Diakonia.id – Entah kenapa, mendengar ceramah Ustaz Abdul Somad yang viral membahas tentang salib, saya yang seagama dengan dia justru merasa malu sendiri.
Penjelasan tentang salib oleh orang yang dianggap ustaz sekelas Somad yang pendidikan agamanya mencapai S2, ternyata sekelas dukun yang mengkambinghitamkan jin yang tak ada wujudnya. Sama sekali tidak ada penjelasan logis dan universal untuk menjelaskan kepada jamaah yang awam.
Dan tanpa rasa malu, Somad merasa tidak bersalah.
Ia merasa hanya menyampaikan ajaran dalam agamanya saja. Sebuah kesombongan yang hakiki. Bahkan untuk merendah saja ia sulit. Sekadar meminta maaf saja ia gagap. Padahal, ia sedang memegang keilmuan sebuah ajaran yang katanya rahmat bagi semesta alam.
UU penistaan agama selama ini hanya dipakai sebagai senjata bagi mereka yang punya kepentingan dan merasa berkuasa. Bukan sebagai jalan untuk mencari keadilan seperti yang diinginkan.
Dan saya tambah malu ketika Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) melarang kasus ini untuk dilaporkan ke polisi.
Mereka malah membahas tentang tidak efektifnya UU penistaan agama, yang membawa banyak korban tak bersalah. Mulai Ahok sampai Meiliana harus menerima akibat dari sebab yang tidak mereka perbuat. Mereka dipenjara karena tekanan massa dan pembentukan opini yang kejam.
UU penistaan agama selama ini hanya dipakai sebagai senjata bagi mereka yang punya kepentingan dan merasa berkuasa. Bukan sebagai jalan untuk mencari keadilan seperti yang diinginkan.
PGI sebenarnya sedang menabok umat “Rahmatan lil Alamin” dengan konsep “Kasih”. Sedang menabok anggota DPR yang membuat UU dengan protes tanpa suara berlebih. Mereka ingin peristiwa ini menjadi pelajaran banyak pihak bahwa ada masalah dalam sistem hukum kita yang katanya menjadi “panglima”.
Tapi apakah mereka yang ditabok akan merasa?
Jelas tidak. Kesombongan sedang menutup mata dan hati mereka. Merasa benar dan besar, sehingga tanpa sadar tersesat dari apa yang diajarkan Rasulnya. Hafal kitab tapi tidak pernah mengkaji isinya. Jangan tanya tentang “makna” setiap ayat, mereka tidak akan pernah paham apa yang disampaikan di dalamnya.
Saya jadi teringat perkataan Ali bin Abu Thalib (semoga Allah memuliakan wajahnya). Bahwa, “Periwayat ilmu banyak, tetapi yang memahaminya sedikit.” Itulah yang terjadi dalam ruang agama kita sekarang ini.
Jujur, seharusnya umat Islam di Indonesia harus belajar banyak dari umat Kristen di sini.
Bagaimana cara mereka menahan diri supaya masalah tidak melebar ke sana kemari. Bagaimana cara mereka tetap tersenyum saat ditindas dan dizalimi. Bagi mereka, keimanan tidak perlu diakui, tetapi dipelajari supaya mereka tidak tersesat dalam ajaran sendiri.
Itulah yang mereka sebut “menanggung salib” atau menanggung beban sekuat apapun yang terjadi. Karena bagi mereka, semua ujian adalah kenikmatan. Tanpa ada ujian, bagaimana bisa keimanan menguat?
Salam hormat buat umat Kristen dimana saja kalian berada.
Terimalah rasa malu saya sebagai umat beragama dengan ahlak yang terendah. Sesungguhnya, berada dalam lingkup mayoritas itu juga bukan hal yang menyenangkan.
Karena kesombongan, itulah sesungguhnya ujian yang terberat.
Salam seruput kopi.
*)Penulis: Denny Siregar (Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi)