JAKARTA,PGI.OR.ID-Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) bersama Tim Hukum Agraria Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan (GKSBS), KPA, LBH Lampung, dan WALHI Lampung, mendampingi perwakilan Serikat Tani Korban Gusuran BNIL (STKGB), Tulang Bawang, Lampung, ke kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhari No. 4B, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (28/2), untuk menyampaikan persoalan yang dihadapi STKGB. Mereka diterima oleh Wakil Ketua Komnas HAM, DR. Ansori Sinungan.
Sebagaimana diketahui, kasus yang menimpa STKGB akibat perbuatan PT BNIL telah berlangsung sejak 1991 hingga saat ini. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), tercatat 21 orang telah menjadi korban penganiayaan dan penyiksaan, 18 orang harus merasakan jeruji besi penjara, 8 orang dikenakan wajib lapor, dan 8 orang dinyatakan mati akibat pembunuhan.
Dalam pertemuan itu, Adi Wibowo perwakilan dari KPA menegaskan, ada dua poin utama yang menjadi sorotan KPA, yaitu terjadinya perampasan tanah dan pelanggaran HAM di Tulang Bawang, Lampung oleh PT. BNIL, dalam bentuk aksi kekerasan dan perampasan tanah rakyat secara paksa, dan terjadinya proses kriminalisasi kepada warga masyarakat Tulang Bawang.
Sementara Sakiran, perwakilan dari STKGB menuturkan bagaimana proses awalnya terjadi perampasan lahan oleh PT. BNIL yang tidak sesuai dengan SK Gubernur dan pergantian lahan plasma oleh perusahaan hanya sebanyak Rp. 100.000. “Saya sering mendapatkan intimidasi dan pemaksaan dari pihak yang berwajib saat diminta untuk mengumpulkan warga dusun, dan tidak mendapatkan informasi mengenai soal kompensasi lahan yang diambil oleh perusahaan,” ceritanya.
Hal senada juga disampaikan perwakilan dari LBH Lampung, Alien Setiadi. Menurutnya, proses kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh PT. BNIL adalah proses yang panjang dan dengan dua skema, pertama warga diperhadapkan dengan PAM SWAKARSA dan yang kedua wargadiperhadapkan dengan TNI.
Pelanggaran juga dilakukan oleh PT BNIL dari sisi lingkungan hidup dan tata ruang, seperti diungkapkan Hendarawan dari perwakilan Walhi Lampung. “Mereka telah melakukan perubahan lahan yang awalnya untuk sawit menjadi tebu, dan hal ini tidak sesuai dengan tata ruang, serta Amdal tidak dapat diproses. Dari poin ini PT. BNIL harus diproses secara hukum karena melanggar peraturan dan perijinan,” tegasnya.
Sedangkan Pdt. Karel Barus dari Tim Hukum Agraria GKSBS pada kesempatan itu mengatakan: “Keterlibatan gereja terhadap persoalan ini dikarenakan Tanah merupakan anugerah dari Tuhan untuk diupayakan bersama, bukan hanya dikuasai oleh segelintir orang dan kapital. Gereja harus hadir dalam ketidakadilan di tengah masyarakat.”
Menyikapi berbagai laporan yang telah disampaikan, Ansori Sinungan menyatakan kriprihatinannya, dan menyayangkan sikap PT. BNIL yang tidak pernah hadir dalam setiap upaya mediasi yang dilakukan oleh Komnas HAM. “Dalam UU diatur mengenai undangan dari Komnas HAM berarti menghormati HAM juga,” katanya.
Komnas HAM, ujar Ansori, mempercayakan sepenuhnya terhadap pengadilan untuk melakukan pengadilan secara objektif, dan berharap agar ke depan pemerintah dapat menelaah lebih lanjut berbagai persyaratan, termasuk kajian amdal, untuk memberikan perpanjangan izin kepada perusahaan agar kejadian semacam ini tidak terjadi lagi.
Ansori Sinungan juga berharap Pemerintah Provinsi Lampung, yang telah membentuk satgas untuk menangani permasalahan ini, dapat segera menyampaikan laporannya.
Diakhir pertemuan, Pdt. Henrek Lokra, Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI, meminta Komnas HAM agar segera merespon laporan perwakilan STKGB, dan mengeluarkan rekomendasi kepada semua pihak terkait.
Dalam pertemuan yang dilanjutkan dengan konprensi pers ini, KPA, LBH Lampung, Walhi Lampung, STKGB, PGI, dan Tim Hukum Agraria GKSBS menyampaikan pernyataan sikapnya. Pertama, Komnas HAM untuk segera menuntut tuntas pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT. BNIL. Kedua, memberikan sanksi dan mencabut izin perusahaan. Ketiga, mengembalikan hak warga yang telah dirampas. Keempat, menuntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rio Adi Gunawan agar melaksanakan proses peradilan dengan seobjektif mungkin. Kelima, membebaskan korban kriminalisasi yang dilakukan oleh PT. BNIL. (Jonathan Simatupang)