Oleh: Pdt. Ratnawati Lesawengen,S.Si.Teol
Romantisme Desember bukan sekedar ditandai dengan hari Natal. Pada bulan Desember biasanya kantor-kantor atau perusahaan akan menutup aktivitas di tahun berjalan dan biasanya selalu ditandai dengan sesuatu yang spektakuler seperti pesta akhir tahun yang dirayakan bersama. Bulan Desember juga menandai berakhirnya perjalanan panjang selama 365 hari manusia melakukan aktivitas dan di penghujung waktu mengalami puncaknya sehingga butuh ruang untuk mengekspresikan kelelahan, melepaskan semua kepenatan.
Seakan-akan semua hasrat itu harus dituntaskan pada bulan Desember, ibarat makanan yang akan terasa nikmat jika disantap selagi hangat dan akan menjadi tidak enak jika sudah dingin. Orang butuh kesegaran jasmani dan rohani untuk memulai kehidupan di tahun yang baru. Tetapi bagaimana jadinya jika romantisme bulan Desember ternyata diwarnai dengan gejolak yang menimbulkan kegalauan berkepanjangan?
Tahun 2016, menjelang perayaan Natal di negara kita terjadi gejolak sana sini yang sudah nampak sejak awal bulan November. Ditandai dengan terjadinya aksi besar-besaran salah satu ormas keagamaan yang menuntut kandidat calon Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama yang diduga melakukan penistaan agama untuk segera ditangkap. Aksi yang menyita perhatian dunia internasional ini dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan diri sebagai pejuang agama, penjaga moral kitab suci.
Kemudian berturut-turut terjadi teror bom di salah satu gereja di Samarinda mengakibatkan salah seorang anak meninggal dunia , gempa bumi kembali melanda negeri Rencong yang menyebabkan ratusan korban jiwa dan ratusan rumah rusak berat, ribuan orang mengungsi. Dan kemarin peristiwa penyerangan oleh sekelompok orang ke salah satu Sekolah Dasar di Sabu, NTT sehingga 7 orang anak mengalami luka serius dan harus dirawat di rumah sakit.
Situasi ini tentu memicu kegelisahan dikalangan umat Kristen seperti apakah suasana perayaan Natal nantinya di tahun ini. Apakah tersedia ruang dan kesempatan yang cukup untuk umat Kristen mengekspresikan perayaan Natal? Apakah perayaan Natal kali ini juga akan diwarnai dengan tekanan-tekanan, gejolak, intimidasi bahkan pelarangan? Yang mungkin sudah sering terjadi pada tahun-tahun sebelumnya tetapi sepertinya tahun ini tekanan itu terasa semakin kuat dan sistematis?. Apakah perayaan Natal kali ini harus mengalami transformasi, bukan dengan perayaan meriah penuh keceriaan tetapi menjadi ibadah reflektif untuk menemukan kembali makna penyelamatan dibalik penderitaan sesama?
Pengalaman merayakan Natal tahun 1999 ketika daerah kami mengalami konflik antar agama. Sebelum memasuki hari Natal berbagai selebaran sudah beredar yang isinya memprovokasi salah satu kelompok masyarakat untuk berhati-hati dengan kelompok Kristen karena mereka akan melakukan “Natal Berdarah”. Entah apa yang mereka maksudkan dengan “Natal Berdarah”. Yang kami rasakan adalah kami dilarang melakukan ibadah natal diluar gereja misalnya di rumah jemaat, jadwal ibadah Natal kami pada semua bidang kategorial harus dilaporkan kepada pihak berwajib, dan ketika kami beribadah di gereja yang dijaga oleh sejumlah petugas keamanan.
Sebuah kondisi yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya. Ketika kami masih bisa pulang ibadah Natal dengan gembira ria sambil bersenda gurau di jalan dengan teman-teman atau kami masih bisa duduk berdiskusi sehabis ibadah Natal membicarakan acara yang baru saja kami ikuti. Setelah kejadian itu kami tidak lagi bisa melakukan itu. Kami harus segera pulang dalam kondisi was-was karena takut terjadi sesuatu di jalan, atau dihadang sekelompok orang yang akan mengancam kami. Waktu itu cerita Natal yang baru saja didengar dalam ibadah perayaan Natal bukan lagi bermakna sukacita tetapi menjadi kecemasan dan kegelisahan akan keadaan disekitar. Apakah hanya karena kami merayakan Natal lalu harus menjadi korban?
Setelah 17 tahun berlalu ternyata hal itu terulang kembali dalam skala yang lebih besar. Tekanan berpotensi besar itu dikemas dalam ruang kebangsaan yang menjadikan Jakarta sebagai pusat kendali tekanan itu. Dan peristiwa pembubaran Ibadah KKR dalam rangka merayakan Natal di Stadion Saboga Bandung menjadi tanda bahwa merayakan natal ternyata adalah ancaman bagi kelompok lain.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada pesan keagamaan yang timpang, ada superioritas agama yang terlanjur buta karena pemahaman keagamaan sekelompok orang yang semakin sempit dari waktu ke waktu. Tentu kondisi ini tidak serta merta membuat semangat dan niat kita surut untuk mengekspresikan makna perayaan Natal. Sebab kita Indonesia, kita memiliki ruang dan kesempatan berekspresi di negara demokrasi. Hal-hal yang seperti ini juga sesunggguhnya juga terjadi ketika peristiwa kelahiran Yesus. Bahkan sebelum peristiwa kelahiran itu, terjadi gejolak antar individu yaitu antara Yusuf dan Maria menjadi sebuah awal yang menandai bahwa sejak kedatangan Juruselamat telah dipenuhi dengan gejolak emosional baik antar individu maupun kelompok.
Injil Matius 1 dan 2, dengan sangat jelas menuturkan bagaimana konflik batin Yusuf dan Maria menghadapi dan melawan pandangan masyarakat waktu itu ketika mereka memutuskan untuk tetap berkomitmen saling menjaga dan melindungi sebagai suami istri. Konflik kekuasaan dan kepentingan raja Herodes yang mulai merasakan adanya ancaman ketika nubuat kedatangan Raja orang Yahudi itu disampaikan oleh orang-orang Majus dari timur bahwa mereka sudah melihat tanda-tanda kedatangan Raja orang Yahudi itu. Seketika itu tatanan sosial masyarakat dan struktural kekuasaan yang tadinya diam, mulai bergerak mencari celah untuk menunjukkan arogansi kekuasaannya.
Segala daya dikerahkan, segala strategi dimainkan untuk menghambat kehadiran Yesus di dunia. Mereka tidak melakukan demonstrasi tetapi menebar teror dengan membunuh anak-anak di Betlehem. Semua tempat sudah mereka kuasai, tidak ada yang luput dari pengawasan mereka. Semua orang hidup dalam ketakutan dan tekanan sehingga tidak ada lagi tempat yang aman bagi Yusuf dan Maria untuk berlindung dan akhirnya sebuah palungan di Betlehem menjadi tempat yang paling aman bagi mereka.
Kehadiran Yesus dalam situasi seperti ini memberi gambaran bahwa sekuat apapun orang mengerahkan tenaga dan kekuatan untuk membungkam rencana Allah itu tidak akan berhasil. Apalagi ketika niat itu dibungkus dengan nafsu balas dendam yang tidak terkendali. Kehadiran Yesus memiliki efek bagi para elit yang berkuasa waktu itu, karena itu mereka sibuk untuk bagaimana mempertahankan kekuasaan. Kehadiran Yesus juga memiliki dampak yang besar bagi orang-orang yang dipandang rendah, orang-orang hidupnya sederhana seakan pengharapan akan datangnya Mesias menjadi kenyataan. Disinilah karya Allah dinyatakan, bahwa kehadiranNya melalui Yesus Kristus adalah untuk menjungkirbalikan keadaan, memperbaiki tatanan kehidupan, mentransformasi nilai kemanusiaan dan memberi tempat kepada mereka yang tertindas.
Dalam situasi bangsa sekarang ini ketika semua orang berada dalam tekanan dan ketidaknyaman, apakah maknanya kita merayakan Natal? Perayaan Natal sesungguhnya bukan sekedar perayaan liturgis tetapi Natal merupakan pengalaman liturgis gerejawi yang memberi masukan, membentuk nilai dan kesadaran gerejawi dan juga pandangan dunia dan komunitas Kristen. Artinya perayaan Natal harus membentuk falsafah kehidupan tentang makna kedatangan Kristus kedalam dunia.
Perayaan Natal seharusnya membantu orang menemukan perjumpaan yang bermakna dalam interaksi kehidupannya dengan orang lain, dengan situasi yang dialami dan dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Kelahiran Yesus yang telah memperjumpakan mereka dengan latar belakang sosial, suku dan budaya yang berbeda dalam sebuah palungan, mengindikasikan bahwa harmoni kehidupan bisa hadir dan diciptakan oleh mereka yang sama-sama berada dalam tekanan. Baik tekanan oleh penguasa maupun oleh konstruksi sosial masyarakat dan kita tidak boleh kalah terhadap kuatnya tekanan dan teror.
Perjumpaan demi perjumpaan lintas iman, lintas budaya, lintas etnis,lintas generasi pada masa-masa yang sulit ini akan semakin memperkuat terciptanya simpul-simpul kehidupan yang saling menguatkan. Karena itu masa perayaan Natal sesungguhnya adalah masa dimana kita mau berjumpa dengan cerita kehidupan orang lain, mendengar dan berinteraksi dalam suasana percaya diri sebagai suatu bangsa.
Siapa yang menyangka kalau orang Majus akan bertemu dengan para gembala bersama Yusuf dan Maria di palungan tempat Yesus dilahirkan? Ditengah berbagai tekanan kerinduan akan suasana nyaman dan aman, damai dan teduh adalah sebuah keniscayaan akan hadir setitik pengharapan. Akankah kita sebagai orang Kristen ditengah bangsa ini masih merindukan terciptanya harmoni kehidupan yang menyejukkan meski hanya sebuah tindakan sederhana? Tema Natal tahun ini “ Hari ini telah lahir bagimu Juruslamat yaitu Kristus Tuhan di kota Daud” ( Lukas 2:11). Kata “hari ini” menunjuk pada keterangan waktu dimana peristiwa itu terjadi yaitu kelahiran Sang Juruselamat. Kata ini memberi penegasan sekaligus menandai eksistensi dan kehadiran Allah di sepanjang sejarah manusia bahwa Allah akan selalu dan senantiasa hadir dalam berbagai keadaan baik atau tidak baik waktunya.
Keyakinan kita akan “hari ini” adalah pengharapan kita akan hari esok yang lebih baik. Selamat merayakan Natal, sambutlah Dia dengan sukacita.
Penulis, Pendeta GMIH/Sekretaris BPN PERUATI 2016-2019