“If religion cannot restrain evil, it cannot claim effective power for good” (Morris Raphael Cohen)
Diakonia.id – Kita patut bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena pada 3 Januari 2019 Ia telah mengantarkan Kementerian Agama memasuki usia ke-73. Peringatan HUT, yang biasa disebut Hari Amal Bhakti (HAB) Kementerian Agama dilaksanakan di seluruh Tanah Air dengan upacara dan pidato ulang tahun untuk menghayati makna pelayanan Kementerian Agama selama kurun waktu 73 tahun di negara yang amat majemuk dari segi agama. Memang sebagai sebuah negara yang mengklaim bahwa rakyatnya, 90 persen lebih, adalah rakyat yang beragama maka peran agama, kekentalan dan sensitivitas agama amat terasa dalam kehidupan di negeri ini. Dalam konteks seperti itu agama bisa selalu dibawa-bawa dalam banyak konflik, walaupun konflik itu sejatinya adalah soal ekonomi atau politik. Dalam berbagai peristiwa pemilihan kepala daerah, acap isu agama dimasukkan begitu rupa sehingga seolah-olah yang tengah bertarung dalam pilkada itu adalah “pertarungan antar agama”. Demikian juga pada banyak kasus lain, isu agama nyaris selalu dipakai sehingga memunculkan kegaduhan yang muaranya merusak sendi-sendi kehidupan bangsa.
Menurut beberapa literatur, pada zaman penjajahan Belanda urusan agama diurus oleh departemen pengajaran (Onderwys en Eredienst) tidak dalam suatu departemen yang khusus sehingga pelayanan yang dilakukan tidak memadai. Pada zaman penjajahan Jepang dibentuk Kantor Agama di setiap Karesidenan. Di Karesidenan Banyumas, Kantor Agama dikepalai oleh KH Abudardiri. Pada 24-28 November 1945 dilaksanakan sidang Komite Nasional Indonesia (KNI) Pusat di Jakarta. KH Abudardiri bersama 2 rekannya hadir dalam sidang tersebut mewakili Karesidenan Banyumas. Pada sidang 26 November yang berlangsung di Fakultas Kedokteran Salemba, utusan KNI Banyumas mengusulkan agar dalam negara RI dibentuk Kementerian Agama yang secara khusus akan menggarap hal-hal yang berhubungan dengan agama.
Berdasarkan usul itu, yang disetujui oleh Bung Karno dan Bung Hatta, pada 3 Januari 1946 diumumkan oleh Pemerintah berdirinya Kementerian Agama dengan Menteri Agama yang pertama adalah KH. Mohammad Rasjidi. Legalitas berdirinya Kementerian Agama pada 3 Januari 1946 ditetapkan dalam Penetapan Menteri Agama No. 6 tahun 1956 Tentang Hari Didirikannya Kementerian Agama RI, yang ditandatangani oleh Menteri Agama ad interim Mohd Sardjan pada 1 Maret 1956.
Fakta historis tentang berdirinya Kementerian Agama itu cukup penting baik bagi pejabat negara, pimpinan organisasi maupun masyarakat umum agar semua pihak bisa ikut memberi kontribusi pemikiran bagi pengembangan peran Kementerian Agama dalam merespons dinamika zaman menuju masa depan. Memang harus dicatat bahwa selain fakta historis seputar berdirinya Kementerian Agama, ada angle lain yang berbicara tentang hal tersebut. BJ. Boland misalnya dalam The Struggle of Islam in Indonesia menyatakan bahwa adanya Kementerian Agama sebagai kompensasi karena dasar negara Indonesia tidak berdasarkan agama.
Pemikiran akademik dari orang selevel Boland tentang berdirinya Kementerian Agama bisa saja kita pahami sebagai pengayaan dari fakta historis yang kita miliki. Hal yang penting bagi kita sekarang bukan pada fakta historis itu atau tesis Boland, tapi apakah Kementerian Agama telah benar-benar menjalankan perannya sebagai kementerian/tangan pemerintah yang melayani seluruh agama di Indonesia. Apakah Kementerian Agama telah menjadi milik semua umat beragama dan memberi ruang bagi semua umat beragama untuk berkiprah di kementerian itu.
Memang, dalam perjalanan waktu ada catatan-catatan kritis tentang peran yang dilakukan oleh Kementerian Agama, tentang para “oknum” di kementerian yang memperkaya diri dengan cara melawan hukum. Ada sinisme kuat tentang contradictio in terminis: kementerian agama yang oknum-oknumnya telah melakukan penodaan agama melalui berbagai perbuatan mereka. Pernah ada suara keras untuk meniadakan Kementerian Agama, pernah ada upaya merevitalisasi Kementerian Agama dari pendekatan kebahasaan, misalnya mengubah nama “Kementerian Agama” menjadi “Kementerian Keagamaan”. Dan kita tahu, suara dan gagasan itu akhirnya tenggelam ditelan kegaduhan.
Kementerian Agama sudah 72 tahun menjadi bagian dari sebuah NKRI yang majemuk. Nilai-nilai kemajemukan sudah semestinya mengalir dari kementerian ini menginspirasi lembah, ngarai dan semua sudut-sudut Indonesia yang berpanorama indah ini. Kementerian Agama justru harus lebih kuat bersuara bahwa UUD NKRI 1945 dan Pancasila ini sudah final dan definitif sehingga pikiran untuk menjadikan agama sebagai dasar negara tidak lagi relevan karena telah selesai pada 18 Agustus 1945.
Di masa depan, Kementerian Agama harus mampu menjadi ruang dialog bagi agama-agama di Indonesia, berpikir out of the box, keluar dari skema mayoritas-minoritas dan memandang semua warga bangsa sebagai umat yang dilayani dengan sebaik-baiknya. Kasus-kasus yang berkaitan dengan kesulitan pembangunan rumah ibadah harus ditangani dengan lebih berhikmat, jangan sampai masalah teknis perizinan menghambat dan meniadakan ibadah umat kepada Khaliknya. Realitas ini, jika terjadi, merupakan sesuatu yang ironis dan tragis dalam konteks Indonesia yang warganya taat beragama. Ungkapan Hans Kung “Tak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antaragama” menjadi inspirasi kuat bagi Kementerian Agama untuk menjalankan perannya di masa depan. Agama harus menjadi sumber moral dan dasar bagi perwujudan kehidupan yang baik. Agama tidak boleh sekadar status yang terpampang dalam KTP atau bio data. Agama harus fungsional dan membumi. Cohen, Profesor filsafat dari Amerika (1880-1947) menegaskan jika agama tidak dapat mengendalikan kejahatan, maka agama tidak dapat menganggap diri sebagai kekuatan efektif untuk kebaikan.
Selamat berjuang, God bless
– Pdt. Weinata Sairin
*Penulis adalah mantan Wakil Sekum PGI
Sumber: pgi.or.id, dengan pengubahan seperlunya.