Peraturan daerah (perda) syariah, yang digambarkan mengandung substansi dasar hukum Islam, dianggap mengancam keberagaman dan nilai Pancasila, danpada saat bersamaan menjadi alat politik elektoral yang ampuh.
Diakonia.id – Isu soal hadirnya perda syariah sendiri sempat ramai dibicarakan lagi akhir tahun 2018 lalu ketika Partai Solidaritas Indonesia (PSI) lantang menentangnya. Sebagian pihak lantas mempertanyakan dan mempermasalahkan sikap partai tersebut.
Di sisi lain, provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah sejak tahun 2002 menerapkan peraturan perundang-undangan sejenis perda syariah–yang juga disebut qanun—untuk mengatur tata pemerintahan dan kehidupan masyarakat kota serambi Mekah itu.
Pada 2015 lalu, pemprov Aceh bahkan mulai menerapkan qanun jinayat atau hukum pidana Islam di wilayahnya.
Belakangan, bukan lagi perda syariah, Ijtima Ulama IV–pertemuan sejumlah pemuka agama yang mendapuk Rizieq Shihab sebagai imam besar mereka–merekomendasikan hadirnya NKRI bersyariah berdasarkan Pancasila.
Mimpi Indonesia sebagai negara yang Islami bukan barang baru. Upaya untuk mewujudkannya telah dilakukan sejak masa pra-kemerdekaan Indonesia.
Piagam Jakarta, yang menjadi draf awal dasar negara, memiliki butir yang berbunyi “Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja”. (dibaca: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya)
Akan tetapi, poin tersebut direvisi menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” saat pengesahan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945.
Sekarang, di masa pascareformasi, sejumlah peraturan daerah dengan nuansa keagamaan – sebagian besarnya bernuansa Islam – disahkan pemerintah daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Menurut hasil penelitian Syafuan Rozi dan Nina Andriana dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang Politik Kebangsaan dan Potret Perda Syariah di Indonesia: Studi Kasus Bulukumba dan Cianjur, selama periode 1999-2009, terdapat 24 provinsi atau 72,72% daerah di Indonesia yang menerbitkan perda bernuansa agama, baik syariah Islam maupun Injili.
Setidaknya ada 151 perda dan surat keputusan kepala daerah syariah/Injili yang lahir kala itu, demikian penelitian mereka.
Angka itu berlipat ganda dalam hasil penelitian Michael Buehler, dosen perbandingan politik di SOAS University of London, yang ia terbitkan dalam bukunya yang berjudul Politics of Shari’a Law.
Berdasarkan penelitiannya, dalam kurun 1999 hingga 2014, muncul 443 perda syariah di Indonesia. Salah satunya di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Cianjur merupakan salah satu daerah yang paling produktif menelurkan peraturan bernuansa Islami di provinsi Jawa Barat–provinsi yang juga memiliki perda syariah terbanyak.
Pemerintah setempat menganggap hal itu wajar adanya mengingat Cianjur yang memiliki corak kehidupan Islami.
“Cianjur ini gudangnya santri, itu yang melatarbelakangi,” tutur Herman Suherman, pelaksana tugas Bupati Cianjur, saat ditemui di kantornya, awal Agustus lalu (02/08).
Sebenarnya seperti apa penerapan perda syariah tersebut di tengah masyarakat? Apa ancamannya terhadap keberagaman serta nilai-nilai Pancasila?
Saya mengunjungi Kabupaten Cianjur untuk mencari tahu kondisi daerah yang kerap disebut kota santri itu.
Suasana di kota santri
Lampu-lampu jalan dengan ornamen asmaul husna—nama-nama Allah, Tuhan dalam Islam–menyambut pengendara begitu memasuki Kabupaten Cianjur melalui Jalan Raya Puncak-Cianjur.
Asmaul husna juga menyambut mereka yang masuk dari arah Bandung, dalam bentuk mozaik kaligrafi tiga dimensi yang dirancang di sisi kanan-kiri Jalan Cianjur-Bandung.
Memasuki pusat kota, Tugu Lampu Gentur, dengan nama Nabi Muhammad SAW terukir di puncaknya, menjadi salah satu ikon baru Cianjur.
Menjelang pintu masuk alun-alun kota, berdiri pula Tugu Tauhid dengan lambang ‘Allah’ duduk di pucuknya. Keduanya baru dibangun tahun 2017 lalu.
Alun-alun Cianjur sendiri sore itu ramai dikunjungi warga. Sebagiannya datang untuk menyaksikan gelaran spesial ‘Festival Cianjur Islami’ untuk merayakan hari jadi kota yang ke-432.
“Insya Allah, mudah-mudahan menjadi sebuah syiar menambah kecintaan kita kepada Rasulullah SAW, amin… Nomor tujuh siap-siap dari tim hadrah Pondok Pesantren Miftahul Huda!” kata si pembawa acara lantang dari atas panggung, di sela penampilan para santri yang sedang mengikuti lomba kasidah se-kabupaten, awal Agustus lalu (02/08).
Alunan lagu diiringi rampak rebana menambah kental suasana di kota santri seperti dituturkan Plt. Bupati Cianjur, Herman Suherman, saat saya menemuinya di kantor bupati, persis di sisi selatan alun-alun.
“Cianjur ini kabupaten yang agamis, gudangnya alim ulama,” ujar Herman.
“Dulu, zamannya Pak Wasidi (Bupati Cianjur 2001-2006, Wasidi Swastomo, red.) mengeluarkan perda Gerbang Marhamah tentunya untuk mengakomodir potensi yang ada di Kabupaten Cianjur, sehingga kalau potensi itu tidak digerakkan, tidak diarahkan, akan ngawur,” jelasnya.
Perda yang dimaksud Herman tidak lain adalah Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 03 Tahun 2006 tentang Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlaqul Karimah, atau disingkat Gerbang Marhamah.
Perda tersebut pada intinya mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat Cianjur, dari urusan peribadatan, ekonomi, hingga seni budaya, agar berpedoman pada nilai-nilai berakhlaqul karimah.
“Akhlaqul karimah merupakan sikap dan perilaku hidup dalam berbagai aspek kehidupan untuk menghantarkan manusia bahagia di dunia dan akhirat yang harus menjadi budaya masyarakat Kabupaten Cianjur,” bunyi poin pertama dalam dasar pertimbangan dirancangnya perda tersebut.
Meski demikian, perda itu tidak merinci secara jelas tolak ukur maupun perilaku seperti apa yang mengandung nilai-nilai akhlaqul karimah; pun implikasi yang timbul apabila masyarakat tidak mematuhi peraturan.
Untuk itulah, menurut Herman, dibuat perda-perda syariah lainnya untuk mendukung pengimplementasian Perda Gerbang Marhamah dalam mengatur masyarakat secara lebih spesifik.
“Jadi ada turunannya, (salah satunya) perda Gerakan Penghafalan dan Pengkajian Alquran,” katanya.
“Saya ingin bahwa di Cianjur ini ada progress yang nyata. Sekarang santri banyak, ajengan banyak, tapi hasilnya apa? Tentunya potensi itu harus diperdakan agar membuahkan hasil, yaitu anak-anak atau orang dewasa yang bisa menghafal Alquran,” beber Herman.
Herman percaya, kemampuan menghafal Alquran seorang individu selaras dengan perilakunya sehari-hari.
“Saya meyakini, kalau anak itu bisa hafiz Quran, pasti akhlaknya baik.”
Kearifan lokal jadi ‘alibi’ pembuatan perda syariah
Setelah berakhirnya orde baru, sistem desentralisasi pemerintahan diberlakukan secara efektif–sebelumnya, meski sudah ada undang-undangnya, pemerintah pusat tetap mengontrol pelaksanaan tata kelola pemerintahan di daerah.
Sejak era reformasi, setiap daerah diberi wewenang untuk mengatur pemerintahan dan kehidupan warganya masing-masing, termasuk menciptakan peraturan daerah dan peraturan perundangan lainnya.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik, mengatakan bahwa ada empat hal yang mendorong dibuatnya suatu perda.
“Pertama, karena perintah peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Kedua, dalam rangka melaksanakan kebijakan perencanaan daerah,” ungkap Akmal melalui sambungan telepon.
Yang ketiga, katanya, dalam rangka melaksanakan urusan otonomi daerah yang jadi kewenangan daerah. Sementara “yang keempat, perda tuh lahir karena memang kebutuhan dan kondisi lokalitas daerah”.
Terkait munculnya perda-perda bernuansa keagamaan, ia mengaku “perda-perda syariah itu hadir karena (alasan) yang keempat, karena merasa itu adalah dalam rangka mengakomodir kebutuhan lokal”.
Di Cianjur, sejak tahun 1999, peraturan perundangan bernuansa syariah hadir dalam berbagai bentuk, baik berupa perda, surat edaran bupati hingga keputusan bupati.
Kini, setidaknya ada tiga perda bernuansa Islami yang masih berlaku di sana, di antaranya Perda Gerbang Marhamah (2006), Perda Gerakan Penghafalan dan Pengkajian Alquran atau GP2Q (2015) dan Perda Pemberdayaan Pendidikan Diniyah Takmiliyah dan Pendidikan Alquran (2014).
Plt. Bupati Cianjur, Herman Suherman, menyebut corak masyarakat yang dinilainya Islami sebagai “(nilai) kultural yang ada potensi di Kabupaten Cianjur”, sehingga diperlukan dalam “tatanan kepemerintahan”.
Sebagai contoh, melalui perda GP2Q, cita-cita Herman sederhana, yaitu menelurkan setidaknya seorang penghafal Alquran di setiap desa di Cianjur, yang kemudian diharapkan menjadi motor penggerak untuk mencetak lebih banyak lagi hafiz di sana.
Sama halnya dengan Perda Diniyah Takmiliyah. Perda itu mensyaratkan siswa yang hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, maksimal SMA, untuk melampirkan ijazah pendidikan diniyah takmiliyah atau pendidikan Alquran, yang dilakukan di luar jam sekolah sebagai pelengkap pendidikan agama Islam.
“Bukan hanya persyaratan saja, tapi saya ingin membentuk karakter agar manusia, anak-anak Cianjur, ini berakhlaqul karimah,” imbuh Herman.
Alasan senada diungkapkan anggota DPRD Kabupaten Cianjur dari Fraksi Bulan Bintang (PBB)–salah satu partai religius di parlemen lokal–Muhammad Toha, yang menilai keberadaan perda syariah “menguatkan terhadap nilai-nilai yang ada dalam sistem pemerintahan”.
Menurutnya, nilai-nilai Islami di tengah masyarakat memang sudah kuat mengakar, “khususnya dalam pendidikan keagamaan, mau ada atau tidak ada perda itu, pasti berjalan. Apalagi kalau (ada) perda ini, (jadi) lebih mengokohkan.”
Bukan hanya partai politik bernapaskan Islam, dukungan terhadap perda syariah nyatanya juga ditunjukkan parpol bercorak nasionalis, seperti Golkar.
“Ikut, Golkar ikut di situ. Karena memang kita anggap sangat perlu dan sebetulnya hampir semua kabupaten pun punya perda itu sekarang,” kata Muhammad Isnaeni, anggota DPRD Kabupaten Cianjur fraksi Golkar yang sudah duduk di kursi legislatif sejak tahun 2004.
“Cianjur itu kan dari dulu ada julukan kota santri. Ada juga penajaman visi-misi bupati sekarang yang lebih maju dan agamis,” ungkapnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dikatakan bahwa ada enam urusan yang tidak bisa diatur oleh pemerintah daerah, di antaranya urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.
“Urusan agama itu urusan pusat, bukan urusan daerah,” tegas Plt. Dirjen Otonomi Daerah, Akmal Malik.
Namun demikian, Akmal mengklaim bahwa perda-perda bernuansa keagamaan yang sudah berlaku di masyarakat kini lebih condong didorong oleh persoalan kearifan lokal ketimbang murni agama.
“Lebih menyangkut kepada kelokalitasan, perda kearifan lokal daerah,” kilahnya.
“(Yang) tidak boleh itu mengatur tentang ‘agama ini tidak boleh’, ‘syariat ini tidak boleh’, maksudnya–agama itu kan sudah diatur Kementerian Agama. Hal-hal yang tidak diatur Kemenag itu masuk ke ranah kearifan lokal,” ungkapnya.
‘Kalau dilaksanakan, akan mengotak-kotakkan kami‘
Pada tahun 2016, Badan Pusat Statistik yang bersumber pada Kementerian Agama Kabupaten Cianjur mencatat penduduk muslim di Cianjur merupakan kelompok mayoritas dengan persentase sebesar 97,29%.
Secara berturut-turut, populasi umat beragama lainnya yaitu Kristen Protestan (2,42%), Katolik (0,13%), Budha (0,11%) dan Hindu (0,02%).
Di tengah kelompok mayoritas, suara warga minoritas diwakili sosok-sosok pemuka agama yang secara berkala bertukar pikiran dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Cianjur.
Gondo Atmoko adalah salah satu anggotanya. Penganut kristen protestan asal Yogyakarta yang telah tinggal lebih dari dua puluh tahun di Cianjur itu, menjadi salah satu pihak yang ikut dilibatkan dalam perumusan Perda Gerbang Marhamah di awal dekade 2000-an.
“Gerbang marhamah, perda syariah–waktu itu saya sudah bicara di forum, kalau pelaksanaannya memang untuk teman-teman muslim, itu bagus,” tutur Gondo.
Akan tetapi, dalam Perda Gerbang Marhamah, aturan itu tidak hanya ditujukan bagi warga muslim. Pada pasal (3) yang membahas ruang lingkup perda, tertulis bahwa: “Untuk mewujudkan masyarakat sugih mukti tur Islami setiap orang yang berdomisili di daerah Kabupaten Cianjur wajib menjunjung tinggi akhlaqul karimah.”
Dari pasal tersebut pula, tertulis bahwa pemerintah Cianjur bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang Islami, meski wilayahnya juga menjadi tempat tinggal masyarakat nonmuslim.
Gondo menuturkan bahwa sebenarnya di tataran akar rumput Cianjur, masyarakat muslim dan nonmuslim tidak bergesekan dan rukun-rukun saja. Kondisi itu secara kultural terjaga dari masa ke masa.
Hal itu diamini Tatang, warga muslim di desa Sindangjaya, Cainjur–desa yang kerap disebut kampung nasrani karena banyaknya warga nonmuslim dan gereja yang berada di sana.
“Dari dulu saya semenjak datang ke sini, dari tahun ’74 sampai sekarang, alhamdulillah belum ada terjadi apa-apa, terkecuali kalau seumpamanya ada yang masuk dari pihak ketiga, itu yang dikhawatirkan,” imbuh Tatang, yang merujuk pada kelompok tertentu yang dianggap sering menjadi provokator.
Kekhawatiran yang sama diutarakan warga nasrani di desa itu saat kami berbincang-bincang–yang bersangkutan tidak bersedia direkam.
Terlepas dari kekhawatiran tersebut, Tatang mengatakan ia belum pernah mendengar perda syariah yang diterapkan di daerahnya.
“Saya mah namanya ada di kampung, saya enggak tahu itu urusan perda semacam bagaimana caranya, saya enggak tahu,” tuturnya.
Yang jelas, baginya, urusan agama bersifat pribadi, “kalau menurut saya, harus bagaimana masing-masing aja.”
Di sisi lain, Gondo khawatir akan ekses dari pelaksanaan perda yang secara struktural condong terhadap salah satu kelompok.
“Perda ini harus dites dulu dengan aturan atasannya secara hukum, apakah sesuai apa enggak. Contohnya, berlawanan dengan HAM apa enggak,” ujarnya.
Ia khawatir, bila perda yang bersifat eksklusif itu diizinkan, daerah-daerah lain akan ‘latah’ menciptakan perda serupa tanpa memikirkan dampak terhadap masyarakat minoritas.
“Kalau itu (perda syariah) dilaksanakan, berkotak-kotak lagi, mengotak-kotakkan diri (masyarakat),” imbuh Gondo.
Perda syariah, “pengkhianatan terhadap konstitusi”
Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI, Syafuan Rozi, dalam penelitiannya tentang perda syariah di Cianjur, menilai perda yang diberlakukan di sana, khususnya Perda Gerbang Marhamah, hanya bersifat simbolik. Perda itu hanya mencantumkan tujuan yang ingin dicapai, tanpa indikator yang jelas untuk mengukur keberhasilan pengimplementasiannya.
Lebih dari itu, ia menilai proses pembuatan perda keagamaan pun bersifat elitis dan oleh karenanya cenderung tidak inklusif.
“Bagaimana mungkin di negara kesatuan ada kebijakan, yang istilahnya, tidak bersifat umum? Kalaupun partikular, harusnya dijelaskan siapa yang dituju dan siapa yang tidak, bagaimana dampaknya dengan yang nonmuslim,” ungkap Syafuan saat ditemui di kantor LIPI, Jakarta.
Lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang demokrasi dan HAM, Setara Institute, memiliki kekhawatiran yang sama dengan Syafuan.
Direktur Riset Setara, Halili, membaca perda keagamaan sebagai diskriminasi dalam bentuk favoritisme. Meski implikasinya tidak langsung terasa, menurutnya, perda tersebut menyimpan potensi diskriminasi di kemudian hari.
“Ini menjadi pintu masuk untuk kelompok-kelompok intoleran mengkapitalisasi perda itu sebagai instrumen bagi dia untuk dua hal: satu, mengganggu minoritas; yang kedua, mengkonsolidasi jaringan kelompok intoleran itu,” beber Halili.
Halili juga mengatakan, pembuatan perda keagamaan sama dengan “pengkhianatan terhadap konstitusi”.
“Jelas kok bahwa semua orang itu dijamin (hak-haknya),” tuturnya kemudian mengutip presiden pertama, Sukarno, “Indonesia ini adalah negara satu untuk semua, semua untuk satu. Maka ketika Indonesia merdeka, ya dia harus menghimpun semuanya, baik yang banyak maupun yang sedikit.”
Di sisi lain, Kemendagri, sebagai kementerian yang mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, berpandangan bahwa masyarakat perlu mengedepankan toleransi saat berkenaan dengan perda-perda keagamaan yang, menurutnya, diangkat dari kearifan lokal.
“Kita kan tinggal di negara yang harus mengedepankan toleransi. Ada masyarakat yang mayoritas Islam ingin mengedepankan sebuah kearifan lokal, tentunya masyarakat nonIslam juga harus memberikan toleransi untuk hal seperti itu, sepanjang itu tidak mengganggu kebebasan yang bersangkutan untuk beragama, beribadah, tidak mengganggu agama-agama lain,” jelas Akmal Malik, Plt. Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri.
Meski Mahkamah Konstitusi (MK) telah mencabut wewenang Kemendagri untuk menarik peraturan daerah yang bertentangan dengan konstitusi, Akmal mengaku kementeriannya akan terus mengawasi dan mengevaluasi peraturan-peraturan yang diproduksi di daerah.
“Kami punya upaya preventif, namanya kami fasilitasi. Setiap perda provinsi datau perkada (peraturan kepala daerah) itu wajib kami difasilitasi dulu, wajib disampaikan kepada kemendagri,” ujarnya.
“(Jika ada yang bertentangan) misalnya kami koreksi untuk diperbaiki. Kalau tidak, kita akan berikan nomor register (perda).”
Bagaimanapun, perda syariah adalah produk politik yang dilahirkan oleh para politisi yang duduk baik di kursi legislatif maupun eksekutif.
Bagi Halili, partai politik lah yang harus dikritik paling keras dalam memunculkan perda-perda keagamaan. Pasalnya, janji-janji kebijakan bernuansa syariah hanya menjadi modal untuk politik elektoral.
“Apakah parpol menunjukkan daya dukung yang serius bagi pemajuan toleransi dan non-diskriminasi di Indonesia? Jawaban saya tidak,” ungkap Halili tegas.
“Karena setiap regulasi pada akhirnya ditempatkan dalam kerangka politik elektoral. Jadi, mereka berhitung tentang ‘kalau saya mengeluarkan perda ini, apa insentif elektoral yang saya berikan?'”
Hal itu tidak dibantah politisi PBB di Cianjur, Muhammad Toha, maupun politisi Golkar, Muhammad Isnaeni, yang menganggap bahwa kampanye kebijakan syariah sah-sah saja dilakukan oleh peserta pemilu yang sedang berkontestasi.
“Saya tidak bisa menutup mata bahwa ketika seseorang ingin menggunakan isu itu (kebijakan syariah), ya mungkin-mungkin saja, tapi dengan batasan-batasan tertentu. Artinya jangan terlalu–ketika mengusung agama dan lainnya kemudian menjadi permasalahan, kemudian juga menjadi konflik antaragama,” tutur Isnaeni.
Gagasan yang sama seperti yang diutarakan Halili dari Setara Institute diungkapkan dengan lebih santai oleh Noorhaidi Hasan, pengamat Islam dan politik dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
“Nuansa politiknya sangat menonjol. Walaupun ada lah persinggungannya dengan kemunculan Islamisme di ruang publik Indonesia,” imbuhnya.
“Tetapi sejauh yang saya amati, saya ke daerah-daerah, dan percaya bahwa ini lebih merupakan bagian dari permainan politik yang berkembang pascakejatuhan Suharto itu, dalam konteks politik elektoral, otonomi, regionalisasi, dan lain-lain.”
Menurut Noorhaidi, masyarakat di Indonesia sendiri secara kultural lebih menyukai kebijakan yang bersifat “eklektik, yang biasa-biasa aja” daripada kebijakan yang terlalu ketat. Ia berpendapat bahwa peraturan seperti itu tidak akan laku di tanah air.
“Nggak ada yang serius kok di daerah-daerah itu. Itu (perda syariah) diberlakukan hanya untuk dilupakan,” pungkasnya. (BBC)