Diakonia.id – Pagar teralis berornamen bintang daud mengelilingi bangunan yang punya bentuk tak umum itu. Bangunan itu berbentuk segi enam dengan atap genteng yang menutupi seluruh sisi terluarnya.
Persis di atas pintu berkelir biru muda terpampang sebuah plang yang memuat informasi dalam aksara latin dan ibrani. Tulisannya: Shaar Hashamayim Synagogue.
Itu adalah sinagoge berukuran 8 kali 16 meter di Kelurahan Wawalintouan, Kecamatan Tondano Barat, Minahasa, Sulawesi Utara. Ia menjadi pusat peribadatan penganut Yahudi di Sulawesi Utara. Jaraknya sekitar 35 kilometer dari Manado, ibu kota Sulawesi Utara.
Sabtu jelang siang, bangunan itu terlihat sepi. Padahal saat itu momen Sabat, ibadah rutin–dimaknai sebagai hari rehat–bagi penganut Yudaisme yang jatuh saban Sabtu.
Beberapa tetangga sinagoge menyebut kami kesiangan. Konon, sekitar pukul 09.00, ada aktivitas kebaktian di sinagoge. Hari itu kami punya janji mengobrol dengan Manuel Sadonda, seorang penganut Yahudi di Sulawesi Utara.
Nuel, sapaan Manuel Sadonda, baru bisa menemui kami dua hari kemudian. Itupun bukan di sinagoge. Nuel pilih ketemu di Rumah Kopi Billy, kawasan Megamas Manado.
Belakangan, kata Nuel, penganut Yahudi di Sulawesi Utara menghindari publikasi media lantaran tak ingin aktivitas keagamaan mereka jadi sorotan.
“Saya sempat menelepon Rabi. Akhirnya, dia izinkan untuk wawancara dengan Anda,” kata Nuel.
Pria yang berprofesi sebagai karyawan swasta itu baru menjadi penganut Yahudi pada 2013. Sebelumnya, ia memeluk Kristen Protestan. Pertemuannya dengan Rabi Yaakov Baruch telah mengubah orientasi religinya.
“Tidak mudah bagi saya memeluk Yahudi, lantaran harus belajar bahasa Ibrani juga. Kalau sekarang sudah cukup mahir,” ujar Nuel.
Ia mengaku terpesona dengan ajaran Yahudi tentang menghargai sesama. “Ada ajaran Yahudi yang membuat bisa bertahan sampai sekarang, yaitu saling menghargai sesama pemeluk agama dan suku yang berbeda,” katanya.
Lima tahun terakhir, tiap Sabat, Nuel selalu beribadah di Shaar Hashamayim Synagogue.
Selain ibadah, ia juga kebagian tugas membuka sinagoge. Pasalnya, sinagoge itu kerap didatangi pemeluk Yahudi dari negara lain yang kebetulan sedang melawat ke Manado–atau wilayah lain di Indonesia. Mereka datang dari pelbagai negara, seperti Australia, Jerman, Amerika, dan Belanda.
“Mereka sebenarnya datang ke sini bukan untuk urusan ibadah, tapi karena hari Sabat, mereka cari tempat ibadah,” ujar Nuel.
Saat ini, ada 33 kepala keluarga di wilayah Sulawesi Utara yang jadi jemaah Shaar Hashamayim Synagogue.
Meski demikian, angka persis penganut Yahudi di Sulawesi Utara sulit ditaksir. Provinsi itu memang punya jejak keturunan Yahudi, sehingga besar kemungkinan banyak pemeluk ajaran Yudaisme di sana.
Namun, data kependudukan belum mengakomodir agama ini. Penganut Yahudi di Sulawesi Utara, masih menulis agama Kristen atau Islam di Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Nuel pun masih menulis Kristen Protestan pada kolom agama di KTP-nya. “Kalau sudah memungkinkan, pasti saya tulis Yahudi. Tapi karena saat pengurusan KTP belum bisa, jadi masih tulis Kristen Protestan,” ujarnya.
Hidup berdampingan
Nuel berkisah, pada masa silam sempat ada sinagoge yang berdiri di Manado. Lokasinya ada di wilayah yang kini dikenal sebagai area wisata kuliner, Jalan Wakeke.
Namun, saat pendudukan Jepang, Rabi di sinagoge itu dibunuh dan aktivitas keagamaan akhirnya berhenti.
Pada 2004, komunitas Yahudi di Sulawesi Utara mulai merintis pembangunan Shaar Hashamayim Synagogue. Mulanya, sinagoge itu sekadar rumah dua lantai milik Leo Van Beugen, yang tak lain adalah paman Yaakov Baruch–rabi di Shaar Hashamayim Synagogue.
Lantaran punya nuansa arsitektur Yahudi, bangunan itu disulap jadi sinagoge pada medio 2004. Pembangunannya didanai J P Van Der Stoop, seorang Yahudi asal Belanda, yang memberikan donasi kepada Rabi Yaakov.
Pemerintah Kabupaten Minahasa–masa kepemimpinan Steven Vreeke Runtu–juga memberi izin ibadah. Belakangan, lokasi ini mulai jadi satu situs pariwisata di Sulawesi Utara.
“Kami terbuka dikunjungi. Kecuali Sabat karena ada ibadah. Bila ingin mengunjungi sinagoge harus menghubungi Rabi agar didampingi. Maklum semua punya kesibukan,” kata Nuel.
Menjadi minoritas, ujar Nuel, bukan perkara mudah. Pada mulanya, banyak masyarakat sekitar sinagoge yang bertanya-tanya tentang agama Yahudi.
Perlahan, lewat komunikasi, warga mulai mengerti perihal Yahudi dan bisa berdampingan dengan sinagoge.
Tilda Roring, yang rumahnya berhadapan dengan sinagoge, mengaku tak keberatan dengan aktivitas penganut Yahudi di lingkungannya. Menurut Tilda, rabi dan beberapa jemaatnya kerap singgah di rumahnya untuk silaturahmi.
“Saya turut menjaga rumah ibadah itu. Kalau ada anak-anak memanjat pagar dan main bola di halaman Sinagoge, saya suruh keluar.”
“Banyak yang mengira tempat baru, aliran baru. Padahal Yahudi sudah lebih dulu ada dari agama samawi lainnya.”
Rabi Yaakov Baruch
Beda Yahudi dengan Zionis
Kami juga sempat bertukar pesan dengan Rabi Yaakov Baruch. Ia mengaku kesulitan untuk bertemu sebab beberapa kesibukan, meski tak keberatan menjawab pelbagai pertanyaan lewat aplikasi pesan.
Yaakov Baruch merupakan nama ibrani. Semula, pria berusia 35 itu punya nama Toar Palilingan Jr.
Ketertarikan Yaakov pada Yahudi, bermula saat dirinya berusia 20-an. Saat itu, ia mulai menelusuri silsilah keluarga dan menemukan garis keturunan Yahudi dari seorang Belanda, Elias van Beugen–kakek buyut dari pihak ibu.
Ia lantas memutuskan menelusuri garis keluarganya serta mempelajari Yudaisme hingga ke Belanda dan Israel.
Di Indonesia terkhusus Sulawesi Utara, kata Yaakov, harus dibedakan antara para “penganut Yahudi” dengan “keturunan Yahudi”. Penganut Yahudi bisa saja bukan keturunan Yahudi. Pun, tak sedikit keturunan Yahudi yang memeluk agama lain.
Kami sempat berbincang dengan Stewart Tangkilisan, warga Desa Kolongan, Kabupaten Minahasa Utara. Stewart mengaku punya darah Yahudi dari dari garis nenek, ibu dari ayahnya. Namun, tak ada anggota keluarganya yang mengikuti garis keturunan Yahudi itu.
Jejak Yahudi di Sulawesi Utara bisa dilihat pula di Desa Matungkas, Kecamatan Dimembe, Kabupaten Minahasa Utara. Di sana terdapat kuburan Yahudi sejak tahun 1933.
Adapun Yahudi masuk ke Nusantara seiring pelayaran kapal-kapal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), pada awal 1600-an. Catatan lain, pada abad 15, sudah ada kapal Portugis yang mengangkut orang-orang keturunan Yahudi beragama Kristen.
Rabi Yaakov menjelaskan bahwa VOC punya banyak pegawai dan petinggi orang Yahudi. Selain lewat VOC, ada pula orang-orang Yahudi dari Inggris. Jalur lain masuk dari para pedagang India atau Mumbay yang datang dari Singapura.
Menurut Yaakov, Yahudi dari Belanda melewati proses kawin-mawin dengan warga lokal. Jejak pernikahan itu membekas lewat kehadiran keturunan Yahudi di beberapa wilayah, seperti Jakarta, Surabaya, dan Manado.
“Pada 1930-an diperkirakan ada sekitar 5.000 orang Yahudi di Indonesia. Di Sulut perkirakan ada 500. Mayoritas Yahudi Belanda. Itu berdasarkan laporan majalah Yahudi di Indonesia, RS Israel,” kata pria lulusan Yeshiva ini–lembaga pendidikan teologi Yahudi.
Saat ini, Yaakov menaksir ada ribuan keturunan Yahudi di Sulawesi Utara. Namun, mereka yang menjadi penganut Yahudi hanya ratusan orang.
Yaakov juga memberi penekanan soal perbedaan Yudaisme dan Zionis. “Penganut Yahudi (atau Yudaisme) dan Zionisme kerap kali disamakan. Padahal keduanya berbeda,” kata dia.
Menurutnya, Yahudi sering diartikan sebagai ras dan sebagai agama. Nah, sebagai agama, selain kata Yahudi bisa pula menggunakann kata “Yudaisme”.
Catatan lain, sebagai ras, tidak sedikit orang Yahudi yang memeluk agama lain macam Islam atau Kristen.
Sedangkan Zionisme, dalam kacamata Yaakov, adalah kata kontroversial. Mulanya adalah kata Sion yang merujuk pada sebuah bukit di Yerusalem. Namun, zionisme berubah jadi identitas politik dengan tujuan menciptakan tanah air Yahudi di wilayah yang kini dikenal sebagai Israel.
Perlu dicatat, ada pula tarik ulur dalam wacana negara Israel itu. Ada yang ingin tanah Israel jadi sekuler. Di sisi lain, kelompok konservatif yang menginginkan keluhuran Yahudi.
Satu kutipan dari rilis Wahid Institute bisa membantu memahami konteks salah kaprah soal Yahudi dan zionis yang kerap terjadi di Indonesia.
“Mereka (orang-orang yang salah kaprah) tidak bisa membedakan tentara Israel yang menyerang Palestina dan pemeluk agama Yahudi,” tulis lembaga yang berfokus pada isu-isu multikulutural dan toleransi itu. (lokadata)