“Di gereja, para politikus, para pengusaha, pengacara atau siapa pun, jangan cuma dicekoki soal surga. Ini cara beribadah yang salah.”
Diakonia.id – Gerakan Karismatik yang masuk ke Indonesia membuat kultur baru dengan hadirnya megachurch alias gereja raksasa. Pendekatannya yang dinamis dalam beribadah dan menyuguhkan unsur hiburan di panggung gereja telah memikat banyak anak muda.
Wujudnya adalah ibadah yang dihadiri oleh ribuan orang di tempat-tempat tak terduga. Di gedung bioskop, aula pertemuan, hingga di pusat perbelanjaan. Megachurch secara aktif menjemput orang-orang Kristen agar mau bergereja bersama mereka.
Meski demikian, perkembangan megachurch di Indonesia bukan tanpa sisi negatif. Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Teologi Bethel Indonesia Junifrius Gultom mengatakan bentuk gereja yang begitu cair kerap memunculkan dilema, terutama terkait dengan ajaran. Belum lagi relasi gereja, pendeta, dan bisnis yang nyaris tidak ada batas tegas di antaranya.
“Maka, kita perhatikan bahwa banyak orang Kristen ini begitu saleh di gereja tapi di luar sana adalah bandit-bandit ekonomi. Mereka melakukan ketidakadilan. Mereka membayar upah secara tidak manusiawi, lalu menghalalkan segala cara mengurus izin dengan menyuap,” kata Gultom kepada saya, pertengahan Juli lalu.
Berikut wawancara utuhnya.
Apa sebenarnya gerakan Karismatik? Kapan masuk ke Indonesia?
Harus dibedakan antara Gereja Karismatik dan Pentakosta (sering disebut juga Pantekosta). Karismatik adalah neo-Pentakostal. Sementara Pentakostal sendiri, sejarahnya, masuk ke Indonesia pada 1921 oleh dua misonaris dari Seattle, kota di negara bagian Washington, Amerika Serikat. Mereka semula ke Bali. Pemerintah Belanda mengusir mereka dari Bali karena ingin menjaga kemurnian Bali sebagai Hindu. Keluar dari sana, mereka ke Jawa Timur, bikin sekolah Alkitab Surabaya. Mulailah perkembangan Pentakosta.
Di dunia, sejarah Pentakosta dimulai di Los Angeles, di Azusa Street, tahun 1906 oleh William Seymour. Berkembang dan di tengah jalan banyak perpecahan. Sekarang aliran Pentakosta sudah cukup besar, bahkan salah satu sinode cukup terbesar adalah Gereja Bethel Indonesia (GBI), terbesar kedua setelah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Umatnya ada yang klaim sekitar 3 juta. Kalau Karismatik sendiri muncul tahun 1980-an.
Jadi, secara sederhana, era Pentakosta klasik antara 1921 dan 1960. Karismatik mulai tahun 1970-an atau 1980-an.
Ada banyak perbedaan antara Neo-Pentakostal atau Karismatik dan Pentakosta. Semua gereja-gereja Pentakosta pastilah Karismatik, tapi Karismatik belum tentu Pentakosta. Karena Karismatik lebih pada movement, karena itu muncul di Katolik.
Nah, fenomena memakai tempat-tempat ibadah seperti di ruko, di mal, hotel, muncul dari gerakan Karismatik. Karismatik tidak mensakralkan tempat. Bagi Karismatik, gereja itu bukan gedungnya, tapi tempat kehadiran Tuhan dan orangnya.
Itu kenapa GBI dan HKBP sering ribut-ribut rebutan umat?
Sekarang sudah enggak, sudah cukup baik kerja sama karena kami juga anggota Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI). Sebenarnya ini tidak terhindarkan. Memang banyak umat dari gereja-gereja tradisional kayak HKBP, Gereja Kristen Jawa (GKJ), Gereja Kristen Indonesia (GKI) dan segala macam. Mainland churches ini—gereja arus utama ini—mungkin merasa format ibadah, liturgi dan dogmanya, kurang bisa menyapa anak-anak muda. Kemudian mereka, anak-anak muda ini, “jajan” di gereja Karismatik dan somehow mengalami lawatan Tuhan. Khotbahnya cocok dengan mereka dan sangat relevan sehingga mereka sangat nyaman ke Karismatik. Walaupun bukan tanpa kelemahan dan catatan-catatan, ya.
Soal ibadah di gedung itu bukan karena masalah perizinan yang sulit di Indonesia?
Itu salah satu faktor. Di lain sisi, pemahaman spirit bergerejanya sudah berbeda, plus makin tambah bergelora karena susahnya izin gereja. Terus ada lagi pertimbangan lain, terutama di perkotaan, tempat ibadah di mall itu dirasa lebih relevan dengan urban cosmo people. Dan faktor lain: lebih terjangkau ketika di pusat keramaian ketimbang membangun gereja di lokasi tertentu. Kecuali pendetanya punya visi kuat sehingga begitu attracked mau gereja di mana pun didatangi begitu. Ada orang yang merasakan atmosfer yang terintregrasi orang belanja dan Kebaktian.
Kalau akarnya dari mana? Apakah Calvin, Luther, atau Zwingli?
Sama sekali bukan. Ibu sejarah dari Karismatik itu ada di LA. Memang kalau gerakan ini ditarik ke atas, payung besarnya Reformasi Luther. Tapi itu terlalu jauh. Sebab reformasi ini lebih tepat dengan gereja arus utama dan kesukuan, lebih punya pengalaman emosional sejarah. Kalau kita murni dari Wiliam Seymour.
Kalau ditarik itu sebenarnya lebih ke gerakan Pietisme John Wesley di Eropa. Kalau itu bolehlah untuk tarikan yang sedikit ke atas. Orang bisa bilang ada sumbangsih sejarah Pietisme di Eropa, lalu gerakan Revivalis.
Jadi, kiblatnya tetap Amerika?
Iya.
Bukan Korea? Saya lihat sekarang banyak Korea bikin sekolah penginjilan?
Pertumbuhan gereja di Korea memang cukup pesat.
Bagaimana gereja Karismatik bisa tumbuh pesat jadi megachurch? Misalnya saya lihat Christ Catedral dibikin 2008, sekarang jemaatnya sudah banyak banget.
Bukan cuma itu. Ada banyak yang lain. Ada di Pantai Indah Kapuk, Central Park. Memang perkembangan Karismatik yang begitu ribuan dan pesat itu mendunia. Jadi, sekarang gereja-gereja arus utama di Eropa dan Amerika mengalami penurunan yang signifikan. Itu dialami kelompok Presbiterian, Luhteran, Baptis. Justru Karismatik mengalami booming.
Sekarang ini ada isu global Pentakostalisme di mana Karismatik sangat signifikan pertumbuhannya. Amerika Latin, Amerika Utara, kemudian Asia, Afrika. Sekarang kita tentu harus melihat dari pelbagai sudut pandang. Tentu secara teologis sebagai Kebangkitan Kedaulatan Allah. Roh yang bekerja. Tapi, dari aspek sosiologis, kita bisa membedahnya dan tergantung wilayahnya.
Misalnya, di Afrika lebih blended dengan agama rakyatnya yang nge-Roh atau spiritisme. Faktor lain adalah Kekristenan yang dinamis, merasa ada satu cara penghayatan berbeda dari tradisi biasanya.
Dan juga ada aspek entertaining. Panggung gereja yang bersifat entartaining, kotbah motivasional, musiknya sedemikian rupa, lighting-nya segala macam. Gereja-gereja seperti itu menjangkau anak-anak urban.
Belum lagi anak-anak muda menyukai Praise and Worship. Penyembahan sangat kontemporer ketimbang bersifat liturgis dan formal.
Tetapi, dalam konteks lain, misalnya di Korea bisa tumbuh pesat karena penderitaan. Pada 1950, mereka susah. Perang Saudara membuat mereka menangis. Datang kepada Tuhan. Berdoa berjam-jam. Mereka merindukan keterlepasan dari masalah. Sehingga pada waktu itu terjadi Kebangkitan Rohani.
Dan, memang, di negara-negara yang ada kesusahan dan kemiskinan, Karismatik berkembang sangat pesat.
Termasuk di Indonesia?
Iya. Karena membawa teologi kemakmuran, prosperity theology. Itu somehow agak menggoda. Artinya, ada pengharapan dalam Tuhan, walaupun bukan tanpa catatan.
Berdasarkan pengalaman saya datang beberapa kali ke gereja Karismatik, kebanyakan khotbahnya seputar bagaimana menjadi orang sukses karena hidup sukses itu adalah hidup yang diberkati oleh Tuhan. Itu bagaimana?
Iya. How to. How to. Memang pesan-pesannya sangat sederhana. Dan mereka tidak mau ribet dengan dogma. Tapi itu juga tantangan karena banyak orang di perkotaan yang tidak mau dimuridkan dengan baik. Mereka hanya ingin hadir di gereja hanya untuk mengobati rasa bersalah. Kalau tidak ke gereja nanti Tuhan hukum, misalnya.
Sebagai seorang rohaniawan, saya mengakui dalam situasi seperti itu bukan berarti Tuhan melupakan mereka. Pada kenyataannya, banyak dari mereka datang cuma untuk entertaining, untuk melihat panggung seperti itu tapi akhirnya melihat bagaimana Roh melawat mereka. Dan hidup mereka berubah dan mereka menjadi mengasihi Tuhan dan mengasihi keluarga dan mengasihi sesama.
Yang menjadi semacam pemandangan Karismatik di perkotaan adalah masyarakat yang paling responsif terhadap Injil adalah orang-orang Tionghoa.
Itu salah satu yang menjadi sumber dari uang gereja?
Iya. Apalagi ditekankan membayar perpuluhan. Nah, ada yang merasa itu adalah keikhlasan mereka mempersembahkan apa yang mereka lakukan bagi Tuhan melalui gereja, sehingga bukan menjadi sesuatu paksaan.
Tetapi, yang menjadi problem adalah—walaupun saya enggak punya data—seharusnya bila gereja sudah punya jemaat cukup banyak dan kaya, harusnya jejak-jejak intervensi sosialnya didengar dan dilihat. Tapi ini kan enggak.
Seringkali kalau ditanya, ‘Eh hebat ya gereja itu?’ Hebat apanya? Praise and Worship-nya, musiknya, khotbahnya, gerejanya, kecanggihannya. Tapi enggak pernah bilang gereja ini melakukan transformasi masyakarat.
Walaupun secara sporadis ada gereja-gereja Bethel yang melakukan kebajikan sosial. Misalnya, GBI di Serpong mendapat penghargaan dari pemerintah daerah setempat karena berperan dalam mengentaskan kemiskinan kota. Bedah rumah. Bikin rumah sakit murah untuk semua. Memungut semua orang gila di kota lalu dimanusiakan.
Tentu, idealnya, gereja Karismatik yang diberkati finansial seperti itu harus lebih banyak do something for society.
Soal gereja yang tidak mau ribet dengan dogma, sepengalaman saya, ada perbedaan antar-gereja raksasa dalam isi khotbah. Misalnya, ada yang menawarkan mukjizat dan kesembuhan, tapi ada juga gereja lain yang menekankan kemakmuran. Kenapa begitu padahal sama-sama Karismatik?
Harus diakui saking banyak varian di gereja Karismatik, ditengarai belum ada sistem yang ter-set. Beda dengan gereja arus utama yang sudah terset sistemnya. Sekolah teologinya sudah jelas, dogmanya juga harus begini dan segala macam.
Tapi, gereja Karismatik itu bergantung pada figur, yang mengklaim mendapatkan visi dari Tuhan, diaplikasikan dalam kehidupan bergereja, cara dia bergereja, cara dia mengajar. Akhirnya, punya pengikut. Sehingga ada banyak keragaman dari ajaran-ajaran itu. Walaupun ada sinodenya, tapi sinodenya ada dalam posisi dilematis untuk mendisiplinkan.
Bagaimana strukturnya? Misalnya GBI Glow pimpinan Pastor Garren Lumoindong, bagian dari GBI tapi punya cabang gereja di mana-mana.
GBI itu denominasi, kantor pusatnya di Cempaka Putih. Tapi, ada GBI Mawar Sharon, GBI Glow, GBI lain-lain, dan mereka membuka cabang-cabang. Ada yang menyebutnya gereja satelit. Ada yang menyebutnya gereja mitra. Macam-macam. Tapi, semua itu tetap menginduk pada GBI pusat. Cuma dalam organisasi sehari-hari, mereka menginduk kepada GBI Glow, misalnya.
Jadi strukturnya lebih cair karena bisa bikin gereja di mana-mana?
Itulah keunikan dari Pentakosta dan Karismatik. Cara bergerejanya begitu.
Soal dogma lagi, saya menandai ada khotbah “tolak pisau operasi” yang diucapkan berkali-kali ketika datang ke Gereja Tiberias Indonesia pimpinan Pendeta Yesaya Pariadji. Sama dengan seruan dari kelompok konservatif yang menolak vaksin.
Ini memang enggak benar secara dogma. Tapi, kembali lagi, salah satu kelemahan gereja Karismatik adalah seringkali tidak memiliki payung organisasi sehingga suka-suka tokoh itu omong apa. Tetapi jadi problem, membuat sinode menjadi dilema.
Ada ruang kebebasan tapi pada saat yang sama, semula diniatkan untuk mengoreksi tapi malah kebablasan menjadi ekstrem yang lain. Tetapi kalau kita mulai mengatur, enggak boleh begini, enggak boleh begitu, itu sudah kembali lagi ke spirit yang lama.
Memang, pendeta-pendeta Karismatik terlalu berani mengajar dengan sangat berisiko tinggi dan berasal dari Tuhan. Itu karena dia tidak belajar teologi yang baik. Dia tidak punya track record.
Saya pun sebagai orang Pentakosta yang menghargai pengalaman, kebebasan, narasi perjumpaan—itu adalah bahasa-bahasa Pentakosta-Karismatik—justru saya sebagai pengajar mata kuliah Pentakotalisme di kampus, saya selalu mengatakan: jangan sampai membunuh identitas kita.
Kita memang terkenal dengan daya lentur sangat luas dalam berteologi, tapi bukan berarti kita enggak punya semacam protokol pelayanan Roh. Klaim mengenai pengalaman, kita tidak bisa lepas dari pakem-pakem Kekristenan.
Saya enggak terlalu pusing dengan ekspresi masing-masing gereja, tapi alat cek berikutnya: apakah makin memuliakan Kristus atau tidak? Karena Roh itu datang untuk memuliakan Kristus. Kalau Roh itu datang makin mengultuskan pendetanya, itu pasti bukan dari Roh Kudus.
Protokol selanjutnya adalah setiap kita berbicara tentang Roh, bukan ekspresinya. Pertanyaannya; You enggak usah peduli dia mau perjamuan sehari sepuluh kali, kek, bahasa lidahnya kelihatan palsu, tapi lihat buahnya. Kalau jemaat itu makin menghasihi Tuhan-Allah, makin mengasihi sesamanya, tidak korupsi lagi, tidak rasis, makin punya belas kasih, siapa kita bisa menghakimi itu bukan dari Tuhan?
Protokol itu, misalnya, apakah spirit yang diklaim itu membawa perpecahan atau kesatuan? Kalau ada yang melayani tapi spiritnya justru membuat kegaduhan dan perpecahan, pasti itu bukan dari Tuhan. Karena Tuhan mengasihi kesatuan.
Menarik tadi Anda singgung soal korupsi. Saya ingat Billy Sindoro, gembala sidang Gereja Christ Catedral, bagian dari Gereja Bethel Indonesia Basilea, yang ditangkap KPK. Fenomena kedekatan pengusaha dengan gereja yang sulit dipisahkan lagi, pendeta terlibat dalam bisnis, hal ini bagaimana?
Salah satu kelemahan dari gereja Pentakosta-Karismatik hanya terlalu menekan pada personal sin. Bagi dia dosa itu hanya soal esek-esek, judi, minum, dan lainnya. Tapi lupa social sin.
Jarang sekali bicara soal ketamakan. Jarang soal penebangan hutan. Dianggap tidak dosa. Sehingga mereka mengatakan Tuhan itu urusan di gereja. Kalau saya di sini, Tuhan nothing to do with my business. Itu, kan, keliru.
Harusnya dia melihat Allah itu di seluruh dunia dan Allah itu menghendaki keadilan. Maka, kita perhatikan banyak orang Kristen begitu saleh di gereja, tapi di luar adalah bandit-bandit ekonomi. Mereka melakukan ketidakadilan. Mereka membayar upah secara tidak manusiawi, lalu menghalalkan segala cara mengurus izin dengan menyuap. Suap itu mereka pikir tidak ada urusan dengan Tuhan.
Itulah mengapa saya pernah mengatakan: Di gereja, para politikus, para pengusaha, pengacara atau siapa pun, jangan cuma dicekoki soal surga, surga, akhir zaman, surga. Menganggap dunia itu enggak penting. Yang penting saya sama Tuhan. Itu cara beribadah yang salah.
Roma pasal 12 berkata ‘Persembahkan hidupmu sebagai persembahan yang kudus.’ Itu berarti diri kita adalah ibadah, di mana pun kita berada.
Faktor kedua adalah persoalan gereja yang serius. Kalau di Pentakosta, pendetanya ditangkap polisi, bubarlah jemaat. Ini karena model mereka berjemaat tidak punya ikatan emosional dengan gembalanya, tapi lebih pada profesi. Sehingga yang penting dari penyelenggara gereja raksasa ada pengkhotbah yang dianggap baik, ada artis yang bagus, musiknya bagus. Ia tidak peduli lagi siapa bapak rohaninya dan bagaimana kelakuannya. Yang penting saya bisa datang dengan nyaman ke gereja.
Bagaimana dalam pengelolaan uang gereja?
Memang tidak ada metode tunggal di Gereja Bethel Indonesia. Setahu saya, di perkotaan sudah cukup bagus.
Saya mendengar kritik-kritik soal pendeta matre. Saya agak membela Karismatik dalam hal ini. Pertama, ada orang tidak tahu bahwa di Karismatik, kalangan profesional bisa ditahbiskan menjadi pendeta. Jadi banyak teman-teman saya yang menjadi pendeta sudah kaya sebelum dia menjadi pendeta.
Positifnya, mereka tidak cari uang lagi di gereja. Yang ada dia keluar uang untuk gereja, dia kontrak ruko, semua gaji dia yang bayar, tidak ambil persembahan. Lalu mereka sudah terbiasa di dunia sekuler soal manajemen. Strategi pemasaran bisa dipakai di gereja sehingga manajemen gereja jadi bagus.
Problemnya, mereka seringkali tidak punya ilmu tentang bergereja dengan teologi yang benar. Jadi memperlakukan gereja seperti layaknya memperlakukan perusahaan.
Cara mereka bergereja seringkali pragmatis. Tidak peduli soal proses. Yang penting itu manjur. Tanpa sekolah teologi, saya bisa besarkan gereja. Pragmatis sekali.
Tanpa harus mendikotomikannya, kita melihat ada problem. Itulah sebabnya pemerhati gereja seperti saya, yang lahir di tengah gerakan ini, pendidikan saya dari Protestan, harus lebih banyak berani bicara tanpa harus membunuh DNA Karismatik. Harus selalu otokritik. Karena saya cukup sensitif dengan klaim kami paling Alkitabiah, paling setia dengan Alkitab, tapi di sisi lain diam saja atas problem tersebut. [tirto]