Diakonia.id – Di tengah unjuk rasa memprotes penyitaan tanah-tanah Arab di Yerusalem pada 13 Mei 1995, Faisal Husseini menyampaikan pidato menggugah di kaki dinding Kota Lama.
Wakil Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Yerusalem itu mengatakan, “saya memimpikan hari ketika seorang Palestina berkata ‘Yerusalem Kita’, yang berarti Palestina dan Israel; dan ada seorang Israel akan berkata ‘Yerusalem Kita’, yang berarti Israel dan Palestina”.
Kata-kata Faisal itu kemudian mengilhami ratusan orang Israel terkemuka–di antaranya penulis, kritikus, seniman, dan mantan anggota Knesset atau Parlemen Israel–untuk menandatangani sebuah pernyataan bersama. Begini bunyi pemaklumannya:
Yerusalem milik kita, warga Israel dan Palestina–Muslim, Kristen, dan Yahudi.
Yerusalem kita merupakan mosaik segala kebudayaan, agama, dan zaman yang telah memperkaya kota ini sejak era dulu hingga kini–bangsa Kanaan, orang Yebus, serta Israel, Yahudi keturunan Yunani, orang Romawi dan Bizantium, Kristen dan Muslim, bangsa Arab dan Mamluk, wangsa Utsmaniyah dan Briton, Palestina dan Israel.
Mereka dan lain-lainnya yang telah memberikan sumbangan kepada kota ini meninggalkan jejak jasmani dan rohani pada lanskap Yerusalem.
Yerusalem kita mesti bersatu, harus menjadi milik seluruh penduduknya, dan terbuka bagi pelbagai kalangan. Tanpa mengenal batas wilayah. Tanpa kawat berduri sebagai pemisah.
Yerusalem kita mesti menjadi ibu kota dua negara yang kelak bersisian di tanah ini: Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel, dan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.
Yerusalem kita harus menjadi Ibu Kota Perdamaian.
Ekspresi Faisal dan para penanda tangan manifesto boleh jadi menetas dari kejemuan atas sejarah Yerusalem yang sesak dengan perseteruan berujung darah tumpah. Ingatan kolektif mereka muskil lepas dari jejak sekitar dua kehancuran, 23 kali pengepungan, 52 penyerbuan, serta 44 pendudukan dan pendudukan ulang atas kota tersebut.
Tarikh 1967 agaknya berada di dalam bagasi memori dimaksud. Kala itu, karena cemas Holocaust kedua bakal pecah, militer Israel mencari cara menyiasati Mesir, Yordania, dan Suriah.
Kekuatan militer Israel waktu itu: 264 ribu serdadu, 800 tank, dan 300 pesawat tempur. Lawannya: 340 ribu serdadu, 1800 tank, dan 660 pesawat tempur.
Maka, pada pagi 5 Juni 1967, Israel curi start dengan melepaskan serangan udara ke arah pangkalan militer Mesir. Lebih dari 90 persen pesawat tempur yang tengah terparkir pun hancur atau rusak. Suriah juga kebagian hantaman serupa.
Tanpa tameng dari angkasa, pasukan darat Mesir ringkih. Dalam tiga hari, menurut laman eksiklopedia Britannica.com, tentara Israel berhasil menduduki Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Kota Lama Yerusalem, dan Dataran Tinggi Golan.
Karen Armstrong dalam buku “Jerusalem: One City, Three Faiths” melukiskan bahwa 700 serdadu Israel dengan wajah tercoreng arang dan seragam berlumur darah berlari menyusuri jalan sempit berliku demi mencapai Tembok Ratapan, kawasan yang telah tertutup selama lebih dari 20 tahun. Setelah tiba, mereka merapat ke dinding sambil menangis. Sebagian lagi mendekat dengan tubuh bergetar.
Tengok pula Pasukan Salib yang berhasil menembus dinding pertahanan Yerusalem pada 1099. Karen menyebutkan selama tiga hari pasukan itu secara sistematis membantai sekitar 30 ribu warga Yerusalem, laki-laki maupun perempuan, Muslim atau Yahudi. Saking banyaknya korban tewas, mayat-mayat terpaksa dibiarkan bergelimpangan selama lima bulan.
Lebih dari delapan dasawarsa kemudian, Salahuddin Ayyubi, seorang jenderal Islam karismatik, menerobos pertahanan Yerusalem. Dia sempat berpikir untuk membalaskan dendam peristiwa 1099.
“Kami melayani kalian sebagaimana kalian memperlakukan penduduk ketika kalian merebut Yerusalem dengan pembunuhan dan perbudakan dan kekejaman lainnya,” begitu Salahuddin mengancam sang penguasa kota, Balian dari Ibelin.
Namun, panglima salih itu, tulis Karen, masih mau berkonsultasi dengan ulama dan sepakat untuk tak mencecerkan lebih banyak darah. Dia akhirnya menduduki kota dengan cara damai.
Faisal Husseini dan sekelompok Yahudi penanda tangan deklarasi juga barangkali rindu akan aksi Umar putra Khattab, pemimpin Muslim kedua setelah Abu Bakar putra Siddiq wafat. Umar melangkah ke kawasan Yerusalem tanpa menjatuhkan korban.
Dengan mengutip sejarawan Islam, Ath-Thabari, Karen Armstrong menulis bahwa Umar menjamin ketenteraman bagi tiap warga Yerusalem serta hak milik masing-masing. Dia pun menanggung keamanan gereja serta pemeluk agama selain Islam.
Selain tak mengerahkan pasukan ke gereja dan berjanji tidak menghancurkan gereja atau isinya, Umar tak memaksa orang Yerusalem berganti agama.
Seberapa penting Yerusalem?
Kota penting bagi Yahudi, Kristen, dan Islam itu kembali ramai diperbincangkan berkat pernyataan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, Rabu (6/12).
“Saya memutuskan bahwa sekarang waktu untuk secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Presiden-presiden (AS) sebelumnya memuat (pengakuan terhadap Yerusalem) dalam janji kampanyenya. Tapi, mereka ingkar. Hari ini, saya melunasi janji (saya),” ujar Trump dinukil Vox.
Langkah Trump jelas mengubur kebijakan AS dan negara-negara lain selama nyaris tujuh dasawarsa: menolak memberi pengakuan atas status Yerusalem sebagai ibu kota Israel sejak negara disebut memproklamasikan kemerdekaan pada 1948.
“(Pernyataan ini) semata pengakuan atas realitas (di lapangan). Ini juga langkah yang benar. (Pengakuan ini) memang pantas dilontarkan,” kata Trump.
Bagi Yahudi, demikian Rabi Jonathan Romain dari Sinagoge Maidenhead, Inggris, dikutip The Guardian, Yerusalem bermakna dalam secara sosial maupun spiritual. Di sana leluhur mereka, Ibrahim, dipercaya pernah berkelana dan nyaris mengorbankan putranya, yaitu Ishak atau Ismail. Nama tersebut bergantung pada kacamata agama apa yang dipakai.
Yerusalem juga dipilih oleh Daud sang raja Israel sebagai ibu kota setelah bangsanya hengkang ke Mesir demi menghindari kelaparan dan menjadi budak. Sudah begitu, Sulaiman putra Daud membangun istana yang kini menjadi situs ziarah tiga kali setahun demi merayakan tiga festival besar.
Hingga kini semua sinagoge menghadap ke Yerusalem. Dengan demikian, kota suci itu menjadi kiblat bagi semua pemeluk Yahudi saat bersembahyang.
Tak berbeda jauh dari Yahudi, umat Kristiani memandang Yerusalem sebagai kota bersejarah sekaligus metafora bagi kesempurnaan–semacam surga yang akan didapat setelah mati, begitu terang penyunting Catholic Weekly (h/t The Guardian), Catherine Pepinster.
Di kota tersebut Yesus berdakwah dan menjamu para muridnya sebelum disalib (Last Supper). Di sana sang Kristus dibekuk pihak berwenang, diadili, dikenai vonis mati, disalib, dan tiada. Dalam iman Kristen, makam Yesus kosong sebab jasadnya bangkit.
Secara visual, kenangan berdarah akan proses penyaliban Yesus lazim mewujud di gereja mazhab Katolik Roma. Rangkaian perjalanan Yesus menuju tiang penyaliban biasa terpampang di ruang dalam gereja. Jadi, bagi seorang Kristen, pergi ke Yerusalem dan menziarahi Via Dolorosa atau Jalan Kesedihan jelas keistimewaan.
Lebih lanjut, Catherine mengatakan perebutan Yerusalem tidak saja menjebloskan Kristen dan Islam ke gelanggang perselisihan, tapi pun membelah kalangan Kristen ihwal penguasaan situs nan dianggap sakral. Banyak pihak terlibat pembagian teritori: Kristen Ortodoks Yunani, Katolik Roma, Armenia, Ortodoks Timur, Koptik, Ortodoks Ethiopia, dan Ortodoks Suriah. Semua golongan itu memegang kontrol Gereja Makam Kudus.
Akan hal Islam, Yerusalem pasca-Perang Enam Hari pada 1967 menjelma simbol perlawanan terhadap pendudukan Israel atas wilayah Arab. Menurut Usama Hasan dari Yayasan Quilliam (dikutipThe Guardian), sejumlah kelompok teroris dan Islam garis keras seperti Al-Qaeda, ISIS, dan pasukan Quds (Iran) acap kali menguarkan “pembebasan Yerusalem” sebagai salah satu tujuan gerakan.
Di masa lalu, Islam menjadi kekuatan dengan masa penguasaan terlama di Yerusalem–yakni 12 abad–mengatasi Israel, Romawi, Persia, atau Kristen. Sorotan mengarah kepada penaklukkan oleh Umar, Salahuddin, dan Sulaiman I dari Kesultanan Turki Utsmaniyah. Sulaiman I merintis pembangunan kembali tembok kota.
Dikenal sebagai Baitul Maqdis atau Al-Quds oleh kalangan Islam, Yerusalem berharga dalam beberapa hal. Pertama, kata Usama, Yerusalem menjadi kiblat pertama Muslim sebelum beralih ke Mekkah. Menurutnya, langkah mengiblatkan Yerusalem melambangkan Islam yang meneruskan–selain memperbarui–keyakinan warisan keluarga Ibrahim.
Pada tahap berikut, Yerusalem berarti besar dalam perjalanan spiritual Nabi Muhammad S.A.W nan masyhur dengan sebutan Isra’ dan Mi’raj.
Dalam keyakinan Islam, Muhammad melakoni perjalanan dari Mekkah ke Yerusalem, dan dari Yerusalem ke atas melewati tujuh lapis langit dan berujung pertemuan dan/atau percakapan dengan Tuhan.
Usama menjelaskan, sebelum bertolak ke angkasa, Muhammad menjadi imam salat yang jemaahnya adalah para nabi terdahulu di Masjid Aqsa. Ini sebab Al Aqsa menjadi tempat suci ketiga bagi Muslim setelah Masjid Haram dan Masjid Nabawi.
Konflik di Yerusalem murni agama?
Israel satu-satunya entitas di dunia berlabel negara Yahudi. Sementara, bangsa Palestina adalah penduduk Arab yang lahir atau tinggal di daerah penguasaan Israel yang mereka sebut Palestina. Mereka bermaksud mendirikan negara dengan nama itu di seluruh atau sebagian wilayah dipertengkarkan. Konflik Israel-Palestina berkenaan dengan rebutan lahan dan bagaimana pembagiannya.
Meski Yahudi dan Muslim Arab telah bertikai ribuan tahun, masalah politik kiwari keduanya bermula pada awal abad ke-20.
“Pihak yang merasa sangat berkepentingan terhadap Yerusalem adalah Inggris. Mereka yang mendirikan Yerusalem sebagai ibu kota,” kata Profesor Yehoshua Ben-Arieh, ahli geografi sejarah dari Hebrew University, dinukil The New York Times.
Selama tiga dekade (1917-1948) Inggris mencengkeram Yerusalem, gelombang pendatang Yahudi ke ‘Tanah yang Dijanjikan’ itu seakan tak kunjung surut tersebab visi Zionis mengenai tanah air Yahudi. Sementara, kata Yehoshua, penduduk Arab setempat mesti mafhum dengan kejatuhan Kesultanan Utsmaniyah yang telah berkuasa sejak 1517.
“Zionisme muncul dari Yerusalem, terutama sekali dari Kota Lama,” kata Amnon Ramon dari Jerusalem Institute for Policy Research (h/t The New York Times). “Alasannya, Yerusalem dianggap sebagai simbol diaspora. Keberadaan tempat suci bagi Kristen dan Islam pun dipandang menyulitkan penciptaan negara Yahudi beribu kota Yerusalem”.
Migrasi besar-besaran Yahudi ke Yerusalem memantik kerusuhan melibatkan orang Palestina. Selain itu, aturan baru imigrasi pada 1939 menghambat Yahudi yang menghindari Holocaust oleh Nazi Jerman untuk memasuki Yerusalem.
Pada 1947, kelar Perang Dunia Kedua, Perserikatan Bangsa-Bangsa setuju dengan rencana pemisahan dua negara bagi orang Yahudi dan Palestina. Yerusalem menjadi wilayah khusus di bawah kedaulatan dan pengawasan internasional (corpus separatum).
Namun, upaya PBB gagal. Perang antara Israel dan beberapa negara Arab lantas pecah demi memperebutkan wilayah. Batas-batas geopolitik di Yerusalem saat ini mencerminkan hasil dua perang besar yang terjadi pada 1948 dan 1967.
Pada 14 Mei 1948, pemerintah sementara Israel yang mengatur masyarakat Yahudi di kawasan Mandat Inggris atas Palestina memproklamasikan berdirinya Negara Israel. Presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman langsung memberikan dukungan. Pun begitu, delegasi AS untuk PBB berang atas keputusan Truman.
Sehari setelah proklamasi, tentara Arab menginvasi Israel. Insiden itu menjadi penanda perang pertama Arab-Israel.
Perang akbar kembali terjadi pada 1967. Perbenturan bersenjata ini memiliki arti luar biasa pada konflik hari ini. Soalnya, Israel berhasil menguasai Tepi Barat dan Jalur Gaza, dua kawasan yang dihuni oleh sebagian besar orang Palestina.
Semua karena Zionisme?
Jika ada perkara politik baru di Timur Tengah–tepatnya, di mana pun ada celah untuk teori konspirasi–Israel kemungkinan diletakkan pada pusat semesta perbincangan sebagai biang kerok. Dan kalau sudah menyinggung Israel, kata Yahudi niscaya mengemuka. Begitulah: problem Israel dianggap selalu bersangkut paut dengan Yahudi. Padahal tak senantiasa demikian.
Neturei Karta, kelompok ultraortodoks Yahudi dari mazhab Haredi, dalam laman resminya menyatakan bahwa menyamakan Yahudi dan Zionisme sama saja cari masalah. Bangsa Yahudi berusia ribuan tahun, dan gerakan Zionis belum lagi sampai 130 tahun.
Yudaisme–kepercayaan bangsa Yahudi–meyakini Tuhan Esa lewat firman-firman pada Taurat. Bagi mereka, kondisi sebagai orang buangan adalah hukuman Tuhan. Pengampunan hanya dapat diraih lewat doa dan pertobatan.
Zionisme berseberangan dengan itu. Para Zionis bersandar pada sekularisme, menampik Sang Pencipta, tak percaya Wahyu Tuhan, dan menihilkan pahala serta dosa. Para zionis bercita-cita mengembalikan orang Yahudi ke Tanah Israel atau Zion, kata yang bersinonim dengan Yerusalem. Namun, gerakan mereka membahayakan orang Yahudi secara zahir maupun batin. Selain itu, buah lain gerakan itu adalah persekusi terhadap bangsa Palestina.
Theodor Herzl, seorang jurnalis Yahudi Austria, dianggap perintis internasionalisasi gagasan nasionalisme Yahudi pada akhir 1800-an.
Menurutnya, gerakan antisemit bakal menyulitkan orang Yahudi untuk hidup di luar negerinya sendiri. Dia pun menulis esai dan menggalang pelbagai pertemuan nan berujung perpindahan massal Yahudi dari Eropa ke Israel/Palestina. Kampanye Herzl mendongkrak populasi di Israel/Palestina dari 20 ribu jiwa menjadi sekitar 180 ribu pada masa kekuasaan Adolf Hitler di Jerman.
Meski sekata mengenai keharusan bahwa negara Israel harus ada, tapi para Zionis belum seiya tentang bentuk pemerintahan.
Zionis sayap kiri–mendominasi lanskap politik Israel hingga akhir 1970-an–cenderung ingin berbagi lahan dengan bangsa Arab, percaya bahwa pemerintah harus campur tangan dalam perekonomian, dan mengemohi pemerintahan berbasis agama.
Sementara Zionis sayap kanan tutup mata akan kesepakatan berbagi lahan tersebut. Mereka–kini dominan dan didukung sebagian besar rakyat–lebih condong pada ekonomi bebas dan tak kaku mencampuradukkan agama dengan politik.
Bangsa Arab dan Palestina menentang Zionisme. Pasalnya, status Israel membuat para Yahudi punya privilese yang tak dimiliki kelompok lain.
Sebagai misal, Yahudi di mana pun dapat menjadi warga negara Israel, tak demikian halnya dengan orang Islam atau Kristen atau Hindu atau kepercayaan lain.
Dus, Zionisme di kepala orang Arab sejajar dengan kolonialisme dan rasisme yang diarahkan untuk merenggut tanah Palestina serta melucuti segala hak orang Palestina.
Kondisi demikian bukan didiamkan. Negara-negara Arab pernah berhasil membuat Sidang Umum PBB meloloskan resolusi yang mencap Zionisme sebagai sebentuk rasisme dan diskriminasi rasial pada 1975. Namun, 16 tahun kemudian, resolusi itu dicabut. (lokadata)