Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyerukan agar setiap penceramah agama tidak mempertentangkan unsur suku, agama, ras dan antar golongan, atau SARA.
Menteri Agama juga menyerukan agar materi ceramah agama itu tidak bermuatan penghinaan, penodaan, pelecehan terhadap pandangan, keyakinan dan praktik umat beragama.
Dua seruan itu merupakan bagian dari sembilan seruan yang disampaikan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
“Seruan adalah respons atas sejumlah fenomena yang kita ikuti bersama beberapa waktu belakangan ini,” kata Lukman Hakim di hadapan wartawan.
“Juga adanya masukan permohonan, permintaan masyarakat sebagian tokoh masyarakat, tokoh agama agar pemerintah bisa bersikap terhadap fenomena belakangan ini,” tambahnya.
Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan, Menteri Agama telah menyatakan bahwa pihaknya tengah mewacanakan semacam standardisasi khatib atau penceramah salat Jumat menyusul munculnya kerisauan terhadap isi ceramah yang dilaporkan menebar kebencian.
Dalam wawancara kepada BBC Indonesia, akhir Desember 2016 lalu, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Abdurrahman Masud, menyatakan pihaknya saat ini tengah menyiapkan draf peraturan baru yang isinya membahas tentang batasan ceramah agama di masyarakat atau di media sosial.
Pernyataan ini menanggapi kekhawatiran meningkatnya isi ceramah agama yang penuh kebencian, yang antara lain peristiwa pelaporan pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab ke Polda Metro Jaya oleh pimpinan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), karena isi ceramahnya dianggap menistakan agama Kristen.
Tetapi dalam seruannya, Menteri Agama tidak secara khusus menyorot secara khusus terhadap ceramah di masjid, tetapi di semua rumah ibadah agama apa pun.
Sembilan seruan Menag
Berikut sembilan seruan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin terkait isi ceramah agama:
1. Disampaikan oleh penceramah yang memiliki pemahaman dan komitmen pada tujuan utama diturunkannya agama, yakni melindungi harkat dan martabat kemanusiaan, serta menjaga kelangsungan hidup dan peradamaian umat manusia.
2. Disampaikan berdasarkan pengetahuan keagamaan yang memadai dan bersumber dari ajaran pokok agama.
3. Disampaikan dalam kalimat yang baik dan santun dalam ukuran kepatutan dan kepantasan, terbebas dari umpatan, makian, maupun ujaran kebencian yang dilarang oleh agama mana pun
4. Bernuansa mendidik dan berisi materi pencerahan yang meliputi pencerahan spiritual, intelektual, emosional, dan multikultural. Materi diutamakan berupa nasihat, motivasi dan pengetahuan yang mengarah kepada kebaikan, peningkatan kapasitas diri, pemberdayaan umat, penyempurnaan akhlak, peningkatan kualitas ibadah, pelestarian lingkungan, persatuan bangsa, serta kesejahteraan dan keadilan sosial
5. Materi yang disampaikan tidak bertentangan dengan empat konsensus Bangsa Indonesia, yaitu: Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik lndonesi, dan Bhinneka Tunggal Ika.
6. Materi yang disampaikan tidak mempertentangkan unsur SARA (suku, agama, ras, antargolongan) yang dapat menimbulkan konflik, mengganggu kerukunan atau pun merusak ikatan bangsa.
7. Materi yang disampaikan tidak bermuatan penghinaan, penodaan, dan/atau pelecehan terhadap pandangan, keyakinan dan praktek ibadah antar/dalam umat beragama, serta tidak mengandung provokasi untuk melakukan tindakan diskriminatif, intimidatif, anarkis, dan destruktif.
8. Materi yang disampaikan tidak bermuatan kampanye politik praktis dan/atau promosi bisnis.
9. Tunduk pada ketentuan rumah ibadah. [BBC]