Oleh: Gurgur Manurung
Menjelang pesta demokrasi kita bulan April 2019 gambar para Calon Legislatif (Caleg) bergelantungan di pinggir jalan, di pintu rumah-rumah, dan diberbagai tempat umum. Gambar-gambar itu cukup mengganggu pemandangan. Para Caleg itu seperti berlomba kreatif mempercantik gambarnya. Banyak juga yang mengabaikan aturan. Sisi positifnya, geliat bisnis percetakan baliho, kartu nama, dan tukang pasang baliho mendapat suntikan dana segar
Dari Baliho, atau alat-alat peraga yang ditunjukkan banyak tulisan yang bersifat pesan. Ada pesan yang baik dan ada yang konyol, pesan yang mendidik dan pesan pembodohan politik.
Berbagai gaya dipertontonkan di Baliho. Mulai dari gaya alamiah hingga gaya tegang alias marsitoltol dalam bahasa Batak. Marsitoltol itu adalah gaya susah senyum.
Dari pesan yang dituliskan di Baliho atau pesan di berbagai alat peraga kampanye dapat kita nilai Caleg itu cerdas atau tidak. Bisa juga pesan itu dari konsultan politik atau dari pikiran para caleg.
Karena ada pesan dari konsultan, maka kita juga hati-hati menilai apakah pesan itu ciri pemikiran, tindakan, atau orisinalitas caleg. Karena itu kita harus mengenali para caleg dengan baik.
Pesan-pesan Caleg yang termasuk pembodohan politik adalah melibatkan orang lain di luar dirinya. Misalnya, Caleg DPR Provinsi ditulis Jahorman, anak dari Pandoltuk, menantu dari Tolpus, suami dari Japikkir, dan nama keluarga lain yang dianggap bisa mendulang suara baginya.
Pesan seperti ini merupakan gambaran dari Caleg yang tidak percaya diri dan menghilangkan orisinalitas diri. Pesan yang tidak mendidik bagi Caleg itu sendiri dan perkembamgan demokrasi kita. Sejatinya Caleg itu seorang pejuang yang ciri-cirinya adalah orisinalitas perjuangannya. Misalnya, selama ini pejuang anak disabilitas, pejuang tolerasi, pejuang rakyat terpinggirkan, pejuang bagi petani, pedagang kaki lima, pejuang lingkungan, pejuang masyarakat adat, dan lain sebagainya.
Dari pesan yang mengandalkan orang lain seperti nama orang tua, mertua, istri/suami dan berbagai orang yang dekat dengannya menggambar caleg itu hanya memanfaatkan keadaan untuk kekuasaan. Sikap ini akan memperburuk demokrasi kita. Tidak ada yang bisa diharapkan dari Caleg semacam ini. Sebab, Caleg semacam hanya memikirkan dirinya. Padahal Caleg itu diharapkan memperjuangkan keadilan bagi konstituennya.
Masyarakat harus sadar, Caleg inilah yang bertugas untuk mengurusi rakyat. Apapun masalah rakyat, rakyat duduk manis sebab ada wakilnya untuk mengurusi dirinya
Politisi adalah tempat pengaduan bagi persoalan rakyat. Bagaimana mungkin rakyat mengadu kepada politisi yang tidak paham tugasnya. Apakah si Caleg ini kelak mengadu kepada ayah, istri/suami, mertua atau siapapun yang ditulis di Baliho atau alat peraga itu?.
Dari gambaran yang saya sampaikan ini jelaslah kita butuh anggota legislatif di Kabupaten/Kota, Provinsi, Pusat dan anggota DPD yang orisinil.
Sebab, banyak Caleg sekarang memanfaatkan jaringan bisnis orangtua, keluarga, sahabat, dan lain sebagainya. Tidak ada ciri orosinalitas Caleg. Ini namanya oportunistik. Tidak ada yang bisa diharapkan dari seorang oportunis.
Demokrasi kita akan lebih baik jika Calegnya orisinil seperti cerdas, rendah hati, petarung bagi keadilan, gesit, dan memahami demokrasi dengan baik. [indovoices.com]
#gurmanpunyacerita