Suami korban, Fauzi mulanya menolak jenazah istrinya dimandikan nakes lelaki. Pihak nakes meminta Fauzi mencari orang lain.
Karena harus cepat diurus, pihak nakes memberi waktu satu-dua jam kepada Fauzi untuk mencari tenaga yang bisa memandikan jenazah. Tapi Fauzi tidak bisa menghadirkan orang tersebut.
Kemudian Fauzi menandatangani surat persetujuan, memberi izin jenazah istrinya dimandikan nakes. Prosesi pemandian dilakukan, setelah mendapat persetujuan dari suami almarhumah.
Namun belakangan, Fauzi kembali mempermasalahkan kenapa yang memandikan istrinya adalah nakes lelaki? Padahal sejak awal Fauzi sudah tahu, tidak ada nakes perempuan di bagian forensi RSUD tersebut.
Protes Fauzi makin menggema, setelah isu agama digoreng luar biasa. Terjadi demi di Pematang Siantar dengan dua tuntutan:
- Memecat Dirut RUSD.
- Penjarakan Nakes yang memandikan jenazah.
Dirut RSUD yang memang bukan definitif, langsung dipindahkan. Ia adalah staf Dinkes Pemkot. Sementara karena tekanan ke-4 Nakes tersebut langsung dijadikan tersangka. Penetapan ini didasarkan pada pendapat MUI Pematang Siantar.
Pasal yang dikenakan, penistaan agama!
Pihak nakes dan rekan sejawat berkali-kali mendatangi suami almarhumah untuk mengklarifikasi kasus ini. Mereka hanya menjalankan tugas sesuai (Prokes) protokol kesehatan. Mereka ingin melindungi keluarga almarhumah agar tidak tertular Covid-19.
Tapi Fauzi ngotot. Tetap meminta mereka dihukum. Kengototan Fauzi ditambah dengan desakan tokoh berpaham Radikal disana yang semakin membakar dengan isu agama. Suasana semakin panas. Seolah para nakes itu sengaja memandikan jenazah untuk melecehkan agama. Padahal itu adalah tugas mereka.
Dan tidak ada nakes cewek di bagian Forensik. Dari keempat nakes itu, 1 PNS. Dan 3 tenaga honorer. vPasal yang dikenakan dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara.
Tapi mereka gak ditahan. Alasan polisi, karena jasanya masih dibutuhkan. Gila. Orang yang jasanya masih dibutuhkan tapi dijerat dengan kriminalisasi begitu.
Semua orang juga tahu, suasana Covid-19 adalah kondisi darurat. Kita tidak bisa menggunakan logika normal. Mereka hanya petugas kesehatan. Bukan ahli agama yang tahu tata cara memandikan jenazah sesuai fiqh. Tapi mereka hanya jalani tugas. Gak ada secuilpun niatan menista agama.
Kasus ini terus bergulir karena desakan kelompok-kelompok yang berfikir Radikal. Kelompok yang selalu mempertentangkan semuanya dengan dalih agama.
Mereka diberi ruang oleh MUI daerah untuk berkiprah. Mestinya aparat keamanan tidak boleh kalah oleh tekanan seperti ini. Polanya selalu sama. Kita ingat kasus Ahok. Menggunakan massa juga untuk menekan hukum.
Kasus Ibu Meliana di Tanjung Balai, juga menggunakan massa. Sampai membakar rumah dan vihara. Kini masalah yang sama menimpa nakes di RSUD. Pola dan logikanya sama.
Agama jadi bahan tunggangan.
Kita harus lindungi nakes kita yang bekerja dan berkorban. Negara harus membebaskan nakes RSUD Pematang Siantar dari tuntutan. Kasus ini adalah manipulasi hukum dengan dalih dipaksakan. Penistaan agama adalah pendapat MUI.
Pendapat MUI bukanlah undang-undang.
Jika kasus ini terus berlanjut, Pemerintah harus menyiapkan pengacara terbaik untuk membebaskan nakes kita. Pemerintah melakukan keteledoran dengan membiarkan kasus ini berlanjut. Dosa mereka ini harus ditebus dengan upaya penyelamatan petugas medis yang dikriminalisasi itu.
Tim Satgas Covid-19 harus ikut bertanggung. Tenaga medis adalah garda terdepan perang melawan Covid-19. Jangan abaikan mereka. Jangan balas jasa mereka dengan memenjadakannya karena karena tekanan gerombolan gak jelas.
Aparat hukum jangan lagi gegabah menggunakan pasal penistaan agama. Jangan sampai pasal ini menjadi simbol penindasan mayoritas atau menjadi simbol persekusi kepada mereka yang dianggap tidak sesuai dengan tafsir agama.(arrahmahnews)