Oleh: Gurgur Manurung
Dua hari lalu, saya duduk di sebuah bangku, menonton anak pertama saya Daniel bermain bola. Di tengah keasyikan saya melihat Daniel bermanuver memperbainkan bola, sahabat kami suami-istri keluarga Sirait mendekati saya.
“Amangboru, kemarin ketika Judika anak pertamanya mengikuti kamp dari sekolah. Ketika kamp di luar sekolah ada pertandingan juara menangkap ikan. Judika bilang, aku ingat cara menangkap ikan yang diajarkan papa Daniel ketika kita liburan di Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Judika mempraktekkan cara amangboru menangkap ikan dan dia juara”, Ceritanya dengan antusias.
Wah, bangga kali mendengar cerita sederhana itu.
Terharu mendengarnya karena berbuat hal-hal kecil pun kita diingat seorang anak berumur 12 tahun. Daniel, Judika, Kevin adik Judika, Andreas dengan adiknya Morgan, Valen, dan Thoby adalah tim futsal yang rutin saya ajari futsal dan bola. Tetapi yang berlatih khusus bermain bola secara profesional hanya Daniel dan Morgan. Hampir setiap Sabtu jika saya di Tangerang mereka bermain futsal. Pagi berlatih secara profesional dan sore bermain dengan tetangga di luar perumahan tempat kami tinggal. Mereka yang tinggal di luar komplek perumahan yang terbiasa bermain bola di sawah, di ladang-ladang, dan juga di jalan. Cara bermainnya sangat cepat dan ulet. Hampir setiap jumpa anak saya tim Daniel dan Judika melawan tim tetangga itu. Saya ingat, 5 tahun lalu tim Daniel, Judika, Andreas, Morgan, dan Thoby selalu kalah. Mereka kalah kecepatan, tenaga , dan teknik. Beberapa waktu kemudian, tim Daniel mengandalkan teknik dan kemudian pertandingan terus berimbang. Kalah dan menang bergantian.
Anak-anak tetangga itu sangat senang karena tim Daniel yang membayar lapangan futsal dan air minum. Jadi, lama kelamaan menjadi akrab. Mereka berbaur dalam perbedaan agama dan suku. Bola membuat mereka akrab walaupun kadang ada rasa tidak enak jika dalam pertandingan acapkali tabrakan atau anggota tubuhnya kena siku atau kena tendang. Satu hal dalam hubungan olahraga itu terbangun toleransi. Model ini sangat cocok untuk mengajarkan toleransi kepada anak-anak kita.
Saya lihat, anak saya sekolah di yayasan Katolik, hari minggu sekolah minggu di geraja, kapan mengenal suku dan agama lain secara dekat? Jawabannya adalah di lapangan futsal. Di hari Sabtu sore, anak-anak tetangga sudah menunggu tim Daniel di lapangan. Mereka akan berkeringat bersama bermain futsal. Olah raga futsal membantu mereka mengenal toleransi.
Lima tahun tim Daniel membuat mereka mengerti sahabat, toleransi dan berbagai nilai yang mereka dapatkan. Mereka sudah bisa memperkuat tim RT atau sekolah masing-masing dalam bermain futsal dan bola. Futsal dan membola membuat mereka bergairah. Dalam proses itu mereka menikmati hidup dengan gembira.
Kini saya menyadari, seorang ayah harus bersama anak dalam bermain agar mereka mengatakan: ” Aku ingat cara yang diajarkan”.
Mereķa sudah melewati masa anak-anak yang bermain lucu-lucu. Kini akan berubah fungsi sebagai sahabat. Dari pelatih (coach) berubah menjadi sahabat sebab mereka telah melewati 10 tahun. Dunia baru yaitu bersahabat akan kami jalani. (indovoices.com)