Diakonia.id – Kasus penganiayaan atas Muhamad Kece ramai tersebar di berbagai media sosial atau medsos. Unggahan tentang penganiayaan tersebut juga ramai dikomentari oleh netizen Indonesia. M. Kece sendiri terjerat kasus penistaan agama. Ia dilaporkan tanggal 22 Agustus 2021, dan ditangkap 25 Agustus 2021.
Sehari berselang(26/8/2021), M. Kece membuat laporan penganiayaan di dalam penjara. Salah satu tersangka penganiayaan adalah Irjen Napoleon Bonaparte. Jenderal polisi bintang dua tersebut memiliki dua alasan mengapa ia menganiaya Kece. Pertama, karena Kece menghina agamanya; (menghina Tuhan, kitab suci, nabi dan akidah agamanya). Kedua , karena Kece membahayakan persatuan dan kerukuman umat beragama di Indonesia.
Dalam penganiayaan tersebut, Bonaparte dkk memukuli M. Kece hingga memar dan bengkak. Tak sampai di situ, korban juga dilumuri kotoran manusia yang sudah dipersiapkan.
Penganiayaan M. Kece banyak diunggah di medsos, dan mendapat beragam tanggapan. Beberapa netizen menyesalkan tindakan main hakim sendiri tersebut. Namun, banyak yang mendukungnya. Tak sekadar mendukung, banyak netizen yang berterima kasih karena merasa terwakili oleh tindakan Bonaparte. Bahkan, ada yang mengunggah berita penganiayaan tersebut yang disertai video berjoget ria, tanda kegembiraan.
Para pendukung Bonaparte mengatakan bahwa si Kece pantas dipukuli, dilumuri dengan kotoran manusia, dan bahkan “darahnya halal”. Ada juga netizen yang mengatakan jika tangan jenderal mewakili tangan Tuhan untuk menghukum si penista.
Respon para netizen di atas, mengambarkan sikap intoleran. Tidak dipungkiri, bahwa saat ini banyak konten-konten intoleran bertebaran di medsos. Hal tersebut memengaruhi persepsi warganet yang “mengkomsumsinya”. Tetapi sebenarnya, medsos bersifat netral. Yang memengaruhi dan menentukan persepsi pengguna medsos adalah kontennya. Apakah tentang toleransi atau intoleransi.
Toleransi berasal berasal dari bahasa latin “tolerare” yang artinya sabar terhadap sesuatu. Abu Bakar mengartikan kata toleransi sebagai “sikap atau perilaku manusia yang mengikuti aturan, di mana seseorang dapat menghargai, menghormati terhadap perilaku orang lain.” Mengacu pada definisi tersebut, tindakan Bonaparte di atas termasuk tindakan intoleran. Apapun alasan dan pembenaran dari khalayak ramai.
Dalam masyarakat majemuk toleransi adalah kebutuhan, bukan pilihan. Tanpa toleransi, Indonesia akan terkoyak, terpecah dan menderita. Sikap dan tindakan toleransi ditunjukkan dengan mengikuti anturan yang ada, dan tidak main hakim sendiri, dengan alasan apapun. Selain itu, menghargai dan menghormati perilaku orang lain yang tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan hukum di Indonesia.
Tindakan toleransi bersumber dari pikiran, persepsi atau sudut pandang toleransi. A. Sonny Keraf berkata bahwa tindakan kita dipengaruhi oleh cara pandang yang kita miliki. Pramoedya Ananta Toer mendorong seseorang yang ingin berlaku adil, untuk adil sejak di dalam pikirannya. Yesus dari Nazaret berkata, apa yang dikatakan dan dilakukan seseorang berasal dari dalam, dari hatinya (Mat. 15:18-19).
Menurut Ramadhan dan Giyarsih media sosial memengaruhi persepsi seseorang. Oleh sebab itu, media sosial adalah ruang yang sangat strategis untuk memengaruhi persepsi, pikiran dan sudut pandang seseorang. Dalam “darahdagingkan” sikap dan tindakan toleransi, penyebaran konten yang mengakui dan menghargai keberagaman harus dilakukan secara serius dan masif. Tujuannya, untuk mereduksi pengaruh negatif dari konten-konten intoleransi.
Dalam hal ini, setiap warga Indonesia, berkewajiban menyebarkan pandangan toleransi. Yang mengakui, menerima, dan menghargai satu dengan yang lain. Media sosial memberikan kita kesempatan untuk berkontribusi secara penuh. Apa saja yang dapat kita lakukan? Paling tidak ada dua peran. Sebagai konsumen-penyebar, dan kedua sebagai produsen-penyebar.
Pertama, peran sebagai konsumen-penyebar konten toleransi. Kita berperan sebagai penonton atau penikmat konten-konten toleransi. Yang tentu saja, akan berpengaruh pada persepsi atau cara pandang kita. Setelah itu, kita dapat menyebarkan konten tersebut kepada teman-teman medsos kita.
Konten-konten toleransi yang kita “konsusmsi” dan layak, perlu di like, comment, share (CLS). Selain dengan LCS, kita perlu juga mendukung akun penyebar toleransi, yaitu dengan mengikuti (follow) atau berlangganan (subcribe). Hal-hal tersebut, akan membuat akun dan konten toleransi mudah nikmati dan dikenal para pengguna medsos lainnya.
Kedua, peran sebagai produsen-penyebar konten toleransi. Konten dapat berupa teks, foto, video ataupun gabungan dari ketiganya. Secara individu, kita dapat berbagi keceriaan hidup bertoleransi dalam hidup sehari-hari. Selain itu, produksi konten toleransi dapat juga dilakukan secara tim (atau profesional), yang hasilnya lebih baik. Agar konten tersebar dan menjangkau masyarakat luas, kita perlu menggunakan trik yang sesuai algoritma masing-masing medsos.
Dalam “perjuangan” mempersempit pengaruh konten intoleran, kita perlu memperbanyak konten toleransi yang diunggah atau disebarkan. Supaya, semakin banyak orang yang “mengkonsumsi” konten toleransi, daripada konten intoleran.
Bagaimana kita dapat menghadapi konten intoleransi yang sudah banyak diunggah di medsos? Cara sederhananya, sesekali membuat tanggapan tentang akun ataupun konten intoleran. Supaya masyarakat tahu dan waspada. Ingat, tahan diri untuk tidak melihat mengomentari konten intoleran. Tujuannya jelas, agar konten-konten tersebut tenggelam dengan sendirinya.
Konten-konten intoleransi “jangan dibiarkan” memengaruhi pikiran dan tindakan masyarakat kita. Kita harus melawannya. Perjuangan ini membutuhkan niat tulus, sikap pantang menyerah, kemampuan dasar mengoperasikan aplikasi dan dalam membuat konten. Untungnya, medsos saat ini telah memberikan fasilitas yang cukup untuk kita bisa menjadi konten kreator, aplikasi tiktok misalnya.
Dulu, sebelum kemerdekaan kita berjuang menggunakan bambu runcing untuk mendapat kemerdekaan. Saat ini, kita berjuang melawan intoleransi dengan smartphone, dan jari kita. Kita harus sebarkan sikap dan nilai-nilai toleransi kepada seluruh masyarakat, tanpa terkecuali.
Perjuangan menyebarkan semangat toleransi harus menjadi kesadaran kolektif. Kita, tidak bisa berdiam diri dan mengharapkan keajaiban. Kita dapat kontribusi dengan hp dan jari jemari. Jika belum bisa jadi “produsen-penyebar”, kita dapat menjadi “konsumen-penyebar”, dengan like, comment dan share konten toleransi.
Ini bukan tindakan iseng belaka, tetapi misi penting bagi bangsa saat ini maupun nanti. Kita, tidak boleh sendirian, tetapi bersama anggota masyarakat dari berbagai latar belakang. Baik yang berbeda suku, agama, ras dan adat istiadat. Kita harus bergandengan tangan untuk menghadirkan toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Yang disebarkan melalui media sosial.
Di saat ini, banyak menghabis waktu berjam-jam menggunakan media sosial. Perjuangan lewat media sosial sangat relevan pada masa sekarang. Menurut salah satu media online ternama, di Indonesia ada sekitar 170 juta atau 61,8 persen pengguna aktif medsos. Yang tentu saja, perjuangan melawan intoleransi di medsos akan berdampak besar. Mari berjuang bersama menyebarkan toleransi. (pgi)