Diakonia.id – Kemajemukan mewarnai bumi Indonesia, mulai dari keragaman budaya, bahasa, suku, ras dan agama. Keberagaman itu anugerah. Indonesia tanpa keberagaman, bukanlah Indonesia. Menatap realitas keberagaman yang ada dalam Indonesia, terdapat semboyan negara yaitu Bhenika Tunggal Ika yang tertulis dalam lambang Indonesia yaitu Garuda Pancasila. Melalui semboyan negara Indonesia menggambarkan kondisi Indonesia yang memiliki keragaman tetapi tetap mampu menjadi satu bangsa dan satu tanah air. Bhenika Tunggal Ika secara harafiah yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu, artinya walaupun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap satu kesatuan. Penulis berpikir, bahwa kesejahteraan Indonesia harus mampu melakukan tindakan positivisme yang melampaui Pancasila yaitu toleransi. Namun, siapa yang menyangka bahwa keberagaman yang penulis lihat sebagai keindahan ternyata saat ini sedang bergejolak. Keberagaman di Indonesia selalu diuji melalui banyaknya pertikaian antara relasi minoritas dan mayoritas yang tak kunjung berakhir. Dari masa ke masa, Indonesia tidak pernah terlepas dari kasus intoleransi. Tentunya, yang memicu adanya pertikaian yaitu sikap intoleransi. Intoleransi menjadi dilema moral sosial dan fenomena sosial bukan label semata.
Intoleransi merupakan suatu tindakan yang berdasarkan tiga komponen antara lain ketidakmampuan dalam menahan diri saat tidak suka kepada orang lain atau komunitas tertentu, sikap yang kerap sekali mencampuri bahkan menentang sikap atau keyakinan orang lain dan tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk mengganggu hak orang lain. Menurut KBBI, Intoleransi merupakan ketiadaan tenggang rasa. Menurut penulis, Intoleransi selalu berujung pada sikap, sehingga terlihat secara nyata bahwa benih dari intolerasi yaitu ketakutan dan ketidakpedulian kepada antar sesama. Adanya perilaku ketidakpedulian kepada antar sesama muncul dari respon pemahaman seseorang yang dangkal terhadap perbedaan mulai dari culture, bahasa bahkan aspek agama. Sejauh pikiran mengingat, seringkali intoleransi berasal dari aspek agama karena agama merupakan aspek yang sangat sentitif jika disalah artikan oleh orang atau pihak tidak bertanggung jawab. Intoleransi terjadi tidak melihat situasi dan kondisi. Seperti saat ini di masa pandemi Covid-19 yang hadir dalam dunia secara terkhusus di Indonesia, menjadi motor kesempatan dalam melakukan tindakan intoleransi untuk melanggengkan tujuan tunggal atau kepentingan diri sendiri bahkan pihak yang berkaitan. Intoleransi yang terjadi di masa pandemi Covid-19 adalah hal yang begitu urgensi untuk disadari, dipahami bahkan ditindaklanjuti.
Indonesia salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang terdampak pandemi Covid-19 dengan tingkat paling tinggi. Berdasarkan data worldometers 30 September 2021, Indonesia berada di peringkat ke-13 sebagai negara dengan jumlah kasus Covid terbanyak Jumlah kasus positif Covid-19 yaitu 4.215.104. Di tengah ledakan kasus Covid-19 di Indonesia memicu terjadinya perputaran arus kegiatan masyarakat secara keseluruhan. Dampak dari kasus Covid-19 tidak hanya berdampak pada masyarakat melainkan juga berdampak kepada para aparat pemerintahan. Melalui ledakan Covid-19, para aparat pemerintahan bergegas berusaha memberikan arahan dan peraturan kepada pemerintah guna sebagai upaya menghentikan rantai penyebaran virus Covid-19. Namun apa daya, di tengah kesibukan pemerintah dalam menangani pandemi, menjadi ruang kesempatan di tengah kegentingan bagi beberapa pihak atau seseorang untuk melakukan tindakan intoleransi. Dari hal tersebut membawa trauma bahkan berkurangnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dari berbagai aspek.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian di artikel ini; 1) Penelitian Literatur 2) Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah library reseach yaitu penelitian kepustakaan yang diperoleh langsung dari fakta yang ada di data sekunder. Data sekunder yaitu data yang sudah ada dalam bentuk jadi seperti dokume/website, jurnal, buku dan publikasi yang lainnya. Data tersebut digunakan untuk mendukung dan menguatkan data penelitian tentang “pandemi motor kesempatan melanggengkan intoleransi”. Setelah ditentukan sumber data yang digunakan kemudian dilakukan pengumpulan data. Teknik pengumpulan dilakukan dengan peninjauan dari berbagai teori dan website yang ada. Data yang dikumpulkan bersifat fakta. Teknik pengumpulan data yang digunakan dengan pengumpulan hasil kajian literatur/kepustakaan.
Kasus intoleransi di masa pandemi
- April 2020, penggrebekan dari warga sekitar terhadap peribadatan di rumah seseorang penganut kristen di Cikarang Pusat, alasan dari penggrebekan karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
- September 2020, penghambatan dari pemerintah daerah terhadap pembangunan rumah dinas pendeta di Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) di Aceh Singil.
- 30 September 2020, terdapat surat edaran dari Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang berisi intruksi seluruh siswa-siswi wajib membaca buku Muhammad Al-Fatih 1453. Dalam buku tersebut mengarahkan pembacanya untuk bersifat intoleran dengan contoh kisah perobohan gereja dan diganti dengan masjid yang lebih dianggap heroik.
- Berkembangnya narasi intoleran warganet selama pandemi.
- Pelanggaran KBB terhadap munculnya polarisasi dalam masyarakat, politisasi Covid-19, pelipatgandaan marjinalisasi kelompok yang terdiskriminasi terutama perempuan, dan pembatasan/pembatalan kegiatan keagamaan. (Masih terdapat kasus lainnya yang bisa di akses dalam link tersebut.)
Analisa kritis terhadap pandemi motor kesempatan melanggengkan intoleransi
Berdasarkan beberapa kasus intoleransi di masa pandemi yang telah penulis dapatkan melalui kajian literatur/pustaka, penulis dengan sengaja mengambil lima contoh dari banyaknya kasus intoleran yang penulis dapatkan. Menurut penulis, dari kelima kasus di atas sudah mewakili beberapa kelompok kasus yang berbasis pada radikalisme, pelanggaran dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Polarisasi Media untuk saling menjatuhkan agama. Dalam memperdalam kasus intoleransi di masa pandemi dari ketiga basis tersebut, penulis menggunakan pendekatan etika sosial dengan memakai teori dari John Rawls, sebagai alat dalam menganalisa.
Tindakan intoleransi menjadi dilema moral. Tindakan intoleransi menolak prinsip nilai etis pribadi yang harus dihubungkan dan dikuatkan oleh nilai-nilai universal berdasarkan persetujuan bersama dalam masyarakat sosial demi mencapai common good. Tindakan intoleransi bermula pada rendahnya tingkat kesadaran moral yang berkembang dalam diri seseorang di tengah keberagaman. Menurut penulis, tindakan intoleransi hampir setara dengan tindak ketidakadilan karena keduanya sama-sama mengambil hak kebebasan seseorang demi mempertahankan kepentingan tunggal/individu/kelompok. Penulis menggunakan Theory of Justice dari Rawls yang memiliki dua prinsip keadilan, pertama adalah equal liberty (kebebasan yang setara) artinya setiap orang mempunyai hak yang sama untuk meraih kebebasan yang setara secara komprehensif, kedua adalah Equal goods shared, prinsip ini menekankan pada usaha mengamankan kebutuhan dasar bagi semua. Berdasarkan analisa di atas, tindakan intoleransi merupakan sikap yang mengesampingkan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam kehidupan sosial. Intoleransi juga dapat dinyatakan sebagai sikap yang menolak kebebasan dalam nilai-nilai universal yang telah menjadi persetujuan bersama.
Tindakan intoleransi yang menyasar pada Polarisasi Media membuktikan bahwa media sosial saat ini tidak lagi menjadi ruang diskursus untuk membicarakan dan menjadi sumber informasi mengenai permasalahan yang terjadi di publik. Media sosial saat ini realitanya menjadi fasilitas terjadinya polarisasi yang besar karena mampu menyeret agama, dasar negara dan budaya bangsa, sehingga berpotensi menimbulkan retorika kebencian dengan mengeksploitasi SARA. Polarisasi ideologis dan sikap intoleransi sangat berbahaya bagi demokrasi, masyarakat dan bangsa, bahkan juga agama, karena agama dieksploitasi sedemikian rupa demi kepentingan kelompok tertentu.
Kesimpulan dan Saran
Pandemi Covid-19 menjadi kesempatan bagi beberapa pihak atau seseorang dalam melakukan tindakan intoleransi. Tindakan intoleransi menjadi fenomena sosial dan dilema moral yang mengancam kemajemukan Indonesia. Tidak ada prinsip yang mendukung tindakan intoleransi, melainkan apapun sikap dan wujud intoleransi tetaplah mengesampingkan toleransi, kesetaraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Intoleransi harus segera disadari dan ditindaklanjuti untuk mencapai perdamaian. Penekanan pada nilai perdamaian tidak boleh terlepas dan mengabaikan kebenaran, kesetaraan, toleransi dan keadilan. Untuk mencapai itu semua sebagai bentuk praktis saran penulis, maka perlu memulai dari pendidikan usia dini dengan memasukkan dan mengenalkan nilai-nilai pancasila sebagai nilai kebangsaan. Ketidakpahaman terhadap ideologi dalam nilai-nilai Pancasila menjadi akar timbulnya kesenjangan moral yang berpotensi membentuk tindakan intoleransi. Diperlukan keseriusan pemerintah dalam mengatasi kasus intolerasi dan respon keseriusan masyarakat Indonesia terhadap kecenderungan tindakan intoleransi melalui perdamaian di tengah keberagaman. Hal itu menjadi pintu bagi umat beragama di Indonesia untuk mampu beragama secara kontekstual. Mengingat realitas Indonesia saat ini ada dalam pandemi Covid-19 yang membawa seluruh masyarakat Indonesia semakin mengenal media sosial, maka menjadi penting untuk menggunakan media sosial dengan penuh hikmat dan kebijaksanaan.
Penulis: Sri Rahayu. (pgi)