“Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di atas palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.” (Lukas 2:6-7).
Hari Natal yang dikenang di seluruh dunia di penghujung tahun sudah makin jauh dari Natal pertama yang syahdu dan sederhana seperti gambaran dalam ayat di atas. Hari Natal pertama diisi dengan kesederhanaan dimana di samping orang-orang Majus yang kaya hadir juga para gembala yang sederhana untuk menyambut kelahiran bayi Yesus, kelahiran-Nya yang tidak dirayakan di penginapan atau di istana, tetapi di sebuah palungan di kota Betlehem tetapi kehadiran damai sejahtera Allah terasa sekali. Inilah makna Natal sebenarnya dimana damai Allah menyertai semua manusia, damai di hati tanpa dekorasi yang berarti.
Masakini, memasuki bulan Desember, kita dapat menyaksikan di mana-mana, terutama restoran, mal dan hotel, dan di siaran TV, banyak dikumandangkan persiapan menyambut hari Natal dengan belanja akhir tahunnya, apakah masih ada yang tersisa dari Natal Betlehem di balik hiruk-pikuk perayaan Natal di masa kini?
Pohon Natal adalah gambaran yang indah di Eropa di musim salju ketika salju memenuhi permukaan bumi dan pohon-pohon berguguran daunnya, di situ kita melihat pohon-pohon den yang tegap berdiri dengan kehijauan daunnya yang tetap memberikan harapan segar. Di malam hari, dari sela-sela daun-daunnya kita dapat melihat kerlap-kerlip lampu-lampu rumah di belakangnya. Apalagi kesan indah ini diiringi lagu ‘Malam Kudus’ memberi rasa syahdu dan damai bagi mereka yang melihat pohon itu dan mendengar lagu itu. Pohon yang kemudian dijadikan lambang pohon terang itu sekarang sudah meluas menjadi hiasan di toko-toko serba ada di seluruh dunia, namun apakah makna sebenarnya Natal yaitu ‘kelahiran Juruselamat manusia’ itu masih bisa dilihat di balik kemeriahan belanja akhir tahun itu?
Sebenarnya Franciscus dari Assisilah yang pertama kali memperkenalkan replika kandang dengan ternak dengan patung-patung kecil Yusuf, Maria dan bayi dalam palungan dan para majus dan gembala disekitarnya, yang sering kita lihat sebagai hiasan Natal baik di gereja maupun di rumah. Replika inilah yang menjadi hiasan sejak abad-13 sebelum pohon Natal diperkenalkan, dan diiringi Christmas Carol yang dinyanyikan sekelompok orang dari rumah ke rumah. Pohon Den dengan kerlap-kerlip kemudian dijadikan lambang kekekalan dan dijadikan pohon Natal seperti yang kita kenal sekarang.
Pohon Natal yang sederhana itu kemudian di abad-18 berkembang dengan adanya penambahan dekorasi hiasan-hiasan Natal, dan lama kelamaan dekorasi itu begitu lebatnya sehingga lambang pohon dan sinarnya yang menjadi simbol kekekalan dan kesyahduan menjadi terkubur oleh hiruk pikuk dan kemeriahan hiasannya. Suasana Natal untuk mengenang kesederhanaan kelahiran Tuhan Yesus yang menyelamatkan manusia kini banyak tertutup oleh pesta pora dengan segala hiasan yang mewah dan bukan lagi dirayakan oleh umat Kristiani saja tetapi meluas oleh umum. Perayaan Natal perlu kembali mengalami ‘de-sekularisasi’.
Pada abad-11, Nicholas seorang uskup yang baik hati yang suka membagi-bagikan hadiah pada anak-anak dirayakan pada tengah malam tanggal 5 Desember, namun lama-lama legenda ‘Santo’ Nicholas ini di adopsi di negeri Belanda dan dirayakan sebagai ‘Sinter-Klaas’ dan kemudian di Amerika dirayakan sebagai ‘Santa Calus’ yang sekarang dimasukkan ke dalam rangkaian perayaan Natal dan sambil menaiki kereta salju ditarik rusa kutup terbang di atas rumah-rumah penduduk sambil membagi-bagikan hadiah di rayakan di malam Natal.
Figur Santa Claus ini merupakan campuran figur Santo Nicholas dan Odin, dewa yang disembah orang Norwegia. Gambaran mitologi Odin ini lebih-lagi pada masa kini diisi dengan berbagai pertunjukan gaib dengan peri-peri yang membawa tongkat sihir berujung bintang mendatangkan mujizat-mujizat. Masa kini beberapa supermal menghadirkan ‘magic’ Christmas dengan gambaran peri bertongkat-bintang sihir ini. Gambaran Natal yang serba wah ini kemudian makin rusak karena sudah menjadi hiasan umum baik di daerah lampu merah di New York, London maupun Paris, dan di Ginza di Tokyo yang penduduknya Kristennya hanya 0,7% suasana Natal juga di rayakan dengan meriah. Natal bukanlagi merupakan moral-force yang menobatkan tetapi sekedar perayaan tradisi akhir tahun.
Benar-benar kemeriahan perayaan Natal masakini perlu di de-mitologisasikan, agar kita dapat mengenal benar-benar berita kesukaan akan kelahiran juruselamat yang mendatangkan damai sejahtera bagi semua manusia di dunia. Perayaan yang meriah di gedung gereja yang tertutup, dan lebih lagi di ballroom hotel yang eksklusif sudah jauh berbeda dengan kondisi palungan di malam Natal pertama yang dihadiri para gembala yang sederhana.
Umat Kristen sedang menyiapkan hari Natal di akhir tahun ini, dan sudah tiba saatnya umat Kristen mengembalikan hakekat Natal kepada artinya semula dan tidak terkecoh oleh gemerlapannya kerlap-kerlip lampu listrik dan dekorasi yang wah. Umat Kristen perlu men de-sekularisasi-kan dan de-mitologisasi-kan perayaan-perayaan natal yang sudah melenceng jauh dari makna asalinya.
Di tengah kepedihan yang dialami ribuah keluarga yang menghadapi PHK, dan begitu banyaknya keluarga digusur dari rumah kumuh mereka atau tempat jualan mereka di kaki lima dan tidak memperoleh tempat membaringkan kepala, dan palunganpun tidak, umat Kristiani dipanggil untuk menghadirkan Natal terutama bagi mereka yang tersingkir, yang terpinggirkan, dan yang dilupakan. Setidaknya dengan menjalankan upacara dengan sederhana, apalagi kalau disertai dengan kasih yang meluap keluar ke jalan-jalan yang dingin, setidaknya umat manusia benar-benar lebih bisa merasakan bahwa Natal itu memang mendatangkan damai sejahtera bagi manusia di bumi dan bukan sebaliknya.
Selamat mempersiapkan Natal mendatang dan menyatakan kasih dan damai sejahtera Allah bagi umat di sekeliling kita. Amin!
Salam kasih dari Herlianto & YABINA ministry