Diakonia.id – Siapa yang tidak kenal Martin Luther? Sang Reformator besar di samping Calvin dan Zwingli yang populer dengan julukan tiga serangkai. Para ahli sepakat bahwa Luther adalah epitom dari gerakan Reformasi. Tentunya, ini tidak mengecilkan jasa Reformator lainnya yang telah dipakai Allah secara luar biasa pada masanya. Namun pemberian predikat khusus ini setidaknya karena dua alasan. Pertama, Lutherlah yang pertama kali paling serius menekankan reformasi teologis, dimana menuntut perbaikan mendasar dalam ajaran gerejawi, ketimbang reformasi dalam aspek moral maupun institusional sebagaimana yang ditekankan Reformator sebelumnya. Luther melihat perubahan praktik dan moral hanyalah mungkin jika ajaran iman kepercayaan dibenahi dahulu. Kedua, tak pelak lagi, Luther adalah Reformator yang paling berpengaruh bagi tokoh sezaman dan sesudahnya. Bahkan Calvin dan Zwingli pun berhutang inspirasi dari perjuangan dan ajaran Luther.

Sebenarnya, sudah ada beberapa buku berbahasa Indonesia yang cukup bagus untuk kita mempelajari khususnya ajaran Martin Luther. Sebagai pengantar yang baik, kita dapat memulai dengan buku “Sejarah Pemikiran Reformasi” karangan Alister E. McGrath yang klasik itu (diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia). Tulisan ini hanyalah berusaha melengkapi “lubang” dalam banyak buku berbahasa Indonesia yaitu kisah hidup Martin Luther yang utuh. Mengikuti riwayat Luther akan mengantar kita pada pemahaman yang lebih empatis bahwa sosok besar dan perjuangannya merupakan hasil sebuah proses yang panjang dan manusiawi. Luther yang kita kenal sekarang adalah Luther yang telah melalui pelbagai ujian berat dalam hidupnya. Allah dalam kemurahan dan kuasa-Nya telah memakai Luther menjadi salah satu tokoh agung yang mengubah wajah sejarah manusia sampai detik ini.
Masa Pra Luther
lmu sejarah mengajarkan bahwa suatu peristiwa biasanya merupakan reaksi (anteseden) dari peristiwa lain yang mendahuluinya (preseden). Demikian pula, gerakan Reformasi adalah reaksi atas kondisi yang sudah ada. Secara umum, kondisi pendahulu yang membidani kelahiran gerakan Reformasi bisa ditarik ke beberapa abad sebelumnya. Bila diringkas, ada tiga kondisi yang paling berpengaruh.
Pertama dan terutama adalah kebobrokan gereja baik dalam ajaran maupun praktiknya yang memang menjadi sasaran kritik Reformator. Kerusakan gereja masa itu sudah begitu memalukan, dan telah berlangsung sekian abad. Terutama selama Abad Pertengahan, gereja telah melupakan warisan pengajaran yang Alkitabiah sejak zaman para rasul dan bapa gereja mula-mula. Sebagai gantinya, gereja menelurkan pelbagai ajaran, aturan dan pandangan yang tidak lagi bersumber pada Alkitab seperti aneka sakramen, absolutisme kepausan, doa arwah, api penyucian jiwa (purgatori) dan sebagainya.
Kerusakan gereja signifikan lainnya adalah kerusakan struktural yaitu pada lembaga kepausan. Pusat pemerintahan gerejawi ini justru marak cacat cela selama beberapa generasi kepausan. Sebut saja: ada Paus yang mempunyai selir dan anak di luar nikah, Paus yang menghamburkan uang gereja untuk memuaskan hobi berpesta, Paus yang membeli jabatan dengan uang, Paus yang terlibat dalam pelbagai pembunuhan orang tak berdosa, Paus yang materalis dan sebagainya. Memang ada beberapa Paus yang bagus, namun tampaknya tak cukup untuk menyelamatkan reputasi kepausan yang kadung cela. Sampai akhirnya diperburuk dengan peristiwa “Skisma Besar” dalam tubuh gereja antara tahun 1378 – 1417. Selama hampir tigapuluh tahun, kepausan diperebutkan oleh beberapa pihak yang saling mengklaim sebagai Paus yang sah. Kelak, sejarah kepausan yang kelam ini menjadi dasar penolakan para Reformator terhadap absolutisme kepausan yang menganggap Paus tidak bisa salah (infabilitas).
Kerusakan struktural ini menular ke jenjang gereja lokal di hampir seluruh Eropa. Data sejarah membuktikan begitu banyak pejabat gereja lokal yang sama bobroknya. Gereja dipenuhi dengan perebutan kuasa antara elit politik maupun orang kaya. Saat itu, jabatan gerejawi begitu menggiurkan karena bersifat politis. Jabatan penguasa gereja juga memiliki fasilitas khusus seperti pembebasan pajak. Lambat laun, jabatan gereja diisi oleh orang-orang yang jauh dari kompeten. Absolutisme kepausan pun menjadi tameng bagi ketidakmampuan pejabat gereja. Ungkapan “Tergantung Paus” menjadi lazim. Jika ada masalah muncul, maka pejabat gereja dengan mudahnya berlindung di balik perintah dan petunjuk Paus. Bahkan dalam kasus yang ekstrim, khotbah di misa lebih bersumber pada dokumen yang dikeluarkan Paus ketimbang Alkitab sendiri.
Kedua, kebangkitan humanisme yang merupakan salah satu wujud semangat Renaisans. Mari kita berhati-hati dengan istilah humanisme masa itu. Gamblangnya, humanisme masa itu adalah sebuah gerakan yang mau kembali pada kejayaan dan kefasihan karya literatur Latin dan Yunani (terutama kesusastraan) para penulis kuno seperti Plato, Aristoteles, Cicero, Virgil dan lainnya. Ia tidak identik dengan pengagungan manusia secara berlebihan yang berujung pada pengabaian Allah, sebagaimana kerap dimengerti tentang humanisme masa kini. Memang, humanisme masa itu juga menyoroti pentingnya aspek individual yang sebelumnya dilupakan. Namun penekanan ini tidak sampai pada pengingkaran Allah. Bahkan banyak humanis ulung masa itu sebenarnya seorang Kristen yang saleh dan taat, seperti Fransisco Petrarca alias Petrarch (1304-1374), Kardinal Nicholas dari Cusa (1400-1464), Johann Reuchlin (1455-1522), Kardinal Fransisco Ximenez (1436-1517) dan yang terbesar di antaranya, Desiderius Erasmus (1466-1536).
Sumbangan humanisme kepada para Reformator dalam dua cara. Pertama, humanisme menularkan semangat untuk kembali pada sumber-sumber asali (ad fontes). Oleh para Reformator, sumber asali tersebut merujuk pada tulisan kuno dari para bapa gereja seperti Aurelius Agustinus alias Agustinus dari Hippo (354-430). Dan konsekuensi akhirnya kembali pada Alkitab bahasa asli, daripada Alkitab terjemahan seperti Alkitab berbahasa latin (Vulgata) yang memiliki kesalahan penterjemahan. Kedua, penekanan pada aspek individualisme mempengaruhi para Reformator untuk meyakini bahwa Alkitab dan ajaran gereja harus dapat dipahami sampai pada tataran jemaat awam. Pendapat bahwa jemaat awam harus dapat membaca Alkitab dalam bahasanya sendiri begitu digemakan oleh Erasmus, yang juga mempengaruhi Luther dan Reformator lainnya.
Ketiga, peristiwa yang cukup besar artinya bagi gerakan Reformasi adalah penemuan mesin cetak oleh Johann Gutenberg pada tahun 1454. Percetakan menciptakan kemudahan yang sangat besar dan tak terbayangkan sebelumnya bagi setiap orang untuk memperoleh literatur, termasuk menulisnya (baca: menggandakan/mereproduksikan). Percetakan sangat menguntungkan para Reformator dalam mempropagandakan ajarannya. Jika tanpa percetakan, tentu saja ajaran Luther tidak akan begitu luas mempengaruhi banyak orang bahkan sampai lintas negara.
Di samping ketiga kondisi penting yang mendahului Reformasi, patut disebutkan pula tentang kebangkitan rasa nasionalisme di kerajaan-kerajaan Eropa terutama bagian barat dan utara. Bila sebelumnya, banyak bangsawan dan kaisar yang secara politis bergantung pada Paus, maka sejak kira-kira akhir abad ke-15, para pejabat negara dan kota mulai memperjuangkan otonominya. Mereka ingin lepas dari pengaruh politis Vatikan. Konteks sosial politis inilah yang dimanfaatkan oleh para Reformator. Hubungan antara Reformator dan penguasa politik membuahkan hubungan yang saling menguntungkan. Di sisi Reformator, mereka memperoleh perlindungan dari kejaran dan hukuman otoritas gereja Roma yang memvonis mereka sebagai bidat. Di sisi penguasa politis, ajaran para Reformator dipakai sebagai dasar non poilitis untuk lebih menunjukkan kelemahan otoritas gereja masa itu, sekaligus untuk mendapatkan dukungan rakyat yang memang bersimpati dan loyal kepada para Reformator.
Periode Awal Kehidupan Luther
Periode awal ini terentang dari kelahiran Luther sampai saat keputusannya menjadi rahib. Luther lahir pada tanggal 10 Nopember 1483, di kota Eisleben, propinsi Saxony (sekarang wilayah Jerman). Martin adalah nama baptisan yang diperolehnya karena hari pembabtisannya bertepatan dengan Hari Santo Martin, pelindung kaum pengemis. Hans Luther, sang ayah, adalah seorang pemilik beberapa tambang dan peleburan logam. Sedangkan ibunya, Margaretha Luther, adalah seorang ibu rumah tangga yang sangat religius, dan kemungkinan berperan besar dalam menanamkan benih iman kepada Luther kecil. Dalam otobiografinya, Luther mengenang keduanya sebagai orangtua yang disiplin dan keras dalam mendidik anak, tapi sekaligus ingin memberikan pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Sikap orangtuanya yang sangat menghargai pendidikan amat berbekas pada diri Luther. Pada saat dewasa nanti, Luther memulai perjuangannya dari lingkungan dan dengan metode akademis
Pendidikan formal pertama Luther diperolehnya di Sekolah Latin kota Mansfeld. Sebagaimana Sekolah Latin lainnya pada masa itu, Luther belajar bahasa Latin yang membuatnya berkenalan dengan kekayaan pustaka Latin. Juga musik dan agama. Luther belajar doktrin-doktrin penting gereja. Luther remaja mengembangkan kepercayaan bahwa Allah pasti menghakimi segala perbuatannya pada akhir zaman. Dan hanya berdoa kepada Kristus, Maria dan para orang suci sebagai perantara maka akan beroleh rahmat pengampunan dari Allah Bapa.
Pada usia 14, Luther hijrah ke Magdeburg, masuk Sekolah dari Katedral setempat. Hal yang perlu dicatat, Luther berjumpa dengan ajaran beberapa pendidik yang merupakan anggota Persaudaraan Brethen. Persaudaraan Brethen adalah salah satu kelompok aliran Kristen Mistik yang memang cukup banyak menjamur sejak sekitar dua abad sebelum Reformasi. Penekanan mereka pada hubungan yang akrab dengan Allah (devosi) melalui pembacaan Alkitab dan doa pribadi. Ajaran mereka membentuk kesalehan Luther yang akan mewarnai kehidupan Luther seterusnya.
Setelah menempuh pendidikan pra universitas di Eisenach, Luther masuk Universitas Erfurt, salah satu universitas terbaik masa itu di Jerman. Perpustakaan Universitas Erfurt juga dikenal cukup lengkap. Dapat dipastikan, Luther melahap habis pelbagai tulisan penting baik dari Abad Pertengahan maupun sebelumnya di perpustakaan ini. Pada tahun 1502, Luther merampungkan gelar pertamanya dalam Liberal Arts. Sambil melanjutkan studi ke jenjang master, Luther mengajar di universitasnya dalam bidang tata bahasa dan logika. Pada tahun 1505, Luther memperoleh gelar master.
Selama kuliah, Luther memiliki kerinduan yang besar untuk secara sungguh mencari Allah dan mempelajari Alkitab, dia sempat terpikir untuk masuk ke biara sebagai cara terbaik untuk memenuhi kerinduannya itu. Namun ayahnya menolak keinginannya. Sang ayah menganggap jurusan hukum sebagai yang terbaik untuk masa depannya. Dalam ketaatannya kepada orangtua, Luther masuk Universitas Leipzig pada tahun 1505, dan tentunya mengambil jurusan hukum. Luther sama sekali tidak bahagia dengan studinya. Pada tahun yang sama, Luther mengalami suatu peristiwa penting yang mengubah jalan hidupnya secara drastis.
Tepatnya tanggal 2 Juli 1505, ketika itu, Luther sedang dalam perjalanan dari Mansfield ke Erfurt. Dalam perjalanan itu, dia terjebak dalam hujan badai yang menakutkan. Tidak jauh dari desa Stotternheim, beberapa mil dari Mansfield, Luther dikejutkan oleh kilat yang menyambar di dekatnya. Tiba-tiba gambaran akan kematiannya begitu nyata di depan matanya. Dia teringat akan dosa di masa mudanya, dan pengadilan Tuhan seakan sudah di ambang pintu. Dalam ketakutan yang sangat, Luther berdoa kepada Santa Anna. Dalam doanya, Luther bersumpah bahwa seandainya dia dilepaskan dari marabahaya ini, maka dia akan menjadi rahib selama sisa hidupnya. Dan dia pun berhasil lolos dari hujan badai itu. Dua minggu kemudian, Luther dengan hati yang mantap, mengutarakan keinginannya untuk menjadi rahib kepada para sahabat dan keluarganya. Sang ayah begitu marah dengan keputusannya itu. Namun kali ini, Luther bergeming. Dia memenuhi kaulnya dengan masuk biara Agustinian di Erfurt, meskipun harus melawan kehendak ayahnya.
Sang Rahib yang Gelisah
Setelah dua tahun belajar sebagai calon rahib, Luther ditahbiskan pada tahun 1507. Selama di Biara, Luther rajin menelaah seluruh isi Alkitab. Konon, Luther hafal hampir seluruh Perjanjian Baru dan beberapa bagian dari Perjanjian Lama. Luther menemukan bahwa begitu banyak bagian dari Alkitab yang tidak pernah diceritakan dalam misa-misa reguler. Luther mulai merasakan kejanggalan dari kebijakan gereja saat itu yang membatasi pembacaan dan penafsiran Alkitab oleh para pejabat gereja saja, jemaat awam sama sekali tidak diizinkan untuk membacanya. Suatu sistem yang justru menjauhkan jemaat dari kekayaan Alkitab.
Jika kita membayangkan Luther sebagai tokoh yang selalu teguh hati sejak muda, maka kita salah. Awalnya, Luther yakin bahwa dengan menjadi biarawan maka kegelisahannya tentang penghukuman Allah akan sirna. Sebelum masuk biara, Luther menganut ajaran via moderna yang sudah digemarinya sejak di Universitas Erfurt. Suatu modifikasi dari ajaran kuno Pelagius (rival Agustinus). Menurut via moderna, Allah akan memberikan anugerah kepada orang berdosa yang sungguh-sungguh mencari Dia. Seolah, Allah telah berjanji akan mengaruniakan anugerah pengampunan sejauh orang berdosa bisa mencapai syarat minimum yaitu datang kepada-Nya. Kemiripan dengan Pelagius terletak pada faktor inisiatif manusia, bahwa orang berdosa masih memegang inisiatif untuk pengampunan dosanya, dan Allah terikat dengan kewajiban untuk mengampuninya. Demikianlah, dengan diinspirasikan via moderna, Luther berusaha sekuat tenaga menjadi rahib yang saleh dan tekun. Dia pernah sesumbar, “Kalau ada rahib yang bisa masuk surga karena kesalehannya, pastilah aku!”. Namun dalam hati kecilnya, Luther tetap gelisah dan takut akan penghukuman Allah.
Pada tahun 1508, atas ajakan gurunya, Johannes von Staupitz, Luther menjadi pengajar bidang Filsafat Moral di Universitas Wittenberg yang baru didirikan. Luther mengajar sambil melanjutkan studi teologinya. Setahun kemudian, Luther menamatkan sarjana teologinya. Pada tahun 1512, Luther berhasil meraih gelar doktor dalam bidang teologi dari Universitas yang sama. Sebelumnya, pada tahun 1510, Luther berkesempatan mengunjungi kota suci Vatikan. Awalnya, Luther begitu terpesona dengan pusat pemerintahan gereja tertinggi ini. Diceritakan, saat dia tiba di Roma, dia berlutut dan berteriak, “Aku menyapamu hai Roma yang suci, sucilah engkau karena darah martir yang tertumpah bagimu!”. Luther berharap kunjungannya ke Roma meredakan kegelisahan hatinya, Namun setelah sekian hari dia melihat kota suci, dia berbalik kecewa dengan segala praktik kotor dan sikap keduniawian pejabat gereja. Pada perjalanan pulang, Luther melukiskan kekecewaannya, “Biarlah segala yang suci tidak pernah ke Roma. Karena di Roma segalanya diizinkan, kecuali orang jujur.”
Jabatan Luther sebagai pengajar diperluas pada tahun 1511. Luther ditugasi mengajar kitab-kitab spesifik. Dari kuliah-kuliah awal, tampak jelas Luther masih memegang posisi via moderna. Seiring dengan waktu, ketika Luther mempersiapkan kuliah kitab Roma (1515-1516), dia menemukan beberapa kesukaran besar dari pandangan via moderna. Konsep “iustita Dei” (Kebenaran Allah) begitu dominan dalam kitab Roma. Allah dengan kebenarannya yang sempurna akan mengadili setiap orang. Bagaimana bila orang berdosa sesungguhnya tidak akan pernah memenuhi standar keadilan Allah supaya dibenarkan, meskipun orang berdosa dengan tulus mencari-Nya? Pertanyaan ini benar-benar menghujam ke sanubari Luther. Pertanyaan ini bukanlah bersifat akademis belaka, namun memberikan dilema batin yang luar biasa. Kebenaran Allah hanya akan mendatangkan kutukan dan hukuman bagi orang berdosa, tanpa terkecuali dirinya. Luther menuliskan, “Meskipun aku hidup tidak bercela sebagai seorang rahib, namun aku yakin bahwa aku tetap orang yang berdosa dan hati nuraniku sangat gelisah di hadapan Allah. Aku tidak percaya segala perbuatanku dapat menyenangkan Allah.”
Pada suatu malam, sekitar akhir tahun 1514, dalam suatu penggalian Alkitab pribadi di menara biara Wittenberg, Luther terpaku pada tulisan Rasul Paulus dalam kitab Roma 1:16-17. Tulisan Paulus begitu menggetarkan hatinya. Sepanjang malam dia tidak bisa tidur dan memikirkannya. Setelah bergumul begitu berat dan dengan pertolongan Allah, Luther tiba pada suatu pencerahan. Diduga kuat, bacaan Luther dari tulisan Agustinus tentang doktrin anugerah turut mengambil andil dalam pengalaman eksistensial ini. “Orang benar akan hidup oleh iman”, begitu adagium dari doktrin anugerah yang memberikan titik balik dari krisisnya.
Luther mengingat ajaran Agustinus tentang “Anugerah” yang pernah dibacanya. Doktrin “Anugerah” yang pernah dituliskan Agustinus dalam buku “Pengakuan-pengakuan” (Confessions) adalah salah satu ajaran penting yang telah begitu lama dilupakan gereja. Sederhananya, doktrin ini meyakini bahwa tidak ada satupun manusia berdosa mampu menyelamatkan dirinya. Hanya Allah yang dapat mengampuni manusia dalam kedaulatan-Nya. Pengampunan inilah yang disebut anugerah, suatu rahmat yang sebenarnya tidak layak diberikan kepada kita. Bahkan iman pun adalah pemberian Allah, bukan usaha dan keputusan manusia.
Pencerahan ini membuat Luther sadar akan kekeliruan besar dari ajaran via moderna dan ajaran gereja yang lain. Alkitab dan Agustinus telah “melahirkan” Luther kembali. Dan perubahan ini tidak sekedar pada dimensi rasional. Luther menyaksikan betapa segala kegelisahan hatinya lenyap, “Seperti ada tertulis bahwa orang benar hidup oleh imannya. Ini membuat aku seperti dilahirkan kembali. Kini aku seakan berdiri di depan pintu gerbang surga dalam suatu terang yang baru. Kalau dulu aku membenci ungkapan ‘Kebenaran Allah’, maka sekarang aku mulai mencintai dan memujinya sebagai ungkapan yang paling manis…” Luther pun mulai melihat seluruh isi kitab suci dengan sudut pandang yang baru.
Di kemudian hari, doktrin “Pembenaran oleh Iman” menjadi dasar dari seluruh bangunan teologi Luther. Peristiwa pemakuan 95 dalil di pintu gereja Wittenberg sebenarnya konsekuensi dari pandangan Luther yang telah diperbaharui beberapa tahun sebelumnya. Allah mengubah pergumulan Luther yang pelik itu menjadi semacam “Reformasi” dalam dirinya terlebih dahulu, sebelum dia memimpin gerakan Reformasi yang lebih besar dan berat.
Penjualan Surat Indulgensi dan Penolakan Luther
Keberatan Luther terhadap beberapa ajaran gereja saat itu sebenarnya sudah mulai sejak dia mengerti doktrin anugerah (sekitar akhir 1514). Dalam risalah kuliahnya setelah tahun 1515, Luther mulai menyoroti kesalahan ajaran seperti konsep orang kudus dan Paus sebagai perantara. Namun kritik Luther ini hanya berkutat sejauh dinding kampus. Sampai tibalah hari yang monumental itu, ketika Luther memakukan 95 dalildi pintu gereja Wittenberg pada tanggal 31 Oktober 1517. Tanggal bersejarah yang kini dirayakan sebagai Hari Reformasi.
Pemakuan 95 dalil merupakan reaksi Luther atas penjualan surat pengampunan dosa (indulgensi) yang berlangsung di hampir seluruh daratan Eropa. Penjualan surat ini atas amanat Paus Leo X (1475-1521, berkuasa sejak 1513). Dia adalah seorang Paus yang begitu fanatik dengan segala yang berbau seni Renaisans. Ambisinya adalah membangun basilika Santo Petrus dengan arsitektur ala Renaisans yang mewah dan mengisinya dengan aneka barang seni kelas tinggi. Sayangnya, keuangan gereja yang morat marit tidak melapangkan ambisinya itu. Untuk menggalang dana yang dibutuhkan, dia memerintahkan penjualan surat pengampunan dosa secara luas dan intensif.
Surat indulgensi adalah dokumen tertulis yang diterbitkan otoritas gereja. Dengan membelinya (harganya berbeda-beda menurut status dan golongan pembeli), maka seseorang dapat memperoleh jaminan penghapusan dosa, baik dosanya di masa lalu dan yang akan terjadi di masa depan. Sampai ada penulis yang mengejeknya sebagai “Surat Izin Berdosa” (license to sin). Hebatnya lagi, surat ini pun bisa dibeli untuk “mengeluarkan” jiwa orang yang telah mati dari “api penyucian” (purgatori). Semakin banyak surat yang dibeli, maka semakin banyak jiwa orang tercinta yang telah meninggal untuk dibebaskan.
Surat ini dijual terutama ke kalangan jemaat awam yang mayoritas terdiri dari petani, tukang dan kaum jelata lainnya. Mereka begitu rentan dengan praktik ini. Di samping kepolosan karena tingkat pendidikan yang rendah, mereka pun juga percaya aneka tahayul seperti gambaran dunia kematian. Kondisi inilah yang menjadikan mereka sebagai sasaran empuk penjualan surat indulgensi. Mereka berbondong-bondong menjual segala kepunyaannya hanya untuk bisa membeli surat indulgensi. Gereja bahkan seperti tidak lagi peduli bagaimana jemaat awam yang miskin memperoleh uangnya, yang terpenting uang mereka masuk kas gereja. Ada juga gereja lokal yang menolak praktik ini, seperti gereja di Spanyol yang dipimpin Kardinal Ximenez. Tapi sebagian besar gereja lainnya menjadi perpanjangan tangan Paus dalam penjualan surat indulgensi.
Luther sendiri terpicu oleh khotbah salah seorang utusan Paus, seorang pengkhotbah terkenal, Johann Tetzel. Dengan berkeliling ke kota-kota di Jerman, Tetzel dengan persuasif berusaha meyakinkan jemaat untuk membeli surat indulgensi. Kalimatnya yang terkenal dan sering diucapkannya, “Saat uang logam bergemerincing masuk kotak uang, maka jiwa dari api penyucian akan terbebaskan.” Sangat banyak jemaat yang terbujuk oleh Tetzel. Sekelompok jemaat Wittenberg yang diasuh Luther pun sengaja pergi ke kota Juteborg dan Zerbst yang disinggahi Tetzel. Merekalah yang ketika kembali ke Wittenberg menceritakan semuanya kepada Luther. Penjualan surat indulgensi ini sangat bertolak dengan pengampunan sebagai anugerah Allah yang diimani Luther.
Ada dua kesalahpahaman umum yang mesti diluruskan tentang reaksi Luther ini. Pertama, tema besar dalil Luther adalah keberatannya terhadap praktik penjualan surat indulgensi. Luther tidak mengajukan keberatan secara komprehensif terhadap ajaran gereja lainnya. Keberatan Luther terhadap doktrin gereja lainnya baru muncul di kemudian hari. Kedua, dalil-dalil Luther sebenarnya adalah bagian dari suatu ajakan sopan untuk berdiskusi seputar masalah penjualan surat indulgensi. Pada masa Luther hidup, adalah suatu kebiasaan bila ada topik yang hendak didiskusikan atau diperdebatkan maka seseorang bisa memakukan undangannya di pintu gereja Wittenberg. Bahkan dalam paragraf pengantar dalilnya itu, Luther menuliskan, “Berdasarkan cinta kepada kebenaran dan keinginan untuk memeriksa masalah ini, beberapa dalil di bawah ini untuk kita diskusikan… Siapapun yang tidak bisa berdiskusi secara langsung, dipersilakan menuliskannya.” Peristiwa pemakuan dalil oleh Luther sesungguhnya bukan peristiwa yang dramatis, radikal dan aneh untuk ukuran saat itu. Luther hanya mengajak berdiskusi, bukan memberontak dari gereja. Tuduhan bahwa Luther mau memprovokasi jemaat juga harus dibuang. Luther menuliskan dalilnya dalam bahasa Latin, yang tentunya bukan bahasa pakai jemaat awam. Para ahli yakin bahwa ajakan diskusi Luther ini ditujukan kepada kaum akademisi.
Mulanya, reaksi otoritas gereja pun tidak terlalu heboh. Saat Paus Leo X dilaporkan oleh Uskup Agung Albert, dia hanya menganggap Luther sebagai orang yang kehilangan akal sehatnya dan sedang mabuk. Paus tidak terlalu menggubrisnya ketika itu. Tidak lama kemudian, ada pihak-pihak tertentu yang menyalin ulang, mencetak dan membagikan 95 dalil Luther ini keluar Wittenberg. Luther sendiri tidak berada di belakang ini. Tanpa disadarinya, dia semakin terkenal di kalangan jemaat beberapa kota di Jerman. Dengan berlandaskan pandangan Luther, mereka mulai berani menolak membeli surat indulgensi. Pada saat seperti inilah, otoritas gereja baru bereaksi keras.
Pertemuan Augsburg
Penyebaran salinan 95 dalil bukan lagi dalam bahasa Latin tapi sudah diterjemahkan ke bahasa Jerman. Pihak yang menerjemahkan sama misteriusnya dengan pihak yang menyebarkannya. Penyebaran yang semakin luas ke pelbagai kota di Jerman sungguh mengubah jalan hidup Luther. Dari rahib biasa dan guru di universitas yang tidak terkenal (Wittenberg), kini namanya mulai mencuat dan mengundang kontroversi. Tidak lama sejak penyebaran, reaksi keras pertama muncul dari salah seorang sahabat Luther sendiri, John Eck. Eck adalah Profesor Teologi di Universitas Bavarian (Ingolstadt). Kardinal Pirerias, advisor Paus Leo X, juga mencap Luther sebagai bidat.
Pada bulan Mei tahun 1518, Luther menuliskan risalah “Resolusi Tentang Kebaikan Indulgensi”. Dalam risalahnya, Luther menerangkan motivasinya dan menjabarkan 95 dalilnya lebih terperinci. Luther menuliskan bahwa dia tidak bermaksud menciptakan kebingungan dan konflik dalam tubuh gereja. Meskipun Luther menjelaskan bahwa Paus sebagai manusia mungkin bisa bersalah namun Luther masih menunjukkan respeknya terhadap Paus. Dalam surat pengantarnya, Luther masih menyapa Paus sebagai “Bapa Suci”. Luther menyatakan kesediaannya untuk dihukum sesuai dengan peraturan gereja. Tampak jelas, dalam risalah ini, Luther masih bersikap sangat hati-hati dan cenderung takut.
Setelah Paus membaca risalah Luther yang merupakan jawabannya atas kejadian Wittenberg, Paus meminta Luther untuk segera ke Roma. Luther menduga kemungkinan sangat besar dia akan dipenjara akibat tuduhan bidat dan tidak akan kembali ke Jerman. Bangsawan Jerman (elektor) Frederick yang Bijaksana, bangsawan yang bersimpati dengan Luther, membantu Luther dengan bernegosiasi kepada pihak gereja agar pertemuan dengan Luther dilangsungkan di Jerman. Atas izin Paus, Kardinal Cajetan (Thomas de Vio) mengadakan pertemuan dengan Luther di Augsburg, Jerman.
Pada tanggal 7 Oktober 1518, setahun setelah kejadian Wittenberg, Luther menghadap Kardinal Cajetan yang mewakili Paus. Setibanya di Augsburg, Luther terkejut dengan dukungan rakyat atas dirinya. Dukungan publik ini sungguh melahirkan keberanian baru dalam diri Luther, yang sebelumnya tidak pernah ia miliki. Dalam pertemuan itu, Luther dipaksa untuk menarik kembali 95 dalilnya dan mengaku salah. Luther yang kini lebih percaya diri karena memperoleh dukungan rakyat, dengan tegas menolak permintaan Kardinal Cajetan. Luther hanya mau mengubah pandangannya bila Kardinal Cajetan bisa menunjukkan kesalahannya sesuai dengan Alkitab. Penolakan Luther ini membangkitkan amarah Kardinal Cajetan. Dia menyebut Luther sebagai “Cacing Sial”. Setelah tiga hari berdebat, pertemuan berakhir tanpa hasil yang diharapkan pihak gereja. Luther tetap pada pandangannya. Keberanian Luther menentang otoritas gereja menambah rasa simpati rakyat yang secara timbal balik juga menumbuhkan keberanian lebih besar dalam diri Luther.
Perdebatan Leipzig
Kalangan akademis pun terpecah dua, antara yang mendukung dan menentang Luther. Dalam suatu pertemuan yang terkenal dengan sebutan “Perdebatan Leipzig” pada bulan Juli 1519, untuk pertama kalinya para akademisi secara formal memperdebatkan pandangan Luther. Debat ini diikuti kedua pihak yang berseberangan. Dari pihak Luther diwakili oleh Andreas von Carlstadt, seorang kolega Luther di Universitas Wittenberg yang merupakan basis utama pro Luther. Sedangkan pihak penentang diwakili oleh John Eck. Keduanya mulai berdebat seputar kehendak bebas manusia dan anugerah Allah.
Setelah beberapa hari berdebat, Luther menyusul ke Leipzig. Antara tanggal 4 sampai 14 Juli, Luther berdebat dengan Eck tentang pelbagai ajaran gereja masa itu, antara lain: purgatori, indulgensi, dan sakramen pengakuan dosa. Salah satu tema perdebatan yang menonjol adalah soal kedudukan Paus. Dalam perdebatan, Luther sudah memposisikan dirinya lebih berani sebagai penentang konsep kepausan dalam gereja. Luther bukan lagi hanya menolak absolutisme (infabilitas) Paus. Bagi Luther, kedudukan Paus sama sekali tidak diperlukan dan tidak sesuai ajaran Alkitab. Luther merujuk pada model gereja mula-mula. Menurutnya, Kristus adalah kepala gereja itu sendiri, bukan Paus. Lebih jauh, Luther mengemukakan bahwa sejak orang beriman ditebus maka sama sekali tidak perlu ada mediator antara dia dan Tuhan. Setiap orang beriman bebas menghadap Allah sendiri sebagaimana Bapa dan anak. Secara tidak langsung, Luther juga menolak konsep orang suci (santo dan santa) sebagai mediator.
Digambarkan bahwa perdebatan ini “dimenangkan” oleh Eck karena sebagian besar kaum akademisi memihak Eck. Namun pada tingkat jemaat awam, Luther dipandang sebagai pahlawan. Tentu keberpihakan mereka kepada Luther bukan pertama-tama karena perkara teologis. Mereka melihat Luther sebagai orang yang berjasa dalam menyadarkan mereka dari eksploitasi otoritas gereja secara sosial ekonomis seperti yang terjadi pada penjualan surat indulgensi. Kaum bangsawan pun mulai melirik Luther sebagai rekan potensial dalam memperjuangkan kemandirian politis mereka dari unsur pengaruh gereja seperti yang telah berlangsung berabad-abad.
Bagi Luther sendiri, Perdebatan Leipzig semakin mengukuhkan pandangannya terhadap pelbagai kekeliruan gereja. Perdebatan tersebut justru lebih mempertajam pemikiran Luther. Bila sebelum pertemuan Augsburg, Luther adalah seorang rahib yang tunduk tidak berdaya pada otoritas gereja, maka sejak Perdebatan Leipzig, Luther memandang dirinya sebagai pejuang kebenaran yang memang siap menghadapi risiko. Luther sadar telah memulai suatu konflik besar dalam gereja dan akan berlangsung sampai akhir hayatnya.
Perjuangan Dengan Kertas dan Pena
Pasca Perdebatan Leipzig, Luther mulai sadar bahwa perjuangan lisan saja tidak akan membawa dampak yang besar. Dia mulai beralih ke tulisan sebagai modus perjuangannya. Mungkin Luther belajar dari peristiwa penyebaran salinan 95 dalilnya yang berhasil merebut simpati rakyat meskipun bukan dia yang menyebarkannya. Dengan tulisan, dia berharap bahwa pandangannya semakin tersebar luas dan dapat lebih mudah dipahami oleh pembaca. Pada tahun 1520, Luther menulis tiga risalah sekaligus: “Kepada Para Bangsawan Kristiani” (Agustus), “Penahanan Babilonia” (Oktober) dan “Tentang Kebebasan Manusia Kristiani” (Nopember). Luther meletakkan dasar teologi Lutheran dalam ketiga tulisan ini.
Dalam “Kepada Para Bangsawan Kristiani”, Luther mengajak para bangsawan untuk turut bekerja sama memperbaharui gereja dan menolak dominasi politis gereja Roma. Luther menganggap para bangsawan lebih mudah untuk mengadakan perubahan dalam gereja ketimbang para rohaniwan. Di mata Luther, rohaniwan justru lebih resistan terhadap perubahan karena unsur takut kehilangan jabatan dan kenyamanan status quo. Luther juga menambahkan bahwa, dalam kasus khusus, orang luar (non rohaniwan) bisa mendapat mandat khusus dari Allah untuk mengambil alih kepemimpinan gereja sejauh gereja sudah tidak bisa mengkoreksi dirinya sendiri lagi.
Luther tidak anti terhadap kepemimpinan gereja sebagaimana yang sering disangkakan lawannya ketika dia menolak kepausan. Justru Luther mengharapkan adanya pemimpin yang mampu membawa gereja untuk kembali kepada kebenaran. Perbedaan Luther tentang kepemimpinan gereja adalah, salah satunya: Luther setuju dengan kepemimpinan oleh jemaat itu sendiri (priesthood of laity). Pemikiran Luther ini akan mempengaruhi John Knox (1505-1572) yang menjadi perintis model pemerintahan gereja berbentuk Presbiterian.
Sedangkan melalui “Penahanan Babilonia”, Luther mengumpamakan umat gereja Abad Pertengahan sebagai tawanan dari gereja. Begitu banyak ajaran gereja yang tidak Alkitabiah namun dipaksakan kepada mereka. Sementara akses umat ke Alkitab begitu dibatasi. Luther juga menolak lima sakramen kudus karena tidak sesuai ajaran Alkitab. Luther hanya mengakui dua sakramen yaitu Perjamuan Kudus dan Pembaptisan. Doktrin tentang anugerah kembali diulas Luther. Luther mengkaitkan anugerah pengampunan dari Allah dengan kebebasan manusia beriman untuk berelasi dengan Allah. Penjelasan Luther tentang doktrin anugerah akan berlanjut dalam “Tentang Kebebasan Manusia Kristiani”.
Di samping ketiga tulisan kunci itu, Luther pun menuliskan risalah singkat berjudul “Tentang Kepausan di Roma” pada Juni 1520. Dalam tulisan ini, jelas-jelas Luther menyebut Paus sebagai “Anti Kristus”. Padahal dua tahun sebelumnya, dalam suratnya kepada Paus, Luther masih menyebutnya “Bapa Suci”. Semua tulisan ini benar-benar menyulut kemarahan otoritas gereja Roma.
Melanchthon dan Luther
Biografi Luther yang baik pasti menjelaskan secara khusus tentang Phillip Melanchthon, sahabat karib dan rekan seperjuangan Luther. Hubungan keduanya saling menguntungkan dan mempengaruhi. Luther bertemu Melanchthon pada tahun 1518 di Universitas Wittenberg, ketika keduanya menjabat sebagai pengajar. Mulanya, Luther tertarik dengan tulisan teologis Melanchthon yang menunjukkan kemiripan dengan Luther. Luther pun mengenalkan Melanchthon dengan teologinya. Sebaliknya, Melanchthon mengajarkan Luther bahasa Yunani. Melanchthon adalah pengajar yang sangat populer di universitasnya. Kuliahnya selalu dihadiri oleh banyak mahasiswa. Padahal, Melanchthon tidak menyandang gelar Doktor Teologi seperti Luther. Dia juga bukan seorang rahib seperti Luther. Dia adalah orang awam yang sangat cerdas dan mengasihi Tuhan.
Walau keduanya mempunyai kesamaan dalam hal teologi, tidak begitu dengan karakternya. Bila Luther digambarkan sebagai pribadi yang berani, frontal dan terus terang (setidaknya setelah pertemuan Augsburg) maka Melanchthon justru kebalikannya. Dia tidak terlalu suka konflik langsung dan lebih diplomatis. Meskipun demikian, keduanya membangun persahabatan yang erat dan abadi. Luther pernah memuji Melanchthon, “Dalam karir saya sebagai pengajar, saya paling menghormati nasihat Melanchthon.” Sedangkan, Melanchthon dengan sentimental pernah menulis, “Saya lebih baik mati daripada berpisah dengan orang ini (Luther).”
Sejak tahun 1519, Melanchthon telah menjadi sekutu Luther dalam memperjuangkan reformasi teologi. Bersama Carlstadt, dia termasuk rombongan yang pergi ke Perdebatan Leipzig. Meskipun secara resmi Melanchthon tidak ikut dalam perdebatan, namun dia terus membantu Luther dalam memberikan referensi Alkitab untuk sebagian besar argumentasi Luther ketika berdebat dengan Eck.
Melanchthon juga berjasa sebagai orang yang pertama kali mensistemisasikan pemikiran reformasi yang dirintis Luther. Luther sendiri menjelaskan pemikirannya tidak begitu sistematis dan tersebar ke beberapa tulisan. Pada tahun 1921, Melanchthon menerbitkan buku ringkasan pemikiran reformasi, “Loci Communes” (Theological Common-Place). Sebelum diterbitkan, Melanchthon sempat meminta Luther memeriksanya. Luther begitu antusias dengan karya Melanchthon. Alkisah, Luther berkomentar, “Mestinya buku ini masuk sebagai kanon Alkitab.” Topik utama pembahasan “Loci Communes” adalah doktrin anugerah yang menjadi tulang punggung pemikiran teologis perjuangan reformasi.
Sidang Worm
Perkembangan gerakan reformasi yang dipimpin Luther semakin meningkat. Hal ini sungguh meresahkan Paus Leo X. Pada bulan Juni 1920, Paus Leo X mengeluarkan “bull” (semacam surat Paus yang bersifat peringatan). Dalam suratnya, Paus kembali menuntut Luther dan kelompoknya menarik kembali segala pandangannya. Mereka didesak untuk kembali kepada ajaran dari otoritas gereja. Sebagai ancaman, Luther dan kelompoknya akan dikucilkan dari gereja (ekskomunikasi) jika tidak mengindahkan tuntutan Paus dalam 60 hari. Paus juga memerintahkan semua jemaat untuk membakar buku-buku tulisan Luther dan kawan-kawannya.
Pada tanggal 10 Desember tahun yang sama, Luther beserta para pengikutnya mengangkut semua buku teologi terbitan gereja Roma dan juga surat peringatan Paus. Mereka membakar semuanya di depan pintu gerbang timur kota Wittenberg. Sambil membakar semuanya, Luther dan para pendukungnya saling bergandengan tangan dan menyanyikan lagu Te Deum (sebuah pujian bagi Allah). Mereka digambarkan tidak takut sedikitpun terhadap konsekuensi tindakan mereka. Tindakan membakar surat peringatan Paus sebelumnya pernah dilakukan oleh bangsawan atau raja yang tidak takut terhadap Paus. Namun baru kali itu, surat peringatan Paus dibakar oleh seorang rahib!
Atas perbuatannya, Luther dan pendukungnya dikucilkan dari gereja Roma. Namun hal ini belum memuaskan pihak otoritas gereja yang tetap merasa perlu membungkam Luther dan pendukungnya. Maka pada bulan Maret 1521, Luther dipanggil menghadap dewan gereja (diet) yang sedang bersidang di kota Worm, sebelah barat daya Jerman. Dewan gereja ini terdiri dari para rohaniwan yang bertugas membahas pelbagai isu kontemporer. Tentu saja gerakan Reformasi oleh Luther menjadi agenda utama mereka. Sidang ini diselenggarakan oleh Charles V, Kaisar Roma Suci. Sedikit penjelasan konteksnya, waktu itu pusat pemerintahan gereja dibagi ke dua orang yaitu Paus dan Kaisar Roma Suci. Paus dianggap sebagai kepala gereja. Sedangkan Kaisar Roma Suci adalah semacam pelindung secara politis kedudukan Paus.
Awalnya, Luther acuh tak acuh dengan pemanggilannya. Namun atas desakan bangsawan Frederick yang Bijaksana, Luther pun berangkat. Frederick ingin agar Luther memiliki kesempatan sekali lagi untuk membela pemikirannya secara legal atas kesalahan gereja. Apalagi, otoritas gereja menjamin keamanan Luther selama perjalanan dan persidangan. Teman-teman Luther mengkuatirkan kepergian Luther ini. Mereka ingat bahwa sebelumnya ada seorang Reformator bernama John Huss (1374-1415) yang pernah dipanggil gereja untuk bertemu. Saat itu, Huss pun diberikan jaminan keselamatan dirinya oleh pihak gereja. Namun yang terjadi malah Huss ditangkap dan dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Setelah menggumuli dengan seksama dan didukung bangsawan Frederick, Luther pun pergi ke Worm. Ketika menanggapi kecemasan para pendukungnya, Luther berkata, “Aku akan tetap pergi ke Worm bahkan seandainya setan begitu banyaknya seperti banyaknya ubin dan atap rumah.”
Ternyata Luther bukan saja aman selama perjalanan, namun dia disambut hangat oleh jemaat gereja pada setiap kota transit yang disinggahinya. Setelah dua minggu perjalanan, sampailah Luther di Worm. Sambutan orang banyak di Worm tidak kalah meriahnya seperti yang diterimanya saat perjalanan.
Luther menghadap sidang Worm hanya dua kali. Tidak seperti yang diharapkan, Luther tidak diberi banyak kesempatan untuk menjelaskan posisi teologisnya. Seperti pertemuan Augsburg, Luther kembali dituntut untuk “bertobat” dari ajarannya sendiri dan kembali ke ajaran gereja Roma. Otoritas gereja sengaja mengelak untuk berdebat dengan Luther. Mereka berdalih bahwa doktrin gereja bukanlah untuk didiskusikan. Luther dituduh sedang berspekulasi dengan doktrin gereja yang telah menjadi tradisi berabad-abad. Pada hari kedua Luther menghadap, Luther memberikan jawaban yang terkenal itu, “… kecuali kesalahan pandangan saya diberitahu menurut Alkitab dan alasan yang jelas, maka saya tidak dapat dan tidak mau mengubahnya. Di sinilah saya berdiri. Tidak ada lagi yang dapat saya perbuat.”
Di luar sidang, para teolog pun coba membujuk Luther untuk menganulir pandangannya. Luther tetap pada posisinya agar segala kesalahannya harus merujuk dari Alkitab sendiri. Jika tidak ada satu pun yang bisa membuktikan kesalahan Luther dari Alkitab maka Luther sama sekali tidak mau berkompromi. Pada tanggal 25 April, Luther diizinkan kembali ke Wittenberg. Sejak saat itu, otoritas gereja menganggap Luther dan pendukungnya sebagai musuh gereja. Luther tidak mungkin bisa dihentikan dengan cara ancaman dan peringatan lagi. Sementara itu, sidang Worm yang masih berlangsung setelah Luther pulang kampung, memutuskan Luther sebagai bidat dan bukan warga gereja. Keputusan ini tertuang dalam Edict of Worms dan resmi ditandatangani oleh Charles V pada tanggal 25 Mei 1521. (sarapanpagi.org)