Diakonia.id -Saya ditag di sebuah posting berupa foto surat yang dikirim oleh Albert Einstein kepada sebuah organisasi Yahudi di Amerika. Organisasi itu mengajak Einstein untuk memberi donasi untuk gerakan mereka. Einstein menolak. Dalam surat itu Einstein menyebut bahwa tindakan mereka akan membuat kacau Palestina, dan ia menyebut adanya golongan teroris dari kalangan Yahudi.
Kenapa saya ditag? Entahlah. Isi posting sendiri menyatakan, tuh Einstein yang orang Yahudi aja menolak zionisme, kenapa kamu justru mendukung?
Saya perlu luruskan beberapa hal. Pertama, Einstein itu mendukung zionisme. Zionisme adalah paham yang menginginkan sebuah negara bagi orang-orang Yahudi. Perwujudan nyatanya adalah adanya negara Israel sekaranng itu. Einstein mendukung itu. Jadi konyol kalau disebut Einstein tidak mendukung zionisme dan berdirinya negara Israel.
Hanya saja, dia tidak setuju dengan penggunaan kekerasan. Pada tanggal 4 Desember 1948 Einstein dan sejumlah tokoh mengirim surat kepada editor New York Times, bertepatan dengan kunjungan Menachem Begin ke Amerika. Surat itu mengecam kelompok garis keras “Freedom Party” (Tnuat Haherut) yang dipimpin Begin, karena tindak kekerasan yang mereka lakukan. Einstein terang-terangan menyebut mereka teroris. Ia merujuk pada pembantaian Deir Yassin, yaitu peristiwa penyerangan Yahudi militan ke kampung Arab yang menyebabkan tewasnya 240 orang.
Einstein menginginkan Arab dan Yahudi bersatu di Palestina.
Kedua, penggunaan istilah “Palestina”. Palestina dipakai untuk menyebut wilayah yang kini jadi wilayah konflik itu. Yaitu wilayah di tepi Mediterania, sampai ke Tepi Barat, dan Laut Mati. Sekali lagi itu merujuk ke wilayah, bukan nama negara. Nama negara Palestina belum ada waktu itu. Nama lainnya, sebelum nama Palestina dipakai adalah Judea.
Zionisme membangun negara Israel di atas tanah bernama Palestina. Lebih tepatnya waktu itu disebut Mandate of Palestine, yang dikelola Inggris. Orang-orang Yahudi melakukan eksodus dari Eropa, karena di sana mereka dimusuhi oleh orang-orang anti-Yahudi, menuju wilayah itu. Ini jadi alasan bagi kaum anti-zionisme menolak berdirinya Israel. Alasannya, orang-orang itu adalah pendatang.
Bicara soal pendatang, sebenarnya Israel bukan satu-satunya. Amerika dan Australia itu didominasi oleh orang-orang pendatang. Singapura juga. Kalau pakai dalil tadi, kedua negara tidak sah berdiri.
Nah, sekali lagi, Einstein itu pendukung zionisme.
Bagaimana dengan saya? Peristiwa itu terjadi tahun 1948, waktu itu ayah saya baru saja menikah. Saya masih berwujud molekul bebas beterbangan di udara. Jadi saya tidak dalam posisi mendukung atau menolak zionisme atau berdirinya Israel.
Kalau sekarang bagaimana? Israel sudah berdiri dan diakui dunia internasional. Coba cek daftarnya. Lebih banyak negara yang menerima Israel ketimbang yang tidak mengakui. Di antara yang mengakui itu ada 2 tetangga yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Israel.
Posisi saya, Israel itu eksis sebagai sebuah negara. Sudah, titik. Saya tidak mengambil posisi anti-zionis yang ingin melenyapkan Israel karena menganggapnya tidak sah berdiri. Emang bisa gitu? Emang mereka bisa apa? Tidak bisa apa-apa. Cuma dalam pikiran doang.
Tapi itu tidak berarti saya menolak kemerdekaan Palestina. Ingat, Palestina sudah merdeka tahun 1988. Ada pemerintahnya, ada wilayahnya. Hanya saja mereka sendiri belum kompak soal siapa yang jadi pemimpin dan berhak menjadi wakil Palestina, Hamas atau Fatah. Kedua organisasi itu juga punya sejarah saling bunuh.
Wilayah negara Palestina adalah Tepi Barat dan Gaza. Ada wilayah yang masih jadi rebutan antara Palestina dan Israel. Itu yang belum kunjung ada titik temunya.
Posisi saya adalah mendukung pengembalian wilayah Tepi Barat dan Gaza sesuai batas wilayah sebelun 1967.
Dalam soal konflik, saya melihat keduanya setali tiga uang. Kedua negara berisi orang militan yang saling memusuhi dan ingin saling melenyapkan. Itulah yang jadi bahan bakar konflik selama ini. Orang Yahudi yang perangainya seperti Hamas itu banyak. Karena itu Yitzak Rabin yang cenderung lunak itu dibunuh.
Jadi, bagaimana? Saya bukan pendukung zionisme juga bukan penolak. Dukungan atau penolakan saya tidak relevan.
Cuma sikap rasional ini sulit diterima oleh pendukung fanatik Palestina. Prinsip mereka, kalau nggak dukung Palestina seperti mereka, pasti pendukung zionis. Sama, waktu saya berdialog dengan pendukung fanatik Israel, saya serta merta dianggap pendukung Hamas. Kedua kelompok memang pekok-pekok.
Saya juga tidak mencela orang-orang yang mengumpulkan donasi. Lha, duit mereka, silakan saja. Tapi saya memilih untuk berdonasi untuk renovasi rumah guru saya, kasih makan sopir antar jemput anak saya yang kini menganggur karena sekolah tutup. Suka-suka saya juga, kan?
Jadi apa masalahnya? Di saya sih nggak ada. Nggak tahu kalau di pihak sana.
*) Penulis: Hasanudin Abdurakhman