Diakonia.id – Pemerintah didorong menghentikan diskriminasi terhadap penganut dan kelompok beragama minoritas, terutama penerapan pasal penodaan agama yang berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) semata.
Sikap resmi pemerintah terhadap jaminan hak beragama dianggap penting di awal tahun 2020 karena kasus penodaan agama terus bermunculan di berbagai daerah.
Di sisi lain, MUI menilai fatwa sesat mereka sahih dan dapat digunakan dalam perkara yang mereka sebut ‘memicu intoleransi’.
Millah Mardiathi mengaku belum bisa melupakan bagaimana Fatwa MUI mempengaruhi tuduhan penodaan agama dan ujaran kebencian terhadap suaminya.
Alnoldy Bahari, suaminya Millah, pada November 2017 hingga pertengahan 2018, dipersoalkan karena unggahan di Facebook terkait syahadat dan Allah.
Walau belakangan Pengadilan Negeri Pandeglang menjatuhkan hukuman penjara selama lima tahun terhadap Alnoldy, bukan karena penistaan Islam tapi ujaran kebencian, fatwa MUI disebut Millah berdampak besar pada kehidupan keluarga mereka.
Alnoldy dan Millah dianggap menjalankan ajaran yang menyimpang, kata MUI Pandeglang kala itu. Dampaknya, kata dia, mereka dipersekusi dan diintimidasi masyarakat.
Fatwa itu menurut Millah, berat sebelah karena para ulama di lembaga itu disebutnya tidak pernah meminta keterangan dari mereka.
“Kalau berniat baik, setidaknya mereka panggil kami untuk mendengar cerita dari dua sisi, tapi tidak seperti itu,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.
“Di fatwa itu suami saya dinyatakan murtad, artinya secara syariat suami saya harus pindah agama, tidak harus pidana. Tapi itu tidak berlaku untuk suami saya.”
“Itu berdampak pada semuanya. Rumah kami dirusak, harta benda dan nama baik sudah tidak ada, mata pencaharian juga tidak punya.”
“Darah kami halal, apalagi barang-barang kami. Yang tersisa tinggal nyawa saja,” kata Millah.
Kasus Alnoldy sudah bergulir hingga tahap kasasi. Meski sempat diturunkan, Mahkamah Agung mengembalikan hukuman lima tahun penjara untuknya.
Menurut riset lembaga pemantau HAM, Setara Institute, kasus penistaan agama melonjak drastis usai 1998.
Sejumlah orang dilaporkan ke polisi dengan tuduhan melakukan kejahatan pasal 156a KUHP itu.
Salah satu di antaranya, warga Palopo, Sulawesi Tenggara bernama Eka Trisusanti Toding, yang dihukum lima bulan atas tuduhan menista agama Islam.
Pratiwi Febry, pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, menyebut polisi, jaksa dan hakim kerap menggunakan fatwa sesat yang diterbitkan MUI, walau secara teori dokumen itu tak mempunyai kekuatan hukum.
Tak hanya itu, kata Pratiwi, fatwa sesat di sejumlah kasus penodaan agama baru terbit setelah proses hukum bergulir.
Fakta itu disebutnya bertentangan dengan logika hukum bahwa undang-undang harus lebih dulu ada ketimbang perbutan melawan hukum.
“Menjadikan fatwa MUI sebagai rujukan merupakan bentuk kekacauan hukum dan favoritisme negara terhadap suatu ormas keagamaan tertentu,” ujar Pratiwi.
“MUI mengakui bahwa ada fatwa untuk menyatakan sesuatu itu salah, ada juga fatwa pesanan.”
“Pesanan seperti dalam kasus penodaan agama, yang jaksa meminta. Ini semacam penundukan diri negara pada regulasi yang dibuat ormas,” tuturnya.
Namun seluruh tudingan terhadap fatwa yang memicu diskriminasi dan persekusi kelompok minoritas dianggap berlebihan oleh pimpinan MUI, Muhyiddin Junaidi.
Muhyiddin berkata, fatwa terhadap suatu kelompok atau individu, baik yang disebutnya menyimpang hingga sesat, diputuskan melalui kajian dan pertimbangan mendalam.
“Sebetulnya merekalah yang intoleran kepada umat Islam, terutama karena melabeli MUI sebagai pendorong kasus intoleran,” kata Muhyiddin.
“Ada pihak yang meminta fatwa, dari masalah agama, sosial, budaya, politik, akidah, dan sebagainya. Pertanyaan itu kami bawa ke Komisi Fatwa dan dibahas bersama Komisi Kajian.”
“Tidak diputuskan seseorang yang menyatakan ini haram, halal, toleran atau tidak toleran. Kami lakukan kajian yang merujuk ke berbagai sumber dan narasumber yang bisa dipercaya,” ujarnya.
Indeks Kerukunan Umat Beragama yang diterbitkan Kementerian Agama menyebut Indonesia meriah skor 73,83 pada tahun 2019.
Angka itu masuk kategori tinggi.
Meski begitu, koalisi masyarakat sipil yang antara lain terdiri dari Gusdurian, LBH Jakarta, dan Pusad Paramadina, menilai skor itu tidak menghitung konflik agama yang sudah dan masih terjadi di akar rumput. (BBC)