“Masukkan pedang itu kembali ke sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang.” (Matius 26:52)
Perang masih bergejolak di dunia, perang terbuka yang melibatkan tentara Amerika ke Afghanistan maupun serangan-serangan teroris yang terselubung di mana-mana memang memberi kepuasan bagi yang melakukan balas dendam namun jelas menjadi derita buat yang tidak ikut apa-apa. Korban-korban WTC maupun rakyat sipil di Afghanistan semua menderita berat karena ulah sebagian masyarakatnya yang bersifat anarkis.
Yang menjadi soal adalah pada awal abad ke-20 ini terjadi suatu semangat kebangunan premordial yang luar biasa, dimana sebagian orang menjadikan agama sebagai pembenaran untuk merestui perang & teror yang mereka lakukan secara anarkis itu.
Benarkah agama menjadi biang kekerasan dan perang? Benarkan agama mengajarkan permusuhan yang menyengsarakan rakyat banyak yang tidak berdosa? Bila kita bertanya pada pimpinan agama umumnya jawabannya tidak, namun di lapangan kita sering mendengar seruan perang oleh sebagian umat beragama digelar atas nama agama.
Memang agama sering dijadikan pembenaran karena kitab-kitab suci agama sekalipun memuat ajakan damai namun seringkali mengungkapkan sisi lain dimana otoritas Tuhan sangat ditonjolkan sehingga ada sebagian umatnya yang menjadikan otoritas itu untuk memerangi setiap praktek hidup yang dianggap melawan otoritas Tuhannya.
Gregory Baum dalam bukunya ‘Religion & Alienation’ dengan gamblang menyebutkan bahwa memang agama cenderung memiliki dua sisi dalam hubungan dengan fungsinya bagi kesejahteraan hubungan antar manusia. Di satu sisi tidak dapat dipungkiri bahwa agama banyak membawa damai yang menyembuhkan luka-luka hubungan kemanusian (therapeutic) namun di sisi lain kita melihat bahwa fanatisme agama bisa berdampak mengasingkan manusia dari manusia lainnya (alienating).
Ayat di atas menunjukkan situasi dimana Tuhan Yesus akan di tangkap dan terjadi peristiwa yang mendua tersebut. Di satu sisi Tuhan Yesus dengan ajaran-ajarannya selalu memberitakan kasih dan damai sejahtera dibalik kritiknya akan dosa dan kejahatan manusia yang memecah belah manusia, namun Petrus ingin membela Tuhannya yang akan ditangkap dengan spontan itu dengan berusaha melawan dengan menghunus pedangnya.
Tetapi yang lain heran sebab Tuhan Yesus tidak merestui tindakan anarkis itu bahkan mengatakan bahwa mereka yang menggunakan pedang akan binasa oleh pedang, hukuman atas kesalahan terletak di tangan Tuhan dan bukan di tangan manusia.
Peringatan itu sangat telak sehingga akhirnya rasul Petrus yang semula begitu pengecut yang sampai tiga kali menyangkali Tuhan Yesus dan seorang yang tidak labil imannya, akhirnya menjadi seorang rasul yang menjalankan kasih Tuhannya kepada sesama manusia dan rela mati sebagai martir.
Masa kini kita melihat situasi yang sama di dunia dimana perang selalu dibumbui dengan nuansa agama, atau agama dijadikan pembenaran untuk kejahatan perang, namun di balik itu kita bersyukur bila mendengar bagaimana orang-orang beragama berusaha untuk meredakan bahkan menghentikan perang itu.
Situasi di Indonesia juga sering dibumbui penyalah gunaan agama serupa baik oleh sebagian umatnya maupun oleh sebagian pemimpinnya. Kita melihat penghancuran rumah-rumah ibadat yang dilakukan dengan nuansa agama, kita melihat teror-teror yang sering dilakukan sebagai hasil sentimen agama, dan kita melihat dengan hati pedih adanya konflik-konflik horisontal yang melibatkan kelompok-kelompok penduduk yang dipisahkan oleh batas-batas agama, namun dibalik itu kita tetap melihat adanya usaha-usaha dari orang-orang dari agama yang sama yang menyerukan penghentian konflik dan menghadirkan damai sejahtera di antara sesamanya.
Sudah tiba saatnya dalam menyiapkan dua upacara agama besar diakhir tahun ini yaitu Idul Fitri dan Natal yang tak lama lagi, semangat silaturahmi dan damai sejahtera bisa dihadirkan di bumi Indonesia, karena bagaimana pun konflik selalu mendatangkan derita dan tidak pernah konflik agama menghasilkan kemenangan disatu pihak, dua pihak akan menanggung derita itu.
Kita patut bersyukur bahwa Indonesia tidak melarang satupun agama di Indonesia untuk beroperasi dan kita patut bersyukur bahwa Indonesia dapat bersatu sekalipun mempersilahkan banyak agama beroperasi, namun kita juga harus tetap berdoa dan berjaga agar kedamaian antara umat beragama itu dapat tetap dijalin agar Indonesia dapat segera mengakhiri masa krisisnya dan memasuki kesejahteraan yang dahulu sudah pernah dikecap dan berharap agar sentimen damai dan kasih lebih mendominasikan umat beragama sehingga agama dapat menjadi bukan sekedar wacana namun juga sarana dalam mensejahterakan masyarakat Indonesia. (Herlianto/yabina.org)