Diakonia.id – Lagu “What a Friend We Have in Jesus” karya Joseph M. Scriven sangat populer dan tidak heran jika sudah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Lagu ini diciptakan Charles Converse tahun 1868 berdasar puisi ciptaan Joseph Scriven. Rekaman pertama di dunia untuk lagu ini dilakukan tahun 1928 oleh penyanyi Washington Phillips.
Sebuah perdebatan lama, yang baru-baru berdegung kembali, terkait issue plagiat lagu nasional” Ibu Pertiwi” dari lagu “What a Friend We Have in Jesus”. Bila didengarkan dengan saksama, memang ada kemiripan antara “What a Friend We Have in Jesus” dengan lagu nasional Indonesia “Ibu Pertiwi”.
Menurut KBBI, plagiat adalah pengambilan karangan orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangannya sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri atau dapat disebut menjiplak.
Musik plagiat adalah penggunaan musik musisi lain yang diklaim sebagai karya diri sendiri. Plagiarisme musik terbagi ke dalam dua konteks. Pertama, ide musik (melodi atau motif) sementara yang kedua adalah sampling (mengambil sebagian rekaman karya musisi lain yang kemudian menggunakannya ke dalam sebuah lagu).
Lagu “Ibu Pertiwi” seringkali disebut ditulis oleh Ismail Marzuki. Ada pula yang menyebut disusun dan ditulis oleh komposer yang tidak dikenal sekitar dekade 1950 hingga 1960-an.
Namun, ada sumber yang mengatakan pencipta lagu tersebut adalah komponis asal Solo, Kamsidi Samsuddin pada 1908, demikian seperti dikutip dari buku Kumpulan Lagu Wajib Nasional yang disusun Hani Widiatmoko dan Dicky Maulana.
Untuk melacak dugaan itu, ada baiknya kita melihat sejarah terciptanya “What a Friend We Have in Jesus” yang ditulis oleh Joseph Scriven.
Terdapat dua versi tentang tahun kelahiran Scriven yang wafat pada 1886. Ada yang mengatakan tahun 1819, ada pula yang menyebut 1820.
Seperti dilansir dari Christianity.com, Scriven adalah penduduk asli Dublin, Irlandia. Seperti karya-karya fenomenal lain yang tercipta dari rasa sakit, Scriven pun pernah mengalami sebuah tragedi besar dalam hidupnya.
Semasa muda, ia bertunangan dengan seorang wanita yang sudah lama ia kenal dan cintai. Namun, saat semua persiapan upacara pernikahan sudah disiapkan, tunangannya meninggal karena tenggelam pada malam sebelum mereka menikah.
Atas kesedihan ini, ia pun pindah ke Kanada sekaligus untuk mencari nafkah di sana. Di negara itu, ia sempat bertunangan untuk kedua kalinya dengan seorang wanita bernama Eliza Roche. Namun, gadis itu sakit dan meninggal.
Dalam masa kesedihan, ia kemudian bergabung dengan sebuah gerakan keagamaan Plymouth Brethren untuk membantu anggota lansia. Namun, dari sana ia sadar, bahwa kesedihannya bukan apa-apa di banding penderitaan orang miskin dan lemah, sehingga ia memutuskan untuk melakukan khotbah serta membantu orang-orang miskin yang tertekan secara mental.
Kesedihannya belum berakhir, ia mendapat kabar ibunya mengalami sakit keras di Irlandia sementara ia tidak mungkin pulang menjenguknya. Dalam masa-masa ini ia menuliskan lirik “What a Friend We Have in Jesus” untuk menghibur hati ibunya yang sedih. Lirik itu ia kirimkan kepada ibunya dan satu liriknya ia simpan.
Joseph Scriven meninggal pada 10 Agustus 1886 . Tapi lagu ini tidak hanya menghibur ibunya, tetapi turut menyemangati orang-orang lemah dan miskin. Kisah hidupnya mungkin tidak akan menjadi bagian dari sejarah gereja jika dia tidak menulis sebuah lagu paling terkenal dan paling dicintai sepanjang masa, yakni lagu “What a Friend We Have in Jesus”.
Baik lagu “What a Friend We Have in Jesus” dan “Ibu Pertiwi” memiliki kesamaan substansial. Paul Fakler, seorang pengacara hak cipta veteran dengan spesialisasi hukum musik, berpendapat semakin banyak persamaan antara kedua elemen karya maka semakin besar pula adanya kemungkinan dugaan penjiplakan itu. Memang cukup rumit untuk membuktikan ini.
Fakler menjelaskan hak cipta mulai mendapat perhatian serius di Amerika sejak adanya Copyright Act of 1976 dan mulai berlaku sekitar tahun 1978. Pendaftaran karya harus dilakukan di Kantor Hak Cipta AS. Hal ini mengatasi persoalan seperti sengketa pelanggaran, unsur hak cipta dari komposisi musik yang mencakup melodi, akor, ritme dan lirik.
Pada dasarnya, hak cipta tidak berlaku pada domain publik. Jika lagu tersebut diterbitkan sebelum tahun 1923, maka karya itu dianggap berada dalam domain publik dan tidak dilindungi. Hukum federal mengatakan bahwa karya-karya kreatif, termasuk komposisi musik, akan dimasukkan ke dalam domain publik setelah 70 tahun kematian sang pencipta.
Jadi apakah lagu nasional “Ibu Pertiwi” menjiplak lagu “What a Friend We Have in Jesus” ?
Dr CS Hutasoit dan Iwan Darsono dalam surat pembaca di Harian Kompas juga mengoreksi tentang pengarang lagu “Ibu Pertiwi”.
Darsono mengatakan, lagu ”Ibu Pertiwi” tidak hanya mirip (beberapa bar) dengan “What a Friend We Have Jesus”, tetapi benar-benar persis keseluruhannya.
“Mungkin zaman dulu tidak ada sarana untuk meluruskan sejarah, tetapi sekarang semua orang bisa mengakses informasi ke seluruh penjuru dunia. Kita perlu lebih teliti dan hati-hati, jangan sampai generasi muda penerus bangsa tersesat mengikuti sejarah yang tak benar,” kata dia.
Dinyanyikan Jemaat HKBP
Hutasoit mengatakan, lagu “What a Friend We Have Jesus” telah dinyanyikan Jemaat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) sejak lama setelah zending Jerman mengabarkan Injil di Tanah Batak.”Sesudah ”Kamsidi” muncul ”Ismail Marzuki”, sementara pengarang dan pencipta lagu asli telah meninggal lebih dari 100 tahun lalu. Apakah boleh seseorang mengambil alih ciptaan orang lain, termasuk lagu, tanpa menyebutkan sumber aslinya? Saya kira ini tidak etis,” ujar dia.
Lagu “Ibu Pertiwi” apabila dicermati bermelodi 100 persen sama dengan ”Ise do Ale-alenta” yang tersua di Buku Ende nomor 219 dan ”Yesus Kawan Sejati” yang tersua di Kidung Jemaat nomor 453.
Kedua buku nyanyian gereja itu menyebut lagunya diciptakan Charles C Converse. Buku Ende menyebut diciptakan tahun 1918, sementara Kidung Jemaat menyebut tahun 1868.
Terlepas dari semua perdebatan itu, lagu “Ibu Pertiwi” setidaknya cukup mewakili kondisi yang dialami Indonesia saat ini. Meski sangat multitafsir, setidaknya lirik lagu itu berbicara tentang negara yang kaya akan sumber daya alam, tetapi tidak bisa dinikmati oleh seluruh rakyatnya.