Jakarta -Sebagai muslim saya malu melihat banyaknya perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh sebagian orang Islam kepada umat Kristen. Mereka hendak beribadah, diganggu. Mau membangun gereja dipersulit. Hendak memberikan pelayanan sosial kepada sesama manusia, dihalangi. Kenapa kita ini?
Mereka melakukan kristenisasi, begitu tuduhannya. Apa itu kristenisasi? Mengajak orang masuk Kristen. Dalam bahasa Islam disebut berdakwah. Apa hukumnya berdakwah dalam ajaran Islam? Wajib. Sama halnya, umat Kristen juga punya kewajiban yang sama. Kenapa kita gusar dengan umat lain yang menjalankan kewajiban agamanya?
Tapi mereka menggunakan materi untuk mengiming-imingi orang. Lalu, apa bedanya dengan kita? Ajaran Islam mengajarkan bahwa muallaf adalah satu dari 8 golongan yang berhak menerima zakat. Muallaf itu tidak selalu berarti orang yang sudah masuk Islam. Ia dapat pula bermakna orang yang sudah condong kepada Islam.
Seberapa sahih tuduhan kristenisasi itu? Entahlah. Saya sendiri punya pengalaman yang berbeda. Di tahun 70-an tidak ada rumah sakit di Pontianak selain RS St. Antonius. Bahkan pemerintah pun seingat saya belum menyediakan RS. RSUD Sudarso baru dibuka tahun 1980.
Selama berpuluh tahun ini RS St. Antonius melayani warga, dari segala macam agama dan suku. Dengan adanya RSUD pun tetap banyak yang mereka layani, karena pengguna jasanya semakin banyak, seiring pertambahan penduduk. Ketika saya tinggal di Pontianak tahun 2004-2005, anak-anak saya juga dirawat di situ ketika sakit.
Kristenisasi? Sejauh yang bersinggungan dengan keluarga kami, tidak ada. Tidak ada yang pernah ditawari, diajak, terlibat dengan peribadatan Katolik. Murni mereka memberikan layanan kesehatan. Bahkan terhadap pasien yang menerima layanan gratis karena tidak mampu, juga tidak ada tawaran seperti itu.
Demikian pula halnya dengan layanan sekolah. Entah ada berapa ribu sekolah Katholik dan Protestan di Indonesia. Entah berapa juta anak-anak muslim sekolah di situ. Adakah yang punya data, berapa persen dari mereka yang masuk Kristen?
Ada sepupu saya yang waktu sekolah menumpang di rumah kami. Ayah saya, karena masih harus menyekolahkan banyak anaknya sendiri, tidak sanggup membiayai secara penuh untuk kemanakannya itu. Dia hanya menumpang tinggal dan makan saja. Sedangkan biaya sekolah, ia harus cari sendiri. Kepala SMA Santu Petrus Pontianak waktu itu memberi dia kemudahan. Ia boleh sekolah gratis di situ. Padahal itu adalah sekolah elite yang mahal.
Tak pernah ada ajakan masuk Katholik kepada saudara saya itu. Selama sekolah ia menjadi muazin di mesjid. Tak goyah sedikit pun imannya.
Karena itu saya tidak pernah mencurigai apapun pelayanan umat Katolik. Dalam keadaan masih banyak umat yang membutuhkan bantuan, tak pantas kita mencurigai layanan yang mereka berikan. Ketimbang mencurigai dan menghalangi, alangkah baiknya kalau umat Islam juga memperbanyak aktivitas pelayanan, melalui rumah sakit, sekolah, perpustakaan, dan lain-lain. Semakin banyak kita sediakan, makin banyak pula manusia yang terbantu.
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
(detik)