Diakonia.id – Memelihara keberagaman atas perbedaan keyakinan tidaklah sulit. Selama sekitar 50 tahun, dua rumah ibadah berbagi tembok di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Pemandangan itu terlihat jelas di Masjid Dakwah Wanita dan Gereja Pantekosta, Bukit Zaitun di Jalan Ir Soekarno, Kelurahan Dapu-Dapura, Kecamatan Kendari, Kota Kendari.
Dua rumah ibadah yang letaknya hanya dipisahkan oleh sekat dinding adalah bukti nyata kehidupan harmonis dan toleransi antarumat beragama di bumi Anoa. Kedua bangunan yang nyaris satu atap itu sama-sama dibangun tahun 1960-an.
Gereja Pantekosta berdiri 3 tahun lebih awal dibandingkan Masjid Dakwah Wanita. Kini, setelah lebih dari 50 tahun, kedua bangunan ini masih kokoh, hidup berdampingan bagai saudara tanpa pernah terjadi gesekan, apalagi konflik antarkedua umat beragama itu.
Salah seorang pengurus Masjid Dakwah Wanita Kendari, Sulfakri Sidik, menuturkan, sejak dulu kehidupan antarumat beragama sangat harmonis. Bangunan masjid dan gereja yang hanya dipisahkan tembok tersebut tidak menjadi penghalang bagi jemaah, baik Muslim maupun Nasrani, untuk menjalankan ibadah masing-masing.
Tak pernah tebersit sedikit pun perasaan saling terganggu. Bagi mereka, kedekatan tersebut justru sebuah keunikan yang menjadi kebanggaan.
“Setiap penyelenggaraan ibadah maupun kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya, kita selalu berkoordinasi dan saling komunikasi. Kita tanya ibadah mereka hari apa, kalau kebetulan waktunya bertepatan dengan ibadah kita, maka pengeras masjid kita kecilkan. Begitu pun sebaliknya, jika mereka ada kebaktian yang bertepatan dengan shalat kita, jadi jadwal kebaktian mereka majukan,” ungkap Sulfakri saat ditemui di Masjid Dakwah Wanita Kendari, Selasa (21/7/2015).
Sementara itu, pimpinan Jemaat Gereja Pantekosta Bukit Zaitun, Pendeta David Agus Setiawan, menyatakan, masyarakat Kota Kendari sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, terutama dalam kegiatan ibadah, sehingga tak heran jika kedua bangunan rumah ibadah tersebut tetap kokoh berdampingan hingga sekarang.
“Dari dulu juga kita sudah hidup berdampingan tanpa pernah ada rasa saling terganggu. Saat-saat masjid belum lama berdiri, mereka belum punya pompa air sehingga kalau mau wudu agak kerepotan. Karena kami waktu itu sudah punya pompa air, ya silakan ambil selang dan tarik airnya ke masjid,” ungkap David.
Keharmonisan antara dua umat beragama ini pun, lanjut David, terlihat saat mereka membersihkan lingkungan sekitar. Jika yang melakukan kerja bakti adalah pihak masjid, maka halaman gereja juga ikut dibersihkan.
Begitu pun sebaliknya, jika pihaknya yang mengadakan kerja bakti, maka halaman masjid juga ikut dibersihkan. David mengingat, kala isu pembakaran gereja di Jawa Timur sekitar tahun 1997, menyebar hingga ke Kendari. Dia mengaku ada rasa khawatir bahwa gereja mereka akan menjadi sasaran pembakaran. Pihaknya meminta bantuan pengamanan dari kepolisian.
Namun, yang terjadi, para remaja masjid tanpa pernah diminta justru ikut bergabung bersama petugas kepolisian dan berjaga-jaga di sekitar gereja. Hingga kini, kedua bangunan tersebut telah menjadi situs sejarah di Kota Kendari.
Tak hanya di situ, Gereja GepSultra Jemaat Immanuel dan Masjid Akbar berjejer dan hanya dipisahkan oleh gang kecil menuju permukiman warga di Jalan Pangeran Diponegoro, Kelurahan Benu-Benua, Kendari. Begitu juga dengan Masjid Agung Al-Kautzar Kendari yang terletak di seberang Gereja Ora Et Labora di Jalan Lawata, Mandonga, Kendari.