Oleh: Gurgur Manurung
Indovoices.com – Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) April 2019, isu dukung-mendukung telah menjadi isu setiap hari terutama untuk Calon Legislatif (Caleg) di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Berbeda halnya dengan calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD), isu ini kurang semarak karena luas wilayah pemilihnya amat luas yaitu satu provinsi.
Sejak dulu zaman Orde Baru hingga era digital ini persoalan yang tidak pernah naik kelas adalah masalah kualitas anggota Dewan. Kualitas Dewan di tingkat pusat, provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Presiden RI di era KH. Abdurahman Wahid pernah mengatakan bahwa Anggota DPR itu seperti anak Taman Kanak-kanak. Mengapa mutu anggota Dewan kita begitu buruk kualitasnya? Sebetulnya, buruk kompetensi atau perilakunya? Semua kita tahu bahwa anggota dewan sangat banyak masuk bui karena kasus korupsi. Perilaku yang paling banyak membawa mereka ke penjara adalah karena korupsi. Hampir tidak ada kasus lain.
Jika kita melihat dewan dari Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota maka yang bermasalah adalah kompetensi dan perilaku. Hal ini menyebabkan bangsa kita sulit untuk maju. Selama ini, produktivitas untuk menghasilkan Undang-Undang tidaklah menggembirakan. Bahkan, UU yang dihasilkan pun sering menuai kontroversi karena diduga sarat kepentingan. Fungsi pengawasan tidak berfungsi dan di panitia anggaran sarat kepentingan yang jauh dari kepentingan nasional dan berkeadilan.
Mengapa kita sulit menemukan dewan yang bermutu dan berintegritas? Apa akar masalahnya? Mari kita coba rasionalisasi proses menuju dewan. Apa latar belakang dewan? Menjadi anggota dewan membutuhkan biaya untuk mencari dukungan dari pemilih. Masih syukur kalau partai pengusung tidak menerima dana untuk operasional partai. Jika iya, maka seorang Calon Legislatif (Caleg) harus membayar partai dan menghabiskan biaya untuk kampanye, biaya untuk tim sukses, operasional kampanye, dan lain sebagainya. Apalagi, jika terlibat politik uang (money politic).
Jika ini terjadi maka dipastikan tidak akan menemukan anggota Dewan yang berkualitas. Melihat kenyataan ini, terobosan partai Nasdem dengan komitmen tanpa mahar. Tanpa mahar artinya seorang Caleg tidak membayar apapun kepada partai jika Caleg dari Partai Nasdem. Terobosan ini telah mengurangi beban biaya Caleg. Politik tanpa mahar yang digaungkan Nasdem apabila diikuti masyarakat dengan memberikan dukungan kepada Caleg yang cerdas dan berintegritas semakin menemukan dewan yang kita harapkan.
Caleg yang tidak dibebani partai tetapi mencari dukungan dengan menghabiskan uang, politik tanpa mahar yang digagas oleh Nasdem tidak memiliki makna apa-apa. Hanya mengurangi beban saja tetapi tetap menghasilkan koruptor. Caleg sejatinya orang yang mendapat dukungan dari rakyat karena rakyat menganggap seseorang itu mampu membawa aspirasinya di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Konsekuensi didukung rakyat maka biaya kampanye murah dan biaya itupun dari rakyat. Sebab Caleg yang ideal bukan mencari dukungan tetapi mendapat dukungan. Artinya caleg yang ideal modalnya adalah kompetensi, hati yang adil dan keberanian untuk membawa aspirasi rakyat yang mendukungnya.
Hanya rakyat yang memberikan dukungan bisa disebut rakyat yang berdaulat. Rakyat yang berdaulat dengan mudah menarik dukungan jika Caleg yang didukung menyimpang dari nilai-nilai perjuangan yang mendukung. Itulah sebabnya kedaulatan rakyat bisa kuat karena ideologi. Tanpa itu, semua berebut kekuaasaan karena nikmatnya jadi penguasa. Padahal, demokrasi itu mengharapkan rakyat yang berdaulat.
Jadi, apakah kita rakyat yang memberi dukungan atau memberi karena diminta dukungan. Makna mendukung dan mencari dukungan menjadi kunci kita naik kelas dari mutu anggota dewan kita. Karena itu, kita jadikan kita rakyat yang berdaulat dengan memberikan dukungan kepada Caleg yang memiliki hati adi dan memiliki kompetensi duduk di dewan.
Demikian juga untuk Pemilihan Presiden dan DPD, kita sebagai rakyat yang berdaulat memberikan dukungan kepada Calon yang memahami bangsa kita dan kompeten untuk memimpin kita.
#gurmanpunyacerita.