Diakonia.id – Hari Lahir Pancasila 2022 yang jatuh pada hari Rabu (1/6) diperingati secara khidmat dengan upacara yang diadakan di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.Upacara yang dipimpin Presiden RI Joko Widodo sebagai inspektur upacara tersebut mengambil tema “Bangkit Bersama Membangun Peradaban Dunia”.
Pancasila dicetuskan Ir. Sukarno dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 1 Juni 1945 di Gedung Chuo Sangi In (saat ini Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jalan Pejambon, Jakarta Pusat).
Dalam pidatonya, Sukarno menggagas lima sila sebagai dasar negara yang disebut dengan Pancasila, mengadopsi lima sendi yang disebutkan dalam Kakawin Sutasoma. Bhinneka Tunggal Ika, yang menjadi moto nasional, juga diadopsi dari kitab sastra karya Mpu Tantular tersebut.
Setiap 1 Juni kemudian ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila, sebagai upaya agar kelestarian dan kelanggengan Pancasila senantiasa diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta diketahui asal usulnya oleh bangsa Indonesia dari waktu ke waktu dari generasi ke generasi.
Penetapan Hari Lahir Pancasila pada dasarnya merupakan upaya untuk membumikan kembali Pancasila kepada generasi muda Indonesia, yang seolah mulai terlupakan sejak rezim Orde Baru runtuh dalam Reformasi 1998.
Diakui atau tidak, rezim Orde Baru relatif berhasil dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila di benak bangsa Indonesia melalui Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) serta berbagai propaganda.
Almarhum Prof. Umar Kayam, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, dalam kolomnya yang rutin terbit di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta periode 1987 hingga 1999 (kemudian dibukukan sebagai tetralogi Mangan Ora Mangan Kumpul), kerap kali membanggakan diri sebagai lulusan terbaik Penataran P4 se-DIY.
Sayang, setelah Reformasi 1998 bergulir semua hal yang “berbau” Orde Baru mulai ditinggalkan, termasuk Penataran P4 dan kesakralan Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap 1 Oktober.
Sebagai sebuah ideologi bangsa, sudah seharusnya Pancasila dihayati dan diamalkan oleh setiap individu yang mengaku sebagai bangsa Indonesia. Menjadi tugas Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) untuk melakukan berbagai upaya untuk membumikan kembali Pancasila, terutama di kalangan generasi milenial dan posmilenial.
Propaganda
Sebagaimana pernah dilakukan Orde Baru, salah satu cara yang bisa dilakukan dalam membumikan Pancasila adalah melalui propaganda meskipun kata tersebut saat ini relatif memiliki konotasi negatif dan dipandang sebagai suatu cara yang buruk dan kotor.
Propaganda dapat diartikan sebagai proses diseminasi informasi untuk memengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok masyarakat dengan motif indoktrinasi ideologi.
Sosiolog dan filosof Prancis Jacques Ellul mendefinisikan propaganda sebagai “komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan dalam suatu organisasi”.
Propaganda sudah dilakukan sejak lama dan awalnya tidak memiliki konotasi negatif. Pada tahun 1622, Paus Gregorius XV dari Vatikan membentuk Congregatio de Propaganda Fide, yaitu kumpulan misionaris yang dikirim ke berbagai tempat untuk menyebarkan doktrin-doktrin Gereja kepada sekelompok orang yang diharapkan bisa menjadi pemeluk baru Katolik.
Propaganda mulai mendapatkan konotasi negatif setelah dipraktikkan oleh rezim Nazi Jerman saat Perang Dunia II. Joseph Goebbels, menteri propaganda Jerman saat itu, membawa propaganda sebagai upaya yang kotor dan menghalalkan segala cara.
Pernyataan Goebbels yang cukup terkenal adalah “Propaganda tidak mengenal aturan dan etika. Tujuannya ialah membelenggu rakyat dengan segala cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan”.
Propaganda sebenarnya tidak lain adalah sebuah persuasi politik. Sebagai sebuah transmisi pesan persuasi, yang perlu dipertimbangkan adalah komunikatornya, pesannya, dan media yang digunakan.
Indoktrinasi Pancasila kepada generasi milenial dan posmilenial perlu memilih komunikator yang tepat dengan mempertimbangkan latar belakang dan rekam jejak mereka. Sejumlah pemengaruh dari kalangan milenial bisa dipilih karena mereka memiliki cukup banyak pengikut sehingga diharapkan terjadi bandwagon effect, yaitu pengikut terpengaruh oleh figur yang mereka ikuti.
Pesan-pesan tentang Pancasila pun perlu dirancang semenarik mungkin dan kekinian bagi generasi milenial dan posmilenial. Pesan-pesan yang terlalu berbau “propaganda” dan “indoktrinasi” dengan slogan-slogan perlu dihindari agar tidak menimbulkan penolakan dari kalangan generasi muda.
Media yang digunakan pun harus dipertimbangkan. Generasi milenial dan posmilenial sangat familier dengan media sosial sehingga penggunaan media sosial untuk menyampaikan pesan-pesan kekinian dari para komunikator perlu menjadi salah satu saluran utama.
Budaya Populer
Salah satu media untuk melakukan komunikasi persuasi adalah melalui budaya populer. Dalam praktiknya, sejumlah karya budaya populer memang digunakan dalam berbagai propaganda.
Salah satu penggunaan budaya populer sebagai propaganda bahkan dilakukan Amerika Serikat melalui kartun Donal Bebek karya Walt Disney. Dalam kartun berjudul Der Fuehrer’s Face yang dirilis pada tahun 1942, digambarkan Donal sebagai warga negara Nutzyland yang harus bekerja sebagai buruh di pabrik amunisi.
Donal harus tersiksa mengikuti ritme kerja yang tidak manusiawi hingga menjadi gila. Cerita berakhir dengan realita bahwa Donal hanya bermimpi dan dia terbangun di rumahnya, di Amerika Serikat, kemudian mencium miniatur Patung Liberty dan mengucapkan “Aku bahagia menjadi warga negara Amerika Serikat”.
Amerika Serikat juga melakukan propaganda menggunakan budaya populer melalui seri film “Rambo” untuk menggambarkan kejayaan dan kehebatan tentara Amerika. John J. Rambo, sang veteran Perang Vietnam digambarkan sebagai prajurit tak terkalahkan dan mampu memporakporandakan kamp tentara Vietnam seorang diri, berbanding terbalik dengan realitas bahwa Amerika Serikat ada di pihak yang kalah dalam Perang Vietnam.
Film-film Holywood menjadi salah satu media bagi Amerika Serikat untuk melakukan propaganda. Dalam banyak film, Amerika Serikat selalu digambarkan sebagai pihak yang menjadi pahlawan saat dunia mengalami krisis, misalnya saat terjadi serangan alien atau benda luar angkasa yang akan menabrak bumi.
Kepahlawanan Amerika Serikat dalam mengalahkan alien terlihat dalam film Independence Day (1996), saat sang Presiden Amerika Serikat memimpin sendiri perang sebagai pilot pesawat tempur. Kemenangan terhadap alien digambarkan terjadi pada tanggal 4 Juli, yang tidak mungkin kebetulan sama dengan hari kemerdekaan Amerika Serikat.
Penggunaan budaya populer seperti film sebagai media propaganda juga pernah digunakan oleh rezim Orde Baru. Salah satu film yang mungkin paling dikenang adalah Pemberontakan G-30-S/PKI atau Janur Kuning.
Oleh karena itu, penggunaan film sebagai media propaganda sudah bukan hal baru bagi sineas Indonesia. BPIP, sebagai leading sector dalam upaya membumikan Pancasila, barangkali bisa menggandeng sineas-sineas Indonesia untuk membuat film tentang Pancasila.
Di sisi lain, sineas Indonesia mungkin juga tertarik untuk membuat film tentang nilai-nilai Pancasila. Kita tunggu saja.
*) Dewanto Samodro, Dosen Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta dan mantan jurnalis (antara)