Diakonia.id – Pada artikel sebelumnya kita telah melihat sosok Setan yang ada dalam Alkitab. Kita telah mengikuti evolusi konsep tentang sosok ini sepanjang Kitab Suci dan membahas beberapa kesalahpahaman yang sering terjadi.
Sekarang kita akan melihat hubungan antara konsep tentang Setan tadi dengan pewahyuan mengenai Allah dalam Yesus, dan memperlihatkan bagaimana harusnya hal tersebut secara fundamental mengubah pemahaman kita akan ‘murka Allah’.
Memikirkan Ulang Murka Allah
Kita telah belajar dari pemahaman Israel mengenai ‘the satan’ bahwa ia bukanlah musuh Allah tapi pesuruh Allah dalam melaksanakan hal yang merusak. Kita juga telah belajar mengenai Yesus yang menyingkapkan Allah sebagai lawan ‘the satan’. Jika Bapa datang untuk memberikan hidup dan menyelamatkan kita dari hal buruk yang disebabkan oleh musuh, bagaimana kita menyelaraskannya dengan ‘murka Allah’? Brad Jersak membantu kita dengan menjelaskan:
“Dalam beberapa kisah Perjanjian Lama, hampir tak ada perbedaan antara ‘murka Allah’ dan kejahatan si pemusnah. Si pemusnah adalah pembunuh bayaran Allah yang ditugasi untuk menjaga tangan Allah tetap bersih. Tapi Yesus dan Paulus membuat pembedaan yang sangat nyata: Allah selalu adalah pemberi kehidupan dan penebus. Setan adalah pembawa kematian dan si pemusnah.”
~Dalam ‘A More Christlike God’
Jika kita memandang Yesus, kita melihat Allah yang bersama kita, menyelamatkan dan menyembuhkan kita, bukan yang ingin membinasakan kita. Jika kita mempercayai Allah itu ada di pihak kita sekaligus lawan kita, membinasakan kita sekaligus menyelamatkan kita dari diri-Nya yang ingin membinasakan kita, ujung-ujungnya kita akan berpikir Allah itu menderita skizofrenia*. Sosok Allah yang demikian tak memiliki kuasa untuk mendatangkan damai sejahtera dalam hati dan pikiran kita atau menyatakan kasih sempurna yang melenyapkan ketakutan.
Berpikir ulang mengenai ‘murka Allah’ sangat diperlukan karena Yesus tak pernah memperlihatkan kemarahan yang merusak terhadap orang berdosa. Dia memang memperlihatkan kemarahan kepada orang-orang yang gagal menghadirkan sosok Abba-Nya dengan benar, tapi bukan dengan penuh kekerasan yang biasa disebut sebagai ‘murka Allah’. Bahkan saat di Bait Allah, satu-satunya momen dimana Yesus tercatat mengekspresikan agresi fisik, Ia tak pernah melukai siapapun. Ia memang membalikkan meja penukaran uang dan mengusir para pedagang dari Bait Allah, tapi Ia tak pernah menghunus pedang lalu mencincang para pedagang itu dan menyebabkan banjir darah di sana. Ia tak pernah membunuh siapapun. Yesus menyatakan membunuh dan membinasakan sama sekali bertentangan dengan tujuan-Nya, dan menegur murid-Nya yang menyarankan hal tersebut.
Ada beberapa potret Allah yang ‘alkitabiah’ yang Yesus tanggalkan saat Ia datang untuk menggenapi pewahyuan Taurat dan para nabi yang semakin berkembang. Saat ada murid-Nya yang menyarankan-Nya untuk mengikuti jejak Elia dan menurunkan api dari langit, Yesus menegur mereka. Yesus juga menolak prinsip keadilan ‘mata-ganti-mata’ seperti yang diberlakukan Musa. Prinsip ini sejatinya dibuat untuk membatasi tindakan balas dendam, tapi Yesus menaikkan batasannya dengan memberi perintah mengasihi musuh dan bukan pembalasan. Dia katakan seperti inilah Bapa-Nya dan dengan melakukan hal yang sama, kita adalah anak-anak Allah Yang Mahatinggi.
Yesus tak pernah mengajarkan ‘murka Allah’ kepada para pendosa, sebaliknya Ia mengajarkan tentang Allah yang datang untuk memberikan hidup kepada mereka dan menyembuhkan mereka dari penyakit dosa mereka. Bukan berarti Yesus tidak mengingatkan mereka akan konsekuensi merusak yang dosa bawa, yang dilambangkan oleh api di Lembah Hinom (yang disalahterjemahkan sebagai ‘neraka’/hell oleh Alkitab berbahasa Inggris), sebuah tempat menjijikkan dalam sejarah Israel dimana mayat-mayat membusuk dan dibakar dengan api yang menyala. Tapi konsekuensi ini BUKAN hasil kemarahan Allah. Tapi merupakan konsekuensi atau tuaian yang membawa kematian dari menjalani hidup yang tidak sesuai dengan Sang Pemberi Hidup. Seperti Paulus katakan dengan jelas, “Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya” (Galatia 6:8). Hidup yang tidak sesuai dengan kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita ilahi hasilnya adalah kemerosotan dan kekacauan.
Dalam Roma 1 dengan jelas kita melihat: “Sebab murka Allah dinyatakan dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia” (Roma 1:18). Apa maksud Paulus dalam ayat ini? Apakah halilintar dari langit menyambar orang berdosa? Hujan api dari langit? Dimana? Adakah orang yang pernah melihat murka Allah dinyatakan? Adakah yang melihat pembinasaan supernatural atas umat manusia? Tidak, karena Paulus melanjutkan dengan mengatakan bahwa Allah “menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka akan kecemaran”, artinya Allah tidak melakukan agresi aktif kepada para pendosa, tapi ‘membiarkan’ mereka menerima konsekuensi pilihan mereka.
Kita bisa melihat dalam perumpamaan anak yang hilang: selama si anak menyia-nyiakan hidupnya dalam foya-foya, kebejatan dan para pelacur, dia akan berakhir di kandang babi, makan ampas yang menjadi makanan babi, yang berada di luar kehidupan dan kasih bapanya. Kehidupan yang konsekuensinya adalah kematian. Kata-kata Paulus tentang menabur dalam daging dan menuai kebinasaan dari daging dapat diaplikasikan di sini. Kondisi merusak yang dialami si anak ini disebut orang Yahudi sebagai ‘murka Allah’; itu bukanlah kemarahan harfiah bapanya yang ingin membinasakan dia, tapi merupakan konsekuensi yang menghancurkan dari cara hidup yang merusak. Konsekuensi ini diharapkan membawa si anak kepada pertobatan, membawanya kembali kepada pelukan bapanya yang penuh kasih. Dan memang demikian.
Seperti dikatakan Bapa John Breck,
“Dalam pikiran rasul Paulus, murka ilahi selalu ditujukan kepada orang tak percaya (non-believers) yang telah mendengar Injil kabar baik tapi menolaknya. Bagi sang rasul, ‘murka ilahi’ adalah ekspresi metafora (atau sebuah antropomorfisme) yang menjelaskan cara Allah menangani orang berdosa yang tidak mau bertobat: membiarkan mereka menanggung akibat perbuatan mereka sendiri. Murka Allah hendaknya tidak dianggap sebagai tindakan Allah yang ditujukan kepada kita, tapi sebagai ekspresi ‘diam’-Nya, ‘ketidakhadiran-Nya’ yang nyata dalam hidup dan pengalaman orang-orang yang menolak Dia. Saat kita berada dalam keadaan dimana tampaknya Ia mengabaikan kita, itu adalah Allah ‘membiarkan’ kita menerima konsekuensi tindakan dosa yang kita lakukan, termasuk penolakan kita untuk bertobat. Bukan Allah yang menghukum dan menuduh kita; kita yang melakukannya kepada diri kita sendiri. Allah “menyerahkan kita” kepada konsekuensi dosa yang atasnya kita bertanggungjawab penuh, Roma 1:24. Sebagai pribadi yang adalah Kasih, Allah menginginkan kita dan semua orang bertobat, supaya kita bisa mengalami kehidupan yang merdeka, menerima kasih karunia hidup kekal dan sukacita abadi. Jalan menuju kehidupan yang demikian adalah, sekali lagi, lewat pertobatan, perubahan pikiran, metanoia, suatu perubahan dan reorientasi radikal hidup kita dari perbudakan dosa kepada kemerdekaan dalam Roh.”
Dengan kata lain, murka ilahi adalah kandang babi yang harus dialami anak yang hilang. “Murka Allah” adalah antropomorfisme, suatu cara manusia untuk menjelaskan bahwa dosa kita suatu saat akan tertimpa kepada kepala kita sendiri.
Ia membuat lobang dan menggalinya,
tetapi ia sendiri jatuh ke dalam pelubang yang dibuatnya.
Kelaliman yang dilakukannya kembali menimpa kepalanya, dan kekerasannya turun menimpa batu kepalanya.
~Mazmur 7:16-17
Ini adalah kenyataan bahwa ciptaan adalah refleksi penciptanya. Seluruh keberadaan kita adalah untuk memanifestasikan Allah, jadi jika kita berjalan melawan jalur ini, maka kita sedang melawan sifat keberadaan kita dan akan menuai kekacauan dan kebinasaan. ‘Murka Allah’ adalah cara kita menjelaskan pemahaman kita yang kabur mengenai karma tabur-tuai, bukan halilintar yang dibidik Allah dari sorga kepada kita.
Tunggu dulu, Anda mungkin berkata. Tidakkah dalam Perjanjian Lama banyak contoh yang menunjukkan Allah memang melakukan hal tersebut? Tenang, sabar dulu. Kembali Brad Jersak membantu menjelaskan:
“Allah itu baik.
Allah itu kasih.
Allah tidak suka kekerasan, karena Ia sendiri tak pernah melakukan kekerasan.
Dalam kasih-Nya, Allah tak mungkin mencapai tujuan-Nya dengan jalan kekerasan.
Namun dalam penolakan-Nya melakukan kekerasan, Allah mengijinkan kekerasan kita.
Kasih-Nya mengijinkan kekejaman kita menyerang satu dengan yang lain. Dan melawan Dia. Persetujuan Allah bukan berarti keterlibatan. Tapi Allah tampak terlibat dengan kekerasan kita karena Ia mengijinkannya. Saat Allah menolak menerapkan kekerasan tapi mengijinkan pemberontakan dan buahnya yang pahit, Allah tampak kejam dalam kesetujuan-Nya itu.
Dalam kasih, Allah mengijinkan kekerasan dan murka kita melawan Dia di salib. Dia mengijinkan murka kita melawan Roma. Dan Dia mengijinkan murka Roma tertumpah atas kita.
Kesetujuan-Nya adalah murka. Kesetujuan-Nya adalah kasih.
Apa itu murka Allah? Bukankah Allah yang membantai anak sulung Mesir (Keluaran 12)? Bukankah Allah yang membunuh para penggerutu di padang gurun (Bilangan 26)? Bukankah Allah yang menghanguskan Sodom dan Gomora (Kejadian 19)? Bukankah Dia yang membuat Yerusalem menjadi tak lebih dari puing-puing berasap (Yeremia 52)? Bukankah Dia yang memutuskan nyawa Ananias dan Safira (Kisah 5)? Bukankah Dia yang membuat Herodes mati dimakan cacing (Kisah 12:23)?
Tidak. Dan Ya.
Pertama, tidak. Apakah tindakan-tindakan ini adalah intervensi Allah yang murka dan suka menghukum sebagai reaksi atas dosa? Tidak. Penyebab kematian dapat diketahui sumbernya, yakni si pemusnah, malaikat atau manusia yang menjadi pelaku kekerasan, atau Setan (Keluaran 12:23, Kejadian 19:13, Yeremia 4:7, 1 Korintus 10:9-10, Kisah 5:3). Allah melindungi atau berhenti memberi perlindungan atas calon korban, itu tergantung pada persetujuan (atau ketidaksetujuan) orang tersebut untuk bertobat, menyerah atau bersyafaat (contoh kasus Abraham dalam Kejadian 18 atau Musa dalam Keluaran 33).
Kedua, ya. Tindakan-tindakan ini adalah murka Allah dimana di dalamnya Allah setuju membiarkan penghancuran alami maupun supernatural terjadi melalui serangkaian keputusan manusia. Dengan demikian, kita melihat bahwa Allah tampak telah ‘mengirimkan’ si pemusnah dan ‘mengirimkan’ penghancuran. Dengan kata lain Allah dipandang sebagai pelaksana penghancuran bahkan si pemusnah itu sendiri (Keluaran 12:29, Kejadian 19:14, Bilangan 21:6).
Tapi di Roma 1 (yang mengutip Yesaya 64:5-7), Paulus mengklarifikasi: apa yang telah dikatakan sebagai murka Allah sebenarnya adalah suatu metafor ‘penyerahan’ atau persetujuan Allah atas orang yang memberontak kepada-Nya, kepada keinginan hati mereka yang merusak diri mereka sendiri, bahkan jika keinginan itu menyebabkan orang lain menjadi korban (collateral damage)! Saat di Roma pasal yang kelima Paulus katakan, “Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah” (Roma 5:9), itu bukan berarti Yesus menyelamatkan kita dari Allah, tapi dari konsekuensi dosa (yaitu maut/kematian, menurut Roma 6:23).”
~Brad Jersak, ‘Wrath and Love as Divine Consent’
‘Murka Allah’ adalah Allah mengijinkan anak-Nya berada di kandang babi karena pilihannya sendiri. Inilah yang disebut ‘gehenna’ atau neraka yang ditimpakan sendiri. Tokoh bapa dalam perumpamaan anak yang hilang tidak murka terhadap anaknya dan menghukum anaknya masuk ke kandang babi. Si anak sendiri yang membuat ia berada di situ. Demikian pula halnya dengan ‘murka Allah’, itu artinya Allah membiarkan domba berada dalam situasi berbahaya karena mengembara dari kandangnya. Dalam perumpamaan domba yang hilang, kita tidak melihat gembala yang murka mengamuk menghabisi domba yang sesat tadi. Yang kita lihat adalah gembala yang mencari dombanya untuk menyelamatkannya dari kesesatan dan tingkah yang merusak diri.
Allah adalah Juruselamat kita, bukan musuh kita. Dia adalah Bapa yang menunggu kita pulang ke rumah, bukan kandang babi yang membuat kita menderita.
Dengan pewahyuan penuh tentang Allah yang dinyatakan Kristus, kita bisa kembali dan mempelajari Perjanjian Lama dan mengetahui bila orang Israel sedang mencampurkan adukkan Allah dengan ‘the satan’. Kita kini dapat menafsirkan ‘murka Allah’ dalam Perjanjian Lama demikian: ‘murka Allah’ bukanlah kemarahan Allah secara harfiah dimana Allah membinasakan orang-orang. ‘Murka Allah’ adalah Allah mengijinkan manusia menuai konsekuensi natural dan supernatural dari pilihan mereka yang merusak, yang membuat manusia berada di bawah tirani ‘the satan’ yang adalah si pendakwa dan pembinasa. Bapa tidak menginginkan hal ini, dan tujuan-Nya adalah menyelamatkan dan memulihkan dunia yang jatuh ini.
Kita harus akui, dengan pewahyuan Kristus, ‘murka Allah’ bukanlah suatu ungkapan yang tepat. Tapi lagi-lagi, kita berhadapan dengan konsep metafora yang samar-samar dan kabur. Metafora, analogi dan antropomorfisme banyak digunakan oleh penulis Alkitab. Selalu ada ketidakkonsistenan bahasa saat para penulis berusaha memahami realita yang berada di luar dunia fisik (metafisika). Apa yang Paulus katakan, “Barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya” mungkin lebih tepat untuk menjelaskannya.
Dengan demikian, Yesus memang menyelamatkan kita dari ‘murka Allah’, tetapi hanya jika itu dipandang secara antropomorfis sebagai konsekuensi yang kita timpakan kepada diri kita sendiri akibat disharmoni hidup kita dengan Allah, dan bukan sebagai tindakan langsung Allah kepada kita. Yesus tidak menyelamatkan kita dari Allah. Yesus menyelamatkan kita dari dosa kita sendiri dan kematian.
Sebagai Kesimpulan
Pandangan mengenai ‘murka Allah’ dalam tulisan ini tidak berarti kita melunak terhadap dosa. Tapi menunjukkan bahwa Allah bersikap konsisten sebagai Juruselamat yang menyelamatkan kita dari kebinasaan, bukan sebagai pembinasa; juga menunjukkan bagaimana Yesus menyatakan Bapa-Nya dengan sempurna. Kita bisa mempercayai ucapan-Nya, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yohanes 14:9).
Jika Anda mencoba membuat Yesus menjadi Mesias yang kejam dan ingin membalas dendam, yang murka kepada orang berdosa dan ingin menjadikannya alasan untuk mendukung kebenaran-diri yang hendak menghakimi orang lain, carilah dalam Injil dan Anda tak akan menemukannya. Jika Anda mencoba membuat Yesus menjadi seorang ‘hippy’ pasif yang tak peduli soal kebenaran dan tidak pernah mengeluarkan peringatan keras bahwa dosa adalah jalan kematian, yang hanya mengkhotbahkan pesan relativitisme moral yang enak didengar, carilah dalam Injil maka Anda tidak akan menemukannya. Bacalah Injil. Dia Sang Kebenaran itu ada di sana. Kita tak perlu mereka-reka Yesus versi kita sendiri.
Allah tak pernah memusnahkan manusia dalam murka-Nya. ‘Murka Allah’ hanyalah metafora atas tindakan Allah membiarkan manusia menuai konsekuensi merusak dari dosanya. ‘The satan’-lah yang menggunakan kuasa dosa terhadap manusia (Ibrani 2:14), sedang Allah adalah pihak yang memberi kehidupan.
Jadi apakah Allah pernah murka secara harfiah? Saya percaya ya, tapi kita harus melihat seperti apa murka itu dalam diri Yesus.
Yesus tak pernah berkeliling menyakiti orang, marah kepada orang berdosa dan ingin membunuh mereka. Dia marah hanya kepada orang yang salah dalam menggambarkan Bapa-Nya. Jika di hati Yesus ada murka, itu ditujukan kepada pola pikir, sistem, penguasa angkasa dan kuasa yang membelenggu manusia di dalam penjara si pembinasa. Murka Yesus mengusir roh jahat dan membebaskan orang yang ditawan, memulihkan yang hatinya remuk dan menyembuhkan yang sakit. Murka Yesus secara harfiah ditujukan untuk melemparkan penguasa dunia ini dan membebaskan manusia, bukan membinasakan manusia.
Kendati demikian, sepanjang ‘murka Allah’ ditulis dalam Alkitab, hal itu konsisten dengan perkembangan pewahyuan dan pemahaman akan karakter Allah melalui Yesus, bahwa hal tersebut harus dipahami sebagai metafora ‘ijin’ ilahi membiarkan kita menuai dari apa yang kita tabur. Sekalipun Alkitab menggambarkan ‘murka Allah’ sebagai tindakan harfiah, sebenarnya itu adalah cara manusia memahami bagaimana Allah menangani orang-orang yang memilih jalan kehancuran mereka sendiri.
[Jacob Wright: What The Truth About Satan Reveals About “The Wrath of God”; April 2, 2016]
http://www.brazenchurch.com/god-of-anger/
Catatan:
* Skizofrenia sering digambarkan sebagai penyakit gila. Kondisi ini menyebabkan penderitanya mengalami delusi, halusinasi, pikiran kacau, dan perubahan perilaku. (Mona Yayaschka/dailygracia)