga tidak jarang mendengar para pengkhotbah memandang persoalan kesenjangan sosial sebagai akibat orang-orang miskin yang malas, bodoh hingga kurang diberkati oleh Tuhan. Persoalan-persoalan dunia harus dihadapi dengan bersabar, bersyukur, pasrah dan berserah pada keadaan dan menjanjikan sesuatu yang lebih baik kelak di surga. Wajar pula respon nyinyir umat terhadap demonstrasi akhir-akhir ini. Demonstrasi dianggap bukan solusi, yang harus dilakukan oleh mereka sebagai pelajar adalah belajar dengan giat, mereka yang bekerja adalah bekerja dengan rajin, perlawanan dalam wujud demonstrasi dianggap tidak lagi relevan di zaman modern. Namun mereka tidak menunjuk jarinya kepada sistem yang tidak adil, corak produksi yang tidak demokratis, struktur ekonomi yang memberi peluang seluas-luasnya bagi penghisapan manusia sebagai akar persoalan. Mereka juga tidak belajar dari sejarah, bahwa kehidupan yang lebih baik dalam perkembangannya dibangun di atas perlawanan dengan darah dan air mata bukan hadiah dari yang berkuasa.
Hubungan agama dan kekuasaan adalah topik abadi. Agama dapat secara terbuka bergabung dengan perebutan kekuasaan, seringkali agama berperan dalam menopang kekuatan yang ada. Tetapi, agama juga dapat memberikan kontribusi bagi semangat gerakan perlawanan. Dalam perjuangan revolusi, umat gereja pernah berperan dalam pergerakan sebagai oposisi pemerintahan. Umat mereoreintasi iman mereka untuk menantang rezim. Cerita-cerita dalam Alkitab memainkan peran dalam mobilisasi revolusioner dari umat. Beberapa cerita dalam Alkitab secara khusus digunakan kaum revolusioner untuk menegaskan, mengeksplorasi dan mempromosikan model aksi dan orientasi moral yang konsisten dengan keyakinan revolusioner. Cerita Alkitab dapat memberi peluang bagi pengguna cerita untuk mendefinisikan komitmen mereka terhadap revolusi sesuai dengan prinsip yang radikal.
Pengakuan bahwa cerita, mitos hingga dongeng berperan dalam pendorong mobilisasi gerakan sosial dapat terlihat di berbagai literatur. Fransesca Polletta, dalam bukunya It Was Like a Fever: Storytelling in Protest and Politics, menuliskan bahwa cerita dapat menopang kelompok-kelompok perjuangan perubahan sosial, membantu membangun identitas kolektif baru, menghubungkan tindakan saat ini dengan masa lalu dan perubahan di masa depan, bahkan sebelum gerakan terorganisir muncul, cerita-cerita yang beredar di dalam komunitas subaltern memberikan tandingan bagi mitos yang dipromosikan oleh yang kuat.[1] Christian Smith menuliskan bahwa dengan menceritakan sebuah kisah berarti mendefinisikan siapa kita sebagai manusia, untuk apa kita di sini, bagaimana kita harus hidup, apa yang baik dan buruk, benar dan salah, adil dan tidak adil, adil dan tidak layak, layak dan tidak layak, makna yang ada dalam skema realitas yang lebih besar dalam kehidupan.[2]
Peran cerita bernada subversif penting dalam perubahan sosial terutama menantang status quo. Cerita subversif adalah tandingan dari hegemoni cerita-cerita yang melihat kenyataan sekarang yang dikaburkan dan diterima begitu saja. Jika hegemoni cerita mengatur keheningan dan menjajah kesadaran, cerita subversif adalah cerita yang memecah keheningan itu.[3]
Penggunaan cerita subversif dapat menjadi alat konfirmasi dalam keterlibatan politik bahkan dapat mempertahankan imajinasi alternatif tentang realitas yang lebih baik. cerita subversif dapat menghadirkan dinamika perubahan sosial karena memberikan identitas, solidaritas, orientasi, dan semangat bagi para aktor perlawanan.
Cerita-cerita Alkitab juga pernah digunakan seorang revolusioner di Rusia, Lenin, seperti yang ditulis oleh Roland Boer, “Not only does Lenin turn out to be a creative and innovative exegete, appropriating, redirecting, and providing new angles on the biblical texts, but he also deploys the genre of parables throughout his writings.”[4] Sekalipun Lenin lebih cenderung menolak membandingkan perjuangannya dengan agama (kekristenan), namun, Roland Boer melihat Lenin secara kreatif menggunakan teks-teks alkitabiah sendiri, bergerak melampaui pendahulunya, Marx dan Engels, dia bahkan disebut meradikalisasi wawasan mereka.
Kisah-kisah dalam Alkitab dapat memperkuat identitas semangat revolusioner. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mendramatisasi sejarah kolektif orang-orang Kristen, memberikan pesan moral pada revolusi, menetapkan batas-batas moral antara para pengguna cerita dan musuh-musuh mereka, dan mengaitkan perasaan urgensi dengan kondisi aktual yang terjadi.
Kisah perlawanan di El Salvador, contohya, banyak diinspirasi dari kisah kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus. Kisah di dalam Injil tersebut memberikan sebuah lensa yang digunakan untuk memahami dunia yang sedang mereka jalani. Pembunuhan uskup agung mereka (Oscar Romero), kematian yang kejam dari orang-orang terkasih, dan pengorbanan mereka semua memperoleh makna penebusan dalam terang sengsara Yesus. peristiwa tersebut membuat kelas pekerja menempatkan hidup mereka sendiri dalam konteks narasi mengenai iman, penganiayaan, menjadi perlawanan yang nyata dan sakral.[5]
Kisah-kisah perlawanan seringkali mengambil referensi dari Perjanjian Lama, secara khusus mengenai kisah pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir hingga kritik profetis para Nabi, namun, dalam tulisan ini mencoba sedikit mengeksplorasi cerita-cerita dalam Perjanjian Baru secara khusus cerita-cerita dalam Injil mengenai kelahiran dan kehidupan Yesus, perumpamaan dan mujizat.
Kelahiran dan kehidupan Yesus, perumpamaan dan mujizat
Dalam prolog di cerita-cerita Injil, baik itu Firman yang telah menjadi manusia (Yohanes 1: 1–18), pemberitaan kelahiran (Lukas 1:26 –36), nyanyian pujian Maria (Lukas 1:46 – 55), kidung Zakharia (Lukas 1:67–80 ), kelahiran Yesus (Lukas 2: 6–7), Gembala Betlehem (Lukas 2: 8-20), Pembunuhan anak-anak di Betlehem (Matius 2: 12–23), Yesus dan Simeon (Lukas 2:29 –36), Injil memberikan pelajaran bahwa diperlukan transformasi radikal dalam kehidupan. Injil menyediakan peta bagi pembaca agar dapat mengorientasikan diri mereka di dunia. Injil menyerukan pemerataan kekayaan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan demi persatuan. Pembaca dapat belajar bahwa manusia menjadi agen menggulingkan yang bertahta, yang kaya, dan yang tinggi hati. Orang-orang miskin, yang terpinggirkan, dan yang rendah hati diharuskan bangkit melawan.
Pada zaman itu, kekuasaan Romawi digambarkan sebagai periode terbaik dan terdamai dalam sejarah. Namun, kedamaian itu adalah kedamaian dengan pertumpahan darah. Untuk mempertahankan kekuatannya, Kekaisaran Romawi tidak ragu untuk menggunakan “pedang”. Para pemimpin politik lokal pada zaman Yesus juga korup. Anak-anak Herodes cenderung mencari pujian dari kaisar Romawi dan pada saat yang sama membebani orang-orang Yahudi dengan banyak jenis pajak untuk membiayai birokrasi dan kepentingan politik.
Dalam situasi seperti itu, hadir seorang Yesus yang memiliki model unik dalam visiNya tentang kekuasaan. Dia mengurangi dan membatasi kekuatan memaksa dari yang “kuat” dan pada saat yang sama dia mengajak yang tidak memiliki kekuatan sebagai agen dari perubahan. Namun, dalam kisah Injil, tidak ada konfrontasi langsung antara Yesus dan otoritas Romawi. Sekalipun demikian, Yesus dieksekusi oleh otoritas Romawi, prefek Yudea, Pontius Pilatus dan pemuka agama karena dituduh sebagai subversif. Hal ini tidak berarti bahwa Yesus apolitis. Beberapa kisah dalam Injil mengisahkan kata-kata kritis Yesus kepada kekuatan politik. Salah satu contoh pengajaran politik Yesus ada dalam tanggapannya terhadap pertanyaan Yohanes dan Yakobus yang meminta untuk membagikan kuasa Yesus (Markus 10: 35-44).
Kita juga menemukan cerita ibu Yesus yang dapat membentuk identitas seorang revolusioner. Cerita tersebut sebagai inspirasi tanpa rasa takut menghadapi kekuatan yang menindas, seperti yang dilakukan oleh banyak wanita di Solentiname.[6] Maria adalah prototipe seorang ibu yang revolusioner yang bersedia berdiri dan dengan setia mendukung setia mendukung misi anaknya. Maria terlibat dalam proyek pembebasan, seperti para wanita di Solentiname yang berjuang untuk itu. Begitu pula dengan Yohanes Pembaptis yang menentang ketidakadilan dan tidak takut mati demi keyakinannya. Seperti Yohanes, Simeon adalah orang yang benar dan saleh, seorang yang beriman pada nubuat tentang Israel yang baru.
Cerita dalam Injil dapat memberikan kepada pengguna cerita untuk mengidentifikasi dan secara moral mengutuk musuh-musuh dan kondisi-kondisi objektif yang tidak berpihak pada yang lemah, miskin dan terpinggirkan. Contoh sikap Yesus terhadap sistem ekonomi pada masanya adalah kisah tentang seorang pria muda yang kaya raya (Markus 10: 17-27). Dari kisah tersebut terlihat jawaban Yesus tentang kehidupan kekal mengecewakan pria muda kaya raya tersebut. dalam kisah tersebut Yesus meminta si kaya untuk melakukan keadilan kepada si miskin. Pada zaman itu, orang kaya mendapatkan harta mereka melalui eksploitasi orang miskin. Bisa saja orang mendapatkan kekayaan dengan sah mereka secara hukum, namun demikian, sistem hukum, politik, dan ekonomi pada masa itu korup dan represif bagi orang miskin. Disini terlihat, ajaran yang Yesus berikan bukan sebatas ajaran rohani, tetapi juga memiliki implikasi politik dan ekonomi. Yesus tidak hanya menuntut orang kaya ini untuk menunjukkan kasihnya kepada orang miskin, tetapi untuk mengembalikan apa yang sebenarnya menjadi hak mereka. Kisah tersebut memperlihatkan kepedulian Yesus akan keadilan ekonomi.
Kisah-kisah perumpamaan dalam Alkitabpun dapat memberikan kepada kita landasan moral dan spiritual sebagai seorang revolusioner. Kisah mengenai kasihilah musuhmu dalam Lukas 6:27 –31, orang Samaria yang baik hati dalam Lukas 10:25 –37, orang-orang upahan di kebun anggur dalam Matius 20: 1–16 dan jalan yang benar dalam Matius 7:12-14, cerita-cerita tersebut menggambarkan seorang Kristen secara moral berkewajiban untuk hidup dengan aturan emas: lakukan kepada orang lain apa yang ingin mereka lakukan kepadaku dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Cinta kepada Allah, diri sendiri dan sesama tidak dapat dipisahkan. Dalam dunia sekarang, distribusi kekayaan yang tidak merata meniadakan aturan emas tersebut, meniadakan “kehidupan” dan menjadi aib bagi kerja-kerja manusia. Seorang Kristenpun secara moral berkewajiban untuk mengutuk dunia dunia yang didasari pada hak milik pribadi dan pola pengorganisasian kerja kemudian dapat terlibat dalam praksis politik dengan berbagai macam cara (mogok kerja, demonstrasi, menggagas partai politik alternatif bahkan pengambilalihan alat produksi demi menantang pembagian kelas di era kapitalisme). Selanjutanya adalah kisah mengenai mujizat. Dalam Alkitab bisa dibagi tiga kategori kisah mujizat: yang berkaitan dengan alam, penyembuhan, dan pengusiran setan. Mukjizat pada zaman itu bisa disebut sebagai sarana untuk melegitimasi otoritas Yesus dalam pelayanannya. Kisah-kisah tersebut menyaksikan bahwa pelayanan Yesus sangat peduli dengan aspek fisik manusia. Kisah-kisah mujizat tersebut dapat memberikan pesan sebagai revolusioner Kristen perlu berjuang melawan segala rintangan, mengatasi ketakutan, menghadapi kecemasan (Mat. 14:22-33) untuk mempertahakan keyakinan moral di hadapan penindasan dan penganiayaan hingga keyakinan akan datangnya hal-hal baik di tengah ketidakmungkinan (Luk. 5:1-11). Peristiwa mujizat merupakan bukti bahwa Yesus mengambil tindakan tegas melawan kuasa-kuasa yang berlawanan dengan visiNya di tengah dunia.[7] Cerita mujizat pula digunakan oleh gerakan di Solentinamen untuk melawan selubung ideologis yang mengaburkan semangat perjuangan. Hal itu terwujud dalam kesombongan, keegoisan, kebencian, keserakahan, pengabaian terhadap orang lain yang disebut sebagai gejala-gejala dirasuki roh jahat.[8]
Agama memang bersifat adaptif, sehingga seringkali agama berperan dalam menopang kekuatan yang ada. Oleh karena itu, dalam sejarah, sulit menemukan gereja sebagai institusi mengajak umat terlibat dalam gerakan-gerakan perlawanan. Namun, perlawanan juga hadir dari para pemuka agama sebagai intelektual organik (bisa disebut borjuis kecil), yaitu mereka yang telah melakukan bunuh diri kelas (istilah Almircar Cabral).
Cerita religius oleh para intelektual organik dapat digunakan untuk menegaskan rasa identitas yang kuat berdasarkan apa yang mereka anggap bernilai spiritual. Cerita religius dapat dipakai sebagai sarana reartikulasi ideologi. Dengan cerita yang memiliki dimensi subversif dapat memungkinkan pembaca/pendengar menilai batasan-batasan moral dan tidak bermoral, mendorong adanya perubahan radikal dalam sistem kehidupan hingga menemukan motif untuk bertindak. Ketika cerita religius berdimensi subversif dapat dipercaya, dapat menjadi batu loncatan pengguna cerita untuk menemukan landasan politik bersama, mengembangkan dan mempertahankan identitas kolektif hingga menjalankan agensi mereka sebagai aktor perubahan. Bercerita agama subversif dapat menjadi cara yang signifikan untuk mendramatisir ketidakadilan, memahami apa yang terjadi dalam situasi sosial hingga membentuk identitas kolektif. Cerita-cerita di Alkitab dapat menjadi pembelajaran bahwa kita harus berjuang untuk keadilan, melawan kekuatan-kekuatan destruktif (kapitalisme) dan jangan lupa, perlawanan adalah perjalanan historis awal kekristenan. (indoprogress)
Yohanes Tampubolon aktif di Jaringan Pemuda Kristen Hijau, Alumni Institut Injil Indonesia
—————-
[1]Fransesca Polletta, It Was Like a Fever: Storytelling in Protest and Politics (Chicago: University of Chicago Press, 2006), 3.
[2]Christian Smith, Moral, Believing Animals: Human Personhood and Culture (New York: Oxford University Press, 2003), 78.
[3]Patricia Ewick dan Susan S. Silbey, “Subversive Stories and Hegemonic Tales: Toward a Sociology of Narrative”. Law & Society Review. Vol. 29 No. 2, 1995.
[4]Roland Boer, Lenin, Religion and Theology (New York: Palgrave Macmillan, 2013), 31.
[5]Peterson, “Religious narratives and political protest”. Journal of the American Academy of Religion. Vol. 64 No. 1, 2016, 28.
[6]Ernesto Cardenal, The Gospel in Solentiname (New York: Orbis Books, 2010), 28.
[7]R. T. France, Yesus Sang Radikal (Jakarta: bpk Gunung Mulia, 2004), 71.
[8]Ernesto Cardenal, The Gospel in Solentiname (New York: Orbis Books, 2010), 193.