Diakonia.id – Gereja Katolik Santo Yusup Bintaran sarat sejarah: mulai dari gereja pertama yang dibuat untuk pribumi hingga menjadi tempat pertemuan khusus antara Presiden Soekarno dengan Mgr. Soegijapranata S.J. untuk membahas strategi melawan Belanda.
Gereja yang gaya bangunannya perpaduan gaya Belanda dengan unsur Jawa ini termasuk bangunan yang dilindungi pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.25/PW.007/MKP//2007 tentang Penetapan Situs dan Bangunan Tinggalan Sejarah dan Purbakala.
Keistimewaan gereja Jawa Pertama di Yogyakarta ini dengan luasnya kurang lebih 5,024 meter persegi ternyata tak hanya dilihat dari unsur bangunan. Gereja dengan kompleks seluas 5.024 meter persegi ini punya peran dalam sejarah perjuangan Indonesia dalam kurun waktu 1945 hingga 1949. Sejak kedatangan Mgr. Soegijapranata S.J pada tahun 1947 sebagai pastor pembantu, gereja ini menjadi tempat berkumpulnya para pejuang Katolik. Menurut FX. Agus Suryana Gunadi, pastor Pastor Gereja Santo Yusup saat ini, gereja menjadi tempat pertemuan rutin antara Presiden Soekarno dengan Soegijapranata. “Mereka membahas strategi melawan Belanda,” kata Romo Agus. Saat itu, ketika Yogyakarta menjadi ibu kota negara, Soekarno menujuk Gereja Bintaran sebagai mediator dalam hubungan dengan Belanda.
Berkat Soegijapranata gereja ini akhirnya menjadi basis pers Katolik yang waktu itu mendukung penuh perjuangan Indonesia. Pers dinilai menjadi media komunikasi strategis yang menjadi pusat informasi bagi masyarakat. Beberapa pers yang didirikan Soegijapranata di antaranya, Majalah Swara Tama, Peraba, Semangat, serta radio Bikima. Organisasi lain seperti Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) turut didirikannya.
Romo Agus juga menjelaskan bahwa waktu itu antusiasme umat Katolik terhadap perjuangan melawan Belanda sangatlah besar. Terbukti dengan diadakannya Kongres Umat Katolik seluruh Indonesia pada tahun 1949 yang melahirkan partai Katolik dengan pimpinan I.J. Kasimo.
Gereja ini dipugar pada tahun 2007 dan baru saja selesai pada Oktober 2010 lalu. Pada 17 Oktober 2010, Sultan Sultan Hamengkubuwono X meresmikannya kembali. Pemugaran ini tak mengubah bentuknya dan tetap mengajak umat merefleksikan rekaman-rekaman sejarah yang pernah terjadi di setiap sudut ruangannya. Gereja juga menyimpan beberapa benda bersejarah, termuask lukisan Maria dari Italia yang diberikan kepada Soegijapranata sebagai penghargaan pada umat Katolik di Indonesia.