Diakonia.id – Pada akhir 1990-an, kardinal John O’Connor asal New York mengusulkan seorang perempuan yang pernah aborsi, menikah dua kali, dan sempat jadi tahanan untuk jadi santa. Perempuan itu adalah Dorothy Day, pendiri gerakan buruh Catholic Worker Movement.
Ada pejabat gereja Katolik yang bilang dia liberal. Ada pula yang menyebutnya anarkis. Tapi O’Connor tidak peduli dengan klaim-klaim yang memojokkan Day. Baginya, siapapun layak jadi orang kudus bila ia telah terbukti melakukan hal berfaedah bagi kesejahteraan manusia.
Day baru menjadi penganut katolik saat berusia 30 tahun. Ia bukan orang yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang saleh. Orangtua Day berasal dari kalangan kelas menengah Brooklyn, New York. Ayah dan kakaknya berprofesi sebagai jurnalis, sampai-sampai Day ingin mengikuti jejak mereka. Sayanya, sang ayah beranggapan perempuan tidak sepantasnya bekerja, apalagi bekerja sebagai jurnalis.
Day tentu tidak peduli dengan perkataan sang ayah. Menurut Brianna Leavitt dalam “Peace Profile: Dorothy Day” (2007) Dorothy memutuskan berhenti kuliah karena merasa hidupnya akan lebih bermanfaat bila terlibat dalam berbagai aktivitas sosial untuk kaum papa. Ia pun berpikir akan lebih bermanfaat bila dirinya terus menggali ketertarikan dalam menulis berita.
Day pun melamar ke beberapa surat kabar sayap kiri, diantaranya The Liberator, The Masses, The Call, dan mengikuti berbagai diskusi yang dihadiri kaum sosialis. Day semangat mengikuti aksi massa, meski sempat masuk penjara karenanya. Pada usia 18, ia ditahan selama 30 hari karena ikut aksi demonstrasi menuntut peningkatan upah pekerja perempuan.
Day tentu tidak kapok. Ia makin gencar terlibat dalam forum-forum anti-kapitalis, mempromosikan keadilan sosial, dan bergaul dengan orang-orang berlatar kelas pekerja imigran. Ia sengaja tinggal di Greenwich Village agar bisa dekat dengan kalangan intelektual muda. Di sana ia melihat Kristen sebagai agama yang fokus pada keselamatan orang-orang lemah dan perjuangan keadilan sosial.
Perjalanan Menuju Catholic Worker Movement
Kehidupan Day tak melulu diisi oleh protes. Kedekatan dengan kaum intelektual di usianya yang masih muda, juga menghasilkan perjalanan cinta yang cukup berliku.
Pada usia belasan tahun, ia terpana dengan seorang jurnalis beken bernama Lionel Moise yang menyandang predikat sebagai “pria tampan dan populer”. Day terpikat pada sang pria dan akhirnya berpacaran hingga hamil. Day memutuskan untuk menggugurkan kandungan karena takut ditinggal sang lelaki bila ketahuan hamil. Kelak Day mengutuk perbuataannya dan menolak mendukung praktik aborsi.
Akhirnya ia ditinggalkan juga oleh Moise. Beberapa waktu kemudian, Day berkencan dengan beberapa pria lain, termasuk Forester Batterham yang nantinya ia nikahi. Batterham mengajaknya tinggal di Raritan Bay, Staten Island, yang kelak menjadi tempat kontemplasi Di Raritan Bay pula Day menjadi pribadi yang saleh dan bertekad membaptis anaknya secara Katolik.
Pernikahan dengan Batterham tidak awet karena Day menyadari bahwa sang suami tidak akan pernah jadi orang yang saleh dan tak percaya komitmen pernikahan. Sebaliknya, Day ingin mendalami agama dan mencari cara agar bisa melakukan aktivasi sosial berlandaskan nilai-nilai Kristiani.
Masih menurut Leavitt, ketika mulai mendalami agama, Day justru ditinggalkan oleh kawan-kawan diskusi yang radikal. Ia dianggap pembelot. Di sisi lain, ia juga sulit diterima oleh orang-orang dari komunitas Katolik karena kedudukannya sebagai ibu tunggal.
Beruntung ia bertemu Peter Maurin, pria Katolik asal Perancis yang juga punya kesamaan visi dengan Day. Maurin dan Day lantas mendirikan Catholic Worker, media massa bulanan yang bertujuan menginformasikan berbagai gerakan sosial.
Awalnya oplah Catholic Worker hanya 2.500 eksemplar. Jumlahnya berkembang jadi 100.000 dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. Dalam setahun, Catholic Worker terbit sebanyak 10 kali.
Ide membuat media massa muncul pada awal 1930-an kala AS masih dilanda Depresi Besar. Kala itu, angka pengangguran saat itu membludak. Jumlah orang miskin kian banyak.
Catholic Worker tak hanya hadir sebagai koran, tapi juga organisasi. Melalui Catholic Worker, Maurin dan Day menawarkan program seperti makanan dan tempat tinggal gratis bagi kaum tunawisma. Setiap hari mereka memberi makan setidaknya seribuan orang. Lambat laun, Maurin punya ide untuk membuka lahan pertanian yang bisa dipakai untuk berkebun bersama.
“Tidak akan ada pengangguran di kebun dan orang bisa makan makanan hasil garapannya sendiri,” kata Kate Hennessy, cucu Day dan penulis Dorothy Day: The World Will be Saved by Beauty (2017) dalam wawancara dengan NPR.
Hennessy menilai ketertarikan orang terhadap Catholic Worker muncul karena pada masa itu belum ada gerakan serupa yang mengatasnamakan Katolisisme.
Seiring waktu, Catholic Worker tidak hanya eksis di New York. Di daerah lain muncul aktivis-aktivis katolik yang ingin mengadaptasi sistem Catholic Worker dengan menerbitkan media massa, membuka lahan, dan menyediakan rumah penampungan.
Bagi Day, Catholic Worker adalah rumah yang nyaman. Di sana ia bisa menyalurkan hasrat menulis dan pikiran-pikirannya terkait kesejahteraan sosial. Ia pun terang-terangan menyatakan prinsip anti-kekerasan yang didasari ajaran Katolik.
Salah satu contohnya tertera pada Catholic Worker edisi Mei 1936 . Di sana ia menulis bahwa komunitasnya tidak setuju dengan konsep perang antar kelas. Mereka juga dengan tegas memerangi keserakahan. “Perang kami tidak dengan darah tetapi dengan prinsip dan kekuatan kami. Kami juga tidak setuju dengan konsep imperialisme. Kami melawan segala bentuk persiapan perang.”
Contoh lain bisa dilihat pada Catholic Worker edisi Juni 1940. Day menulis:
“Daripada kita mempersiapkan diri untuk melatih orang-orang berperang dan mengirim orang untuk membantu berperang, kita seharusnya memproduksi makanan, menyiapkan obat-obatan dan tenaga kesehatan, untuk menyembuhkan dan membangun kembali dunia yang telah hancur”.
Selanjutnya Day menghimbau agar publik membaca kisah Nabi Hosea yang menunjukkan bahwa orang dihimbau untuk mencintai orang lain di luar bangsanya sendiri.
Pada dasarnya, Catholic Worker didukung oleh gereja dan Vatikan. Hanya saja pada saat Perang Dunia II terjadi, Catholic Worker sempat tidak mendukung Paus. Di mata Catholic Worker, saat itu Paus tidak melakukan upaya signifikan untuk mencegah dan mengakhiri perang.
Pencalonan Day sebagai santa memang masih wacana. Yang jelas Paus Fransiskus telah menempatkannya sebagai pelayan yang baik. Vatikan pun mengakui bahwa sosok Day layak jadi panutan. (tirto)