Diakonia.id –
“Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.” —Kolose 2:7
Umat Kristen yang hidup di abad-abad pertama begitu banyak menghadapi tantangan, hantaman multidimensi yang menyerang iman mereka telak dan bertubi-tubi. Serangan itu tidak saja datang dari dalam, soal teologi, relasi iman dengan budaya setempat, tetapi juga dari luar: Resistensi masyarakat, sikap penguasa yang tidak ramah, dan sebagainya.
Sebagai “agama” baru, tentu saja kekristenan tidak begitu mudah diterima oleh khalayak pada zaman itu yang telah memiliki pandangan hidup tertentu dan telah memengaruhi kedirian mereka, bahkan telah memberi mereka kenyamanan tertentu serta mengurung mereka dalam “zona nyaman”.
Jemaat di Kolose yang dikirimi surat oleh Paulus terdiri dari orang-orang eks-Yahudi, bahkan ada banyak orang yang dulunya tidak mengenal Allah (vide 1:21, 2:13). Dalam kondisi seperti itu maka penguatan spiritual warga menjadi hal yang sangat urgen, agar dengan iman yang teguh-kukuh mereka bisa survive di tengah guncangan zaman yang mereka hidupi pada era itu.
Paulus mengungkapkan beberapa kata kunci dengan mengacu pada diksi dan vokabulari yang amat dikenal dalam kehidupan umat sehari-hari. la meminta agar warga Jemaat Kolose “berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia”. Akar, yang biasanya jauh menghunjam ke dalam tanah, adalah benda yang membuat sebuah pohon tegak dan kukuh berdiri. Pohon dengan “akar serabut” maupun “akar tunggang” memiliki kekuatan sejati justru pada akarnya itu. Itulah sebabnya, dalam merawat tanaman para petani tidak hanya menyiram pokok dan dahan tanaman itu, tetapi juga akarnya.
Jika akar tidak kuat, kurang pupuk, ia akan menjadi lemah dan nirnutrisi sehingga tak mampu menjadi penyangga pohon tatkala pohon menjadi besar. Akar adalah dasar, fundamen, yang membuat sebuah pohon/tanaman bertahan hidup. Akar, radiks, radikal, mengacu pada pemaknaan kekuatan mendasar yang memiliki kedalaman dan penetrasi yang kuat. Ada kalimat standar: “Jika mau membubarkan suatu organisasi tidak cukup hanya secara formal hukum, tetapi harus dibasmi hingga ke akar-akarnya”.
Menarik, bahwa Paulus menggunakan kata “berakar” dari dunia agraris dan kata “dibangun” dari khazanah konstruksi. Secara eksplisit diingatkan, “berakar di dalam Dia” berarti berakar dan mengakar kepada Yesus Kristus yang telah mereka terima sebagai Tuhan (ayat 6). Jadi, bukan berakar kepada kekuatan-kekuatan lain, syariat yang lain, atau filsafat kosong menurut roh dunia yang bertentangan dengan Kristus (ayat 8). Jemaat tidak saja berakar kepada Kristus (keterikatan kepada yang di bawah seperti layaknya akar) tetapi juga dibangun di atas Dia.
Kristus dalam konteks ini adalah fondasi yang kuat, di atasnya bangunan kekristenan itu didirikan. Membuat fondasi untuk sebuah bangunan, apalagi bangunan bertingkat yang tahan berbagai guncangan itu bukan hal yang mudah. Para arsitek dari teknik sipil ada yang khusus mendalami aspek ini. Dulu, jika kita lewat di tempat-tempat yang ada pembangunan gedung, sering kita baca “foundation by Franky”. Itu menunjukkan bahwa Grup Franky ini memiliki keahlian khusus dalam hal membuat fondasi bangunan, misalnya jenis dan merek semen yang digunakan, komposisi adukannya, berapa lama pengerjaannya, dan sebagainya. Ucapan Paulus, “dibangun di atas Dia” adalah sebuah ungkapan imperatif bahwa konstruksi kekristenan hanya bisa teguh, kukuh, dan tangguh jika Kristus menjadi dasarnya.
Paulus juga menekankan agar umat bertambah teguh dalam iman Yang diajarkan kepada mereka, dan agar hati mereka melimpah dengan syukur. Realitas konteks yang dihadapi umat waktu itu memang tidak kondusif terhadap iman Kristen, ada banyak aliran yang menyesatkan iman yang membawa umat ke arah yang salah. Umat harus menghadapi realitas itu dengan meneguhkan iman sambil tetap bersyukur kepada Tuhan.
Kita umat kristiani tengah menghidupi sebuah dunia yang penuh dengan beragam turbulensi. Ada arogansi keagamaan ketika di suatu wilayah NKRI tak bisa dibangun gedung gereja, ada sisa-sisa sikap barbar tatkala tempat ibadah dihancurkan dan pejabat Gereja yang sedang melakukan pelayanan di gereja dianiaya, ada warga Gereja yang bertahun-tahun tak bisa beribadah di gedung gereja, dan begitu banyak persoalan internal dan eksternal yang mendera kehidupan kita sebagai warga Gereja dan warga bangsa.
Di tengah realitas ini, Paulus mengajak kita mengaplikasikan empat keywords penting, yaitu BERAKAR, DIBANGUN, BERIMAN TEGUH dan BERSYUKUR. Kesemuanya itu ditujukan kepada Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kita. Karena itu, mari terus memberi yang terbaik dalam hidup ini, menggarami dan menerangi dunia, menampilkan kekristenan yang cantik, otentik, elegan, penuh cinta kasih, dan menebarkan buah-buah Roh (Galatia 5:22-23) tanpa jeda, tanpa lelah.
Dalam kasus skenario pembunuhan berencana di kompleks Duren Tiga Jakarta Selatan yang melibatkan oknum-oknum beragama Kristen, kekristenan secara tidaklangsung ikut mengalami pengaruh negatip. Publik melihat itu secara cermat, apalagi pimpinan tertinggi organidasi itu juga beragama Kristen. Kita takboleh berfikir bahwa kasus itu bagian dari budaya kekristenan secara formal. Itu murni urusan pribadi oknum-oknum yang adalah warga Gereja. Kita takboleh terjebak dengan menyatakan bahwa itu seolah wujud formal sebuah agama.
Dalam konteks itu maka Gereja-gereja harus terus berjuang menghadirkan sebuah kekristenan yang elegan, penuh kasih, yang mengarami dan menerangi dunia. Ditengah masa-masa Pra Paskah sekarang ini kita diingatkan bahwa Yesus telah menjalani jalan sengsara demi Keselamatan abadi yang Ia anugerahkan bagi umat manusia. Kita harus merespons hal itu dengan mewujudkan kekristenan sejati, kekristenan otentik, bukan kekristenan KTP, kekristenan formalistik atau pseudo kekristenan.
God Bless Us. God Bless NKRI!
Penulis: Weinata Sairin/PGI