Diakonia.id – Pengamat intelijen dan terorisme dari Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta menilai aksi teror yang dilakukan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Poso pimpinan Ali Kalora merupakan upaya balas dendam atau untuk menekan masyarakat.
Kelompok teroris tersebut menewaskan empat orang ketika melancarkan serangan dan pembakaran tujuh rumah warga di Desa Lemban Tongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Jumat (27/11). Mereka juga dilaporkan membakar Pos Pelayanan Gereja Bala Keselamatan.
“Serangan ini bisa jadi balas dendam. Mereka bisa mencari siapa yang beri tahu [keberadaan mereka] ke polisi, [atau karena gagal] meminta logistik [ke masyarakat]. Bisa macam-macam,” kata Stanislaus kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Minggu (29/11).
Dugaan bales dendam yang ia ungkap mengacu pada insiden dua pekan lalu,saat dua anggotanya tertembak ketika melakukan penangkapan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri dan Satuan Tugas Tinombala.
Ia pun menduga kelompok Ali Kalora berupaya mengintimidasi masyarakat yang diduga membocorkan keberadaan mereka ke aparat. Menurutnya, serangan seperti ini menjadi ciri khas dari MIT.
Stanislaus menjelaskan kelompok yang berkiblat pada kelompok teror Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) umumnya memiliki dua target penyerangan dalam jejak kasusnya, yakni polisi dan rumah ibadah yang berbeda keyakinan dengan mereka.
Serangan pada rumah ibadah umumnya dilakukan di momen khusus, seperti menjelang Natal dan tahun baru atau saat bulan Ramadhan. Di luar itu, MIT umumnya menyerang polisi.
Selain itu, mereka juga kerap menyerang masyarakat setempat sebagai upaya menyebarkan ketakutan agar keberadaan mereka tidak diadukan ke aparat kepolisian.
“Ini juga pernah dilakukan Ali Kalora beberapa waktu yang lalu kepada penduduk karena dianggap memberitahukan keberadaan kelompok mereka ke polisi. Itu dieksekusi sama Ali Kalora,” tuturnya.
Terlepas dari upaya balas dendam, serangan ini menurut Stanislaus juga sebagai upaya memelihara eksistensi. Dalam setahun ini, lanjutnya, MIT masih rutin melakukan serangan ke masyarakat atau polisi.
April lalu, MIT menyerang anggota kepolisian yang tengah berjaga di Bank Syariah Mandiri, Jalan Pulau Irian Jaya, Poso. Sempat terjadi baku tembak dalam insiden ini. Buntutnya, dua orang pelaku berhasil dilumpuhkan.
Belum lama sebelum penyerangan itu, Ali Kalora memperingati kekalahan negara akan pandemi covid-19 dalam video berdurasi satu menit yang tersebar di media sosial.
Ia mengatakan Thogut–sebutan yang dipakai MIT kepada musuhnya–akan jatuh dan tersungkur dalam peperangan melawan corona dalam waktu dekat.
“Mereka selalu menunjukan eksistensi, keberadaan mereka dan melakukan aksi teror dan propaganda. Kali ini mereka sukses. Masyarakat viralkan video-video mereka. Ini kan sama saja menyebarkan ketakutan mereka,” pungkas Stanislaus.
Menurutnya, kelompok MIT sendiri sebenarnya tak memiliki sumber daya yang besar. Anggota mereka hanya belasan dengan bekal tiga pucuk senjata laras panjang. Namun mereka menguasai daerah persembunyiannya di hutan dan pegunungan.
Ia pun menilai jika pemerintah berupaya ekstra, seharusnya kelompok teroris tersebut bisa ditumpas dan dilumpuhkan. Hal ini penting dilakukan cepat karena kelompok itu kerap menyasar masyarakat sebagai target teror mereka.
Sebelumnya, aparat kepolisian mengatakan tindakan yang dilakukan kelompok MIT merupakan upaya menakut-nakuti warga setempat.
“Jadi mereka kadang-kadang suka melakukan aksi secara acak. Namanya teroris, jadi melakukan tindakan teror untuk menakut-nakuti masyarakat,” tutur Kabid Humas Polda Sulteng Kombes Didik Suparyanto.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono mengatakan penyerangan dilakukan oleh 10 orang tak dikena. Serangan diduga kuat dilakukan oleh MIT atas keterangan saksi yang mengatakan tiga orang pelaku adalah buron yang dicari Satgas Tinombala.
“Tiga orang OTK tersebut adalah teroris Ali Ahmad alias Ali Kalora dkk,” ujarnya.
(fey/evn/CNN)