Diakonia.id – SALAH satu kata-kata mutiara yang paling sering dikutip dari Marx adalah “agama adalah candu rakyat”. Sewaktu mendengar kalimat itu pertama kali, saya belum terlalu mengerti apa esensinya. Yang jelas kalimat itu saya gunakan untuk menyerang agama dan ketuhanan karena saat itu saya masih gandrung dengan ketiadaan Tuhan dan mendaku sebagai ateis.
Setelah belajar tentang Marxisme dan hal-hal yang berhubungan dengan itu, saya akhirnya sedikit tahu tentang apa maksud dari kalimat itu. Marx berpendapat bahwa agama pada masa Marx hidup merupakan suatu hal yang digunakan sebagai katarsis kehidupan dan membuat manusia tidak kritis atas apa yang terjadi dalam kehidupannya. Alih-alih mencoba mencari apa yang membuat seseorang miskin kendati sudah bekerja dengan sangat keras, orang-orang yang keracunan agama akan berkata “bersyukur saja lah.” Alih-alih mencari akar dari penindasan, orang-orang yang setiap hari ke gereja akan berkata “ini sudah jalan Tuhan”. Hal ini lah yang mungkin menjadi salah satu penyebab saya gandrung akan ineksistensi Tuhan saat itu karena Tuhan pun justru tidak menjadi pemecah atas masalah-masalah yang terjadi pada hidup manusia.
Namun apakah benar demikian? Agama sudah ada di kehidupan manusia selama puluhan abad dan kemungkinan besar akan masih berlanjut. Sangat naif rasanya untuk berkata bahwa agama yang telah hadir dalam rentang waktu sedemikian lama sangat impoten dalam menjawab permasalahan sosial di kehidupan manusia. Atau jangan-jangan aplikasi kehidupan beragama yang saya lihat saja yang salah? Lalu bagaimana agama, khususnya di agama saya dibesarkan yaitu Kristen Protestan, menjelaskan hubungan manusia antar manusia dengan kehidupannya? Bagaimana Kristen Protestan menjelaskan tentang, katakanlah, penindasan dalam dunia kerja? Bagaimana Kristen Protestan memandang pemecatan sepihak MNC Group kepada karyawan-karyawannya?[1] Bagaimana Kristen Protestan memandang demo Awak Mobil Tangki (AMT) Pertamina atas hal serupa serta hal-hal lain terkait hubungan pekerja dan pemberi kerja?[2] Apakah itu merupakan tindakan pembangkangan yang dekat kepada dosa pemberontakan ataukah sejalan dengan penghayatan iman kristiani? Untuk menjawab hal itu kita perlu menelaah lebih lanjut bagaimana alkitab dan tradisi kristen protestan menempatkan kerja dalam pengejawantahan imannya.
Kerja, Citra Allah Pada Manusia, Serta Makna Hari Ketujuh Penciptaan
Kerja merupakan hal yang esensial dalam kehidupan manusia dalam agama Kristen. Kitab Kejadian 1 dan 2 menarasikan kerja manusia dalam dua bagian. Bagian pertama, yang menyebutkan tentang kerja manusia di bumi dalam hubungan tercipta dan pencipta dengan Allah, disebutkan pada kitab Kejadian 1:26-30. Disebutkan pada teks tersebut mengenai tugas manusia dalam menguasai dan memenuhi bumi serta pemenuhan kebutuhan manusia dari bumi. Bagian kedua menyebutkan tentang kerja secara lebih spesifik. Di teks tersebut dinarasikan tentang Adam dan Hawa yang mengerjakan Taman Eden (Kejadian 2:8-20). Serupa dengan bagian pertama, teks tersebut menceritakan tentang manusia yang diberi kuasa oleh Allah, namun bagian kedua lebih spesifik dalam menyebutkan kuasa manusia yang diberikan oleh Allah atas Taman Eden. Kedua teks tersebut secara eksplisit menyebutkan tentang mandat kerja manusia dalam hubungannya dengan Allah dan alam semesta.
Di antara kedua teks tersebut, pada pasal 2:2-3, tersisip tentang adanya hari ketujuh yang disucikan oleh Allah setelah enam hari menciptakan alam semesta. Hari itu kemudian disebut sebagai hari sabat yang disucikan oleh Bangsa Israel. Tertulis pada teks tersebut:
“ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu. Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuat-Nya itu.”
Secara eksplisit, pada teks tersebut tertulis mengenai berhentinya Allah dalam pekerjaan penciptaannya lalu kemudian memberkati dan menguduskannya. John Calvin memaknai peristiwa tersebut sebagai perintah Allah untuk dapat memaknai hasil kerja dengan mengontemplasikannya dan mengapresiasinya.[3] Bekerja, menghasilkan, dan mengapresiasi hasil kerja tersebut merupakan tanda keterpilihan orang Kristen sebagai umat pilihan Allah karena hanya dengan berperilaku demikianlah orang Kristen dapat segambar dengan Allah: mencipta-bekerja dan berhenti-memaknai. Dengan kata lain, pemaknaan hasil kerja merupakan hal yang menghubungkan manusia, hasil dari pekerjaannya, dan citra Allah pada manusia.
Kerja dan Penindasan
Dari penjelasan mengenai teologi kerja tradisional di atas, sangatlah jelas terlihat bagaimana kekristenan sangat menghargai kerja. Calvin bahkan mengatakan bahwa seorang saudagar lebih beriman daripada seorang pendeta.[4] Hal itu menunjukkan bahwa sesuatu dengan iman semata tidaklah lebih mulia dari pekerjaan yang aktif dan memiliki nilai material, bahkan dianggap lebih tidak beriman. Hal tersebut semakin memperjelas kemuliaan kerja, khususnya dalam Kristen Protestan pada tradisi Calvinist.
Pemahaman kerja tersebut mampu mendorong manusia untuk senantiasa bekerja dan memiliki arti dalam pekerjaannya tersebut. Namun hal tersebut tidaklah sempurna. Dalam era kapitalisme tingkat lanjut, semangat bekerja tentunya sangat dijunjung oleh para pemilik modal. Tuan mana yang benci melihat budaknya rajin bekerja? Juragan mana yang tidak suka pekerjanya bekerja dengan sangat giat? Bos mana yang tidak suka melihat buruhnya bekerja tanpa lelah? Nampaknya kemuliaan kerja versi tradisional Kristen pun belum tentu dapat memuliakan manusia.
Pandangan tradisional Kristen tersebut memberi makna atas kerja dengan cara retroaktif, yaitu menghubungkannya dengan proses penciptaan. Pandangan atas kerja tersebut hanya memberi alasan manusia untuk bekerja tanpa memberi tujuan yang pasti untuk apa manusia bekerja. Tanpa adanya tujuan, kerja hanya bermakna dalam dirinya sendiri. Tanpa adanya pemaknaan yang memberikan tujuan, kerja hanya dimaknai sebagai suatu aktivitas yang bergulir tanpa arah dan dapat dieksploitasi.
Kerja dan visi eskatologis[5]
Miroslav Volf, seorang teolog asal Kroasia, memiliki pandangan yang menarik mengenai kerja dan menghubungkannya pada visi eskatologis Kristen yang berbeda dengan pandangan tradisional Kristen. Teologi kerja tradisional Kristen memaknai kerja dengan dasar narasi penciptaan di kitab Kejadian, sedangkan Volf memaknai kerja sebagai building blocks proses penciptaan baru pada akhir zaman.
Secara garis besar, terdapat dua pandangan besar mengenai akhir zaman, yaitu: annihilatio mundi, atau visi akhir zaman yang bernarasi penghancuran dunia serta segala isinya hingga kemudian diciptakan dunia yang baru; dan transformatio mundi, yang memiliki pandangan bahwa dunia dan segala isinya akan turut berperan serta dalam proses transformasi ke dunia yang baru. Volf berpendapat pada akhir zaman akan terjadi proses transformasi alih-alih penghancuran dan penciptaan ulang. Volf berargumen bahwa pandangan annihilatio mundi memiliki beberapa kontradiksi dengan tradisi Kristen, seperti: kebaikan segala ciptaan Allah (Kejadian 1:31) dan kebangkitan Yesus dari kematian yang memuliakan manusia (1 Korintus 15:17). Dengan dasar visi eskatologis transformatio mundi ini, Volf memberi makna baru kepada kerja manusia.
Hal ini memberikan pandangan baru mengenai hubungan Allah dan manusia dalam mengelola alam semesta di tradisi Kristen. Dalam pandangan transformatio mundi, Volf mengatakan bahwa hubungan kooperasi antara Allah dan manusia (cooperatio dei) merupakan makna kerja yang terdalam. Volf menjelaskan kooperasi Allah dan manusia tersebut dalam dua model, yaitu: proses preservasi ciptaan (creation continua) dan proses prolepsis menuju transformasi pada akhir zaman. Kedua pandangan itu, menurut Volf, merupakan hal-hal yang sama pentingnya. Namun demikian, lagi-lagi Volf menitikberatkan pada pemaknaan kerja sebagai proses menuju transformasi akhir zaman. Walaupun demikian, Volf memberikan peringatan agar hal tersebut jangan disalahartikan sebagai pemberian validasi atas kekuatan manusia dalam proses transformasi. Proses transformasi pada akhir zaman, merupakan suatu anugerah dari Allah dan manusia berfungsi sebagai partner Allah dalam proses tersebut. Dengan demikian, akhir zaman bukan merupakan suatu hal yang dinanti secara pasif oleh manusia, tetapi merupakan suatu hal yang diusahakan secara aktif dengan tuntunan Roh Kudus yang selalu menyertai kerja manusia hingga terjadinya transformasi di akhir zaman.
Roh Kudus memiliki peran penting pada visi eskatologis transformatio mundi tersebut. Kitab Roma 8:23 menyebutkan “Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita.” Hal tersebut dimaknai sebagai Roh Kudus yang selalu menyertai manusia dalam penantiannya akan akhir zaman. Volf menolak pandangan yang melakukan restriksi atas Roh Kudus ke dalam interior internal diri manusia. Roh Kudus seharusnya senantiasa aktif di dunia eksternal dalam menyongsong terjadinya akhir zaman.
Kesimpulan
Kristen Protestan secara inheren memiliki visi ihwal kerja yang menghubungkan Allah dengan manusia. Kerja merupakan sebuah kolaborasi Allah dan manusia dalam mewujudkan tatanan dunia baru.
Volf, dengan pandangan kerja eskatologisnya, memberikan tujuan dan arah kepada kerja manusia. Dengan adanya tujuan dan arah yang pasti tersebut, kerja tidak dapat dilakukan dalam dirinya sendiri; kerja harus memiliki tujuan akhir, yaitu visi transformasi pada akhir zaman. Dengan demikian, segala kerja yang memiliki tujuan semata-mata sebagai pendulang profit tidaklah sesuai dengan visi eskatologis Kristen. Kerja yang bertujuan pada profit merupakan suatu bentuk egosentrisme sekelompok manusia yang tentu tidak sejalan pada visi eskatologis Kristen yang bertujuan membawa seluruh manusia turut di dalamnya pada proses pembaharuan dunia. Visi inilah yang memberi amunisi teologis bagi semua kaum pekerja kristiani untuk tidak ragu-ragu menyerukan semangat mengorganisasi diri dan melawan kesewenang-wenangan korporasi.***
Penulis: Bhagaskara Prakosa/IndoProgress
——–
[1] Menurut situs berita Tirto.id, pada Rabu 5 Juli 2017, perwakilan para karyawan MNC Group melakukan demo di gedung kantor Kemenakertrans. Terdapat setidaknya 300 karyawan MNC Group yang dipecat secara sepihak oleh pemberi kerja tanpa diberikan pesangon yang sesuai dengan peraturan yang mengatur tentang pemberian pesangon. Berita terkait dapat dilihat di https://tirto.id/tak-terima-phk-massal-karyawan-mnc-datangi-kemenakertrans-cr2u (diakses pada 11 Juli 2017).
[2] Menurut situs berita Jawapos, pada 26 Mei 2017 terdapat kasus pemecatan sepihak oleh PT Pertamina Patra Niaga kepada 414 awak mobil tangki Pertamina. Berita terkait dapat dilihat di http://www.jawapos.com/read/2017/06/14/137553/414-sopir-pertamina-kena-phk-sepihak-karyawan-ancam-mogok-kerja (diakses pada 11 Juli 2017).
[3] Lihat Perintah Keempat pada ajaran John Calvin, Geneva Catechism, angka 179, http://www.fivesolas.com/calsaba.htm (diakses 11 Juli 2017).
[4] Alister McGrath, Calvin and the Christian Calling, First Things , vol. 94 (June/July 1999), 31-35.
[5] Eskatologi (dari bahasa Yunani ἔσχατος, eschatos yang berarti “terakhir” dan – λογος, logos yang berarti “studi tentang”) adalah bagian dari teologi dan filsafat yang berkaitan dengan peristiwa-perisitwa pada masa depan dalam sejarah dunia, atau nasib akhir dari seluruh umat manusia, yang biasanya dirujuk sebagai kiamat (akhir zaman).