Diakonia.id – Orang Prancis memiliki pepatah “De gustibus non est disputandum”, artinya kurang lebih begini “Dalam selera yang sama, tidak akan ada perselisihan”. Sesuai dengan situasi saat ini, dimana ideologi sekular dan agama telah ditafsirkan oleh masyarakat Prancis secara subjektif dan sepenuhnya terjebak dalam masalah selera. Terjadilah kemudian berbagai benturan. Selera itu menjadi alat serang. “Laicite”, kebebasan sekularisme, digerakkan seperti entitas agama: mencari dominasi populasi sebanyak-banyaknya. Lalu sekularisme bukan lagi menghargai kebebasan beragama, tapi menyerang agama-agama.
Charlie Hebdo bukan hanya menyerang Islam, ia menyerang agama apa saja yang dianggap tidak sesuai seleranya. Laicite sejak awal tidak dibuat untuk menyerang agama, ia dibuat untuk menghargai kebebasan beragama – tidak men-toleransi intoleransi. Tapi seperti yang ditulis oleh filsuf Martha Nussbaum: cemas dan rasa curiga yang diselingi oleh ketakutan narsistik, membuat manusia terjebak dalam aksi intoleransi atas nama toleransi. Kebebasan di Prancis berubah arah, melangsir jalur kereta ke arah destinasi yang salah.
Ketersinggungan para pemeluk agama di Prancis menjadi liar akibat pedang kebebasan dihunjamkan ke titik jantungnya sendiri. Pembunuhan dan pemenggalan yang dilakukan kelompok radikal itu, adalah tindakan brutal yang semakin memperdalam tusukan pedang. Mereka menyerang jemaat gereja yang sebenarnya bukan “Musuhnya”, keduanya adalah korban dari ambiguitas kebebasan yang sudah terjebak dalam subyektifitas selera. Sekularisme dan liberalisme, atau apapun namanya, memang tak akan pernah ada – ia hanya pepesan kosong ideologi kebebasan yang kehilangan kebebasannya. Bebas bagi dirinya, tapi kebebasan orang lain diikat sekuat mungkin.
Simpul penting dari semuanya adalah toleransi, bukan kebebasan. Jika rasa toleran yang dipegang, maka kebebasan akan dipertanggungjawabkan dalam batas-batas empati kemanusiaan.
Aksi intoleran hanya melahirkan radikalisme – bukan hanya bagi pemeluk agama, bahkan kepada yang memusuhi agama sekalipun. Charlie Hebdo dan para pembunuh itu, adalah kaum intoleran radikal, yang hanya mengukur apapun sesuai selera narsistiknya. (ARN)
Penulis: Islah Bahrawi