Diakonia.id – BAGI sebagian besar umat Kristen, bulan Desember adalah bulan yang penuh dengan kesibukan. Pelbagai aktivitas minggu Advent dan rencana perayaan Natal memenuhi agenda. Kegiatan gerejawi khas Natal seperti latihan paduan suara, latihan drama, sampai kunjungan ke panti asuhan gencar di lakukan di bulan ini.
Kelas pekerja yang beragama Kristen tentunya punya beban berganda di penghujung tahun. Selain hiruk pikuk aktivitas gerejawi yang melelahkan, mereka juga di berikan kuk tenggat waktu pekerjaan akhir tahun. Laporan, target penjualan, evaluasi bahkan desakan untuk mudik, hadir memberi beban tambahan.
Sependek pengalaman saya, setidaknya ada dua reaksi umat yang umum dijumpai ketika menghadapi Natal.
Pertama, kelompok umat yang nominalis. Mereka merayakan Natal dalam suasana akrobatik kegiatan gerejawi, tekanan pekerjaan dan aktivitas liburan. Bagi kelompok ini memasuki masa Natal artinya tenggelam dalam acara gerejawi dan mengisi waktu libur bersama keluarga.
Di pojok lain, ada juga kelompok esensialis yang selalu mengingatkan makna sosial Natal pada khalayak kristen. Kelompok ini biasanya hadir mengemukakan keprihatinannya dengan memberi refleksi soal Natal di berbagai platform sosial media. “Natal seharusnya bukan hari hura-hura”, “Natal seyogiayanya tidak dilakukan dalam suasana konsumtif”, “Natal adalah perayaan kesederhanaan Ilahi bahwa Yesus kristus telah datang ”, dan berbagai jargon moralis lainnya.
Menikmati Patologi Natal
Seorang psikiater dan peneliti dari universitas Harvard, AS, James Cattel, mengkaji berbagai perilaku terkait dengan perayaan Natal dalam risetnya tentang Holiday Syndrome[1]. Holiday syndrome adalah sebuah patologi kejiwaan yang ditandai dengan kecemasan, perasaan melankolia, sekaligus kegirangan dan histeria yang ditimbulkan karena seseorang merayakan hari raya keagamaan, dalam hal ini khususnya hari Natal.
Cattel mengatakan bahwa holiday syndrome terjadi karena senam mental yang khas: kenangan campur aduk tentang masakan ibu, aroma pohon Natal, baju baru, bahkan lagu koor natal yang syahdu, bekelindan dengan balutan teror rasa bersalah karena kita belum berbuat apa-apa buat orang miskin, anak yatim piatu, dan bani miskin kota. Senang tapi cemas.
Di antara tarik menarik desakan yang ganjil inilah kenikmatan terbit. Lagu tradisional Natal khas Amerika serikat yang mendunia, seperti Christmas Song, Its most wonderful time of the year ,I’ll be home for Christmas, Blue Christmas secara jitu, menurut Cattel, menggambarkan patologi ini.
Lebih lanjut, studi-studi neurosains terkini, misalnya yang dilakukan Matthew E Sach dalam Jurnal Frontiers of Human Neurosciene, menunjukan bahwa intensitas yang tinggi dalam mendengarkan lagu-lagu Natal yang sentimentil, berkorelasi positif dengan gangguan kimiawi otak di bagian anterior cingulate cortex (ACC), yang sedianya berfungsi menata keterampilan interaksi sosial [2]. Maka secara ironis perayaan Natal dapat memberi makna, tepat karena patologi kejiwaan yang ditimbulkannya, tutur Cattel[3]. Sebuah patologi yang mensyaratkan keadaan dunia tetap dalam ketimpangan dan penderitaan demi membangun ironi dramatis dari hari raya keagamaan.
Bagaimana Kekristenan progresif sedianya merayakan Natal ?
Pertanyaan lebih lanjutnya adalah bagaimana semestinya kita merayakan Natal? Apakah kita mesti bersikap apatis terhadap semua bentuk perayaan Natal yang tradisional?
Untuk dapat menjawabnya, pertama-tama kita mesti memikirkan ulang bagaimana cara memaknai peristiwa relijius agar kita dapat merayakannya dengan tepat.
Peristiwa relijius memiliki watak penghayatan yang berbeda dari peristiwa sejarah. Leonardo Boff, seorang Teolog Pembebasan dari Brazil, membedakan keunikan peristiwa (religious event) keagamaan dengan peristiwa sejarah (historical event). Jika peristiwa sejarah berurusan dengan keakuratan waktu, tempat dan kronologis kejadian, peristiwa keagamaan (religious event) senantiasa menautkan bobot imajinasi soal dunia dan kenyataan sosial seperti apa yang dapat dicapai di masa depan.
Maka dalam terang pemaknaan Kristiani, perayaan peristiwa kelahiran Yesus Kristus (dalam Natal) tidak berpretensi membuktikan kapan dan dimana Yesus sebenarnya lahir. Dan karena itu umat kristen memang tidak berpretensi meyakini bahwa Yesus dari Nazareth itu lahir tanggal 25 Desember di tahun pertama Masehi.
Tujuan Natal yang utama dalam liturgi kristen adalah memberikan paparan perihal imajinasi tentang dunia seperti apa yang akan terwujud karena peristiwa kelahiran Yesus Kristus.
Perlu kita cermati bahwa narasi-narasi utama tentang kelahiran Yesus Kristus yang disaksikan oleh kitab Injil sinoptik (Matius, Markus, Lukas) senantiasa memasukkan latar krisis bangsa Israel yang sedang berada di bawah cengkraman penjajah berbagai Imperium[4].
Natal Di Tengah Apatisme Politik
Salah satu bagian Alkitab yang populer dalam merujuk peristiwa Natal adalah Lukas 2 :10-11, yang menceritakan kisah perjumpaan malaikat dengan gembala di padang Efrata di malam hari.
“Lalu kata malaikat itu kepada mereka: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa:
Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat (mesias), yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. Begitu pesan malaikat itu.”
Tapi apa maksudnya pesan itu? Apakah relevansinya bagi para gembala upahan itu bahkan bagi segala bangsa?
Wilayah Palestina dikenal sebagai area kecil yang menjadi bulan-bulanan kepentingan politik regional kala itu. Ide tentang pembebasan nasional yang disampaikan para nabi telah memberikan imaji tentang mesias. Sosok pembebas bangsa dari kekuatan imperialis. Kisah-kisah mesianik ini terbentang luas mulai dari kitab kejadian sampai Yesaya. Dan sebagaimana kita duga, semua kisah mesianisme (seseorang yang ditunjuk untuk menjadi pembebas) akan berakhir dengan kekecewaan. Mesias itu gagal membawa revolusi.
Maka dalam konteks abad 1 di Palestina, dapat dikatakan ide melawan hegemoni imperium lewat jalur mesias sudah tidak populer sebagaimana abad-abad sebelumnya. Sebagian besar kelompok Yahudi bahkan sudah tidak meyakini kedatangan mesias itu secara politik dan literal. Kelompok Saduki dan Herodian misalnya, sudah terang-terangan menolak ide ini. Bagi kebanyakan orang Yahudi abad pertama, imajinasi perlawanan kepada hegemoni imperium, apalagi membentuk tatanan kehidupan politik alternatif adalah kegilaan kalau tidak mau disebut kemustahilan.
Di tengah apatisme akut tersebut, berita kelahiran Yesus Kristus memberikan harapan baru kepada para gembala upahan, kelompok paling rentan dalam masyarakat saat itu.
Karena Mesias lahir, maka gerakan kontra imperium dimulai. Karena Mesias lahir, imajinasi baru tentang masa depan dunia yang bebas dari imperium Romawi itu mungkin. Another world is possible. Dunia beserta tatanan baru bisa terwujud karena Kelahiran sang Putera.
Di atas kepercayaan kepada kabar inilah Natal menjadi kabar baik bagi setiap bangsa.
Tetapi mengapa berita ini perlu dianggap signifikan untuk dirayakan ?
Jika isu pembebasan nasional (bahkan internasional) melalui mesias adalah kabar usang bagi kebanyakan khalayak di Palestina saat itu, mengapa kabar kelahiran Yesus dianggap signifikan bagi pengikut Kristus ?
Bagi penulis Injil Yohanes, signifikansi kelahiran Yesus sang mesias ditemukan dalam pemaknaan Yesus sebagai Firman Allah (baca: presentasi Allah) yang menjadi daging dalam sejarah.
Secara radikal peristiwa ini hendak membongkar mitos bahwa keilahian adalah sesuatu yang sepenuhnya berada di seberang pengalaman kemanusiaan.
Dengan vulgar kisah kelahiran Yesus yang dikisahkan injil justru menunjukan aspek-aspek kerapuhan sang bayi mesias. Penulis Injil seolah ingin menunjukan pada para pembacanya untuk segera membuang jauh-jauh ide bahwa Yesus Kristus adalah sosok manusia setengah dewa yang sakti mandraguna. Sang Kristus ini adalah manusia seutuhnya di dalam dunia yang sungsang dan penuh kontradiksi.
Maka kemudian Yohanes secara unik menempatkan Yesus secara ontologis sebagai titik kontak antara yang ilahi dan yang insani. Penulis Injil Yohanes berkata, “Firman itu telah menjadi daging dan tinggal di antara kita” (Yohanes 1 :14). Yang ilahi itu kini berada, berjumpa, dan bergerak di dalam sejarah manusia dalam segala kerapuhannya, agar yang banal dari kenyataan dapat diterobos.
Di dalam peristiwa kelahiran Yesus Kristus di Betlehem, segala percakapan tentang keilahian bukan lagi soal spekulasi ontologis. Sejak kelahiran Yesus Kritus sang Kalam, semua penghayatan ketuhanan harus menyertakan segala siasat untuk mengintervensi jalannya sejarah menuju pembebasan segala mahluk.
Merayakan Natal Dengan Imajinasi Baru Tentang Dunia
Dari lensa ini Natal sesungguhnya bukan kabar sukacita bagi umat Kristen saja. Natal adalah kabar sukacita bagi segala mahluk yang bernafas. Natal adalah sebuah perayaan yang memberi bahan bakar bagi revolusi dunia.
Di dalam lini masa perayaan Natal, semangat revolusioner dari Natal rupanya pernah ditangkap oleh seorang pendeta gereja baptis bernama Samuel Sharpe (1804-1831). Sharpe adalah seorang Jamaica dari keluarga budak pada tahun 1805-an. Sejarah mencatat, kala itu Jamaica adalah wilayah kolonial Inggris yang miskin dan menjadi tempat pemasok budak bagi wilayah-wilayah koloni Inggris di seluruh dunia . Di kemudian hari Sharpe yang menjadi seorang kristen baptis, menemukan bahwa kolonialisme dan rasisme adalah musuh utama kabar baik Natal[5].
Tepat pada hari Natal, 25 desember 1831, Sharpe memimpin pemogokan massal yang berhasil mengorganisir pemogokan 300.000 budak pekerja perkebunan kapas selama sepuluh hari. Gerakan itu dikenal sebagai Baptist Christmas war. Perlawanan inilah yang turut mendorong terbentuknya undang-undang Slavery Abolition Act pada tahun 1833 di kemudian hari[6] yang secara legal menghapus perbudakan dan pekerja anak di seluruh imperium Inggris .
Natal tahun ini di Indonesia akan dirayakan di hadapan berbagai kasus intoleransi, kompetisi politik elektoral yang menjemukan, limpahan kasus pelanggaran hak asasi manusia, serta berbagai catatan suram tentang berbagai kekalahan perjuangan kelas pekerja di hadapan korporasi yang didukung negara. Sungguh bukan tahun yang mudah untuk merayakan Natal.
Tetapi lagi-lagi Natal memang hadir senantiasa dalam kerapuhan.
Tantangan bagi kita hari ini adalah apakah kita mau merayakan Natal melampaui melankolia “sindrom hari libur”? Maukah kita menggunakan momentum Natal tahun ini untuk menyampaikan kabar sukacita lewat kata dan tindakan, bahwa karena kelahiran Yesus Kristus, fajar baru perlawanan sudah terbit untuk menantang semua struktur kekuasaan yang menindas kehidupan. [Indoprogress]
Penulis: Pdt. Suarbudaya Rahadian
—————
[1] http://www.psychiatrictimes.com/major-depressive-disorder/holiday-syndrome-who-exactly-came-idea-those-christmas-blues/page/0/1
[2] https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4513245/
[3] Cattell JP. The holiday syndrome. Psychoanal Rev. 1955;42:39-43.
[4] Sejak abad ke 8 BC- 1 CE Palestina senantiasa menjadi bulan-bulanan kepentingan politik regionalnya. Bandingkan Paul Johnson, History of the Jews, p. 106, Harper 1988
[5] Turner, Mary. Slaves and Missionaries: The Disintegration of Jamaican Slave Society, 1787–1834 (University of Illinois Press, 1982), p. 81
[6] Craton, Michael. Testing the Chains: Resistance to Slavery in the British West Indies (Cornell University Press, 1983), pp. 297–98
Kepada Yth.Redaksi,
Tulisan di atas adalah artikel yang saya tulis di Indoprogress.com pada 22 Desember 2018 silam. Mohon cantumkan nama penulis dan dari mana asal tulisan ini dikutip.
Salam,
Pendeta Suarbudaya Rahadian
Pengasuh Rubrik Kristen Progresif Indoprogress
Hi Pak Rahadian,
Sudah dicantumkan di akhir berita pak.
Silahkan dicek.